JALUR KEDELAPAN

18 4 0
                                    


Zea merasa telah melakukan hal baik dan buruk secara merata dalam hidupnya. Bagaimana tidak ia beranggapan seperti itu, terlihat sekarang bagaimana Zea menuai hasilnya.

Tadi, saat Azka akan mengisi bensin di salah satu Pom di daerah Subang, Jawa Barat. Zea hendak turun dari mobil karena merasa ingin buang air kecil.

Zea tahu, seharusnya ia turun setelah menunggu Azka parkir mobil. Jadi saat ia selesai buang hajat, Zea akan mengetahui letak mobil Azka.

Sayangnya malang sudah bertindak, Zea salah masuk mobil orang karena kurang awas dengan plat mobil milik Azka.

Begitu keluar dari mobil yang berisi dua orang sedang duduk di kursi belakang, Zea mendapati Azka tertawa dengan membekap mulutnya.

Rupanya Azka juga baru kembali dari toilet. Zea malu, seluruh urat malunya pecah. Menyisakan dia yang terasa tidak lagi memiliki wajah.

"Sini, Ze!" Otaknya berpikir cepat, tidak lagi meminta Zea melakukan hal memalukan yang lain.

Berjalan menunduk, Zea menatap mobil abu-abu tua milik Azka itu. Mobil yang juga sama menjadi magnet untuk Zea cari keberadaannya setiap hari.

Meja kerjanya yang tidak jauh dari jendela di mana bawahnya ialah area parkir. Yang membuat Zea mengawasi Azka, kalau mobil itu ada di parkiran otomatis orangnya juga ada di kantor.

Tidak yakin, tapi Zea selalu benar tebakan keberadaan Azka melalui mobilnya itu.

"Sudah gak perlu malu, mereka gak kenal kamu." Azka sudah bersikap biasa, ia memahami Zea yang pastinya tidak hafal dengan mobilnya ini.

Tetapi sejak masuk mobil, gadis itu terus menunduk menyembunyikan wajahnya sendiri. "Ze, jangan diam saja. Aku bisa mengantuk!"

Baiklah, itu memang sudah terjadi. Mau di undo juga tidak ada tombolnya. Sekarang yang terpenting, Azka tidak lagi membahas kejadian itu. Jika Azka tidak lagi mengungkitnya sampai kapanpun, Zea baru akan merasa lega.

"Kita nanti mampir di Taman Cimanuk daerah Indramayu, sebentar saja habis itu ke Masjid Agung Indramayu waktu menjelang dhuhur. Ya, Ze?"

Taman Cimanuk, Zea baru mendengarnya hari ini. Meskipun Zea ini anak rantau, yang katanya jago eksplor. Zea lebih memilih menghemat uangnya untuk tabungan, jika sudah terkumpul keluarganya akan di ajaknya jalan-jalan.

Kebiasaan yang sejak dulu sudah Zea lakukan, ia tidak bisa bertamasya sendirian ala-ala backpacker. Harus selalu ada orang yang menemani. Kalau tidak Zea akan merasa kebingungan.

"Sepertinya lumayan jauh dari jalur mudik. Kenapa kamu mau kesana?"

Azka menoleh sebentar, ia sedang menyetir dan baru saja menyalip sebuah becak yang parkir di pinggir jalan.

"Tujuan utama, aku mau ke Masjid Agung Indramayu. Melaksanakan sholat dhuhur di sana. Meskipun aku bukan umat yang termasuk selalu taat, tapi aku punya keinginan untuk mengunjungi beberapa masjid kalau di berikan kesempatan."

"Seluruh masjid agung, gitu?" tebak Zea.

"Ya, bisa juga. Aku suka lihat desain masjid Indonesia yang selalu memiliki ciri khas daerahnya. Seakan arsiteknya mengajak kita untuk selalu menjaga ibadah dengan adanya tempat yang nyaman itu."

Zea paham, jika dari tempatnya saja menonjolkan kata indah untuk di ucap. Maka tempat itu pasti nyaman untuk di kunjungi.

Seperti contohnya tempat wisata, Zea sering menilai keindahan dan kerapian sebelum mengunjungi tempat itu. Mungkin seperti itu juga Azka menilai sebuah tempat.

"Kamu gak keberatan, kan? Harus putar jauh dari jalan yang seharusnya di lewati?" Tiba-tiba Azka merasa tidak enak, takutnya Zea ingin segera sampai Jawa Timur.

Tetapi reaksi gadis itu malah tersenyum lalu menjawab, "Harusnya aku yang tanya gitu, Az. Mengingat lagi puasa, jalanan macet hampir parah dan kamu yang menyetir. Bukankah kamu akan jauh lebih lelah?"

Mengendalikan mobilnya sebelum menjawab, Azka menatap Zea sekilas kemudian kembali fokus pada jalanan. "Ini keinginanku, Ze! Aku yang ingin kesana, maka dari itu aku menawarkan kamu. Sebutkan saja kamu ingin kemana, jangan takut."

Gadis itu nampak berpikir, terlihat seakan sangat sulit menemukan jawaban. Azka ragu, apakah tempat yang Zea ingin kunjungi begitu sulit dalam menyebutkannya?

"Aku gak punya list seperti kamu, tapi aku punya satu permintaan. Boleh, gak?"

"Silahkan!"

Zea memilah, kata demi kata ia susun terlebih dahulu dalam otaknya. Takut-takut membuatnya malu karena salah ucap. Karena jika sudah didengar Azka, ucapannya tidak akan bisa di hapus dari ingatan lelaki itu. "Aku gak ikut masuk ke masjid, ya? Kalau boleh, aku tunggu kamu di mobil ini aja."

Ya, Zea terlalu pemalu untuk mengatakan dia sedang tidak suci. Bukan berarti dia mendefinisikan haid seorang perempuan menjadi sebuah aib. Hanya saja ini yang ia ajak bicara Azka, topik yang seharusnya tidak Zea munculkan dalam percakapan yang terbilang dengan orang baru.

Meskipun Zea sering memperhatikan Azka, mengawasi gerak-gerik Azka. Tetapi baru di ruangan Pak Susanto hari itu Zea mengobrol dengan Azka.

"Boleh saja. Tapi kalau ingin melihat-lihat, ada Pendopo Alun-Alun Indramayu di sebelah masjid agung. Kamu bisa ke sana buat main-main. Nanti selesai sholat, aku akan ke sana!" Zea lega, Azka tidak menanyakan alasannya tidak sholat.

Tapi tunggu, apakah Azka sudah paham dengan sendirinya? Se-expert itukah Azka dengan perempuan?

"Gak jauh kok dari Masjid Agung, gak bakal nyasar. Tenang saja!"

Zea menghirup napas panjang. "Salah, dia gak sejago itu dalam memahami perempuan. Gue mikirnya apa, dia pesannya apa. Ya sudahlah!"

===BERSAMBUNG===

806 Kata

19.04 WIB, 10 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang