JALUR KEEMPAT

24 3 0
                                    


Zea menatap bergantian, dari Pak Susanto yang melihatnya menunggu jawaban lalu menatap punggung Azka yang sejak tadi diam tidak menoleh padanya.

Bukan Zea sedih karena reaksi Azka, Zea bingung. Pak Susanto bukan bos sembarangan. Ia mengenal beliau sejak awal bekerja di perusahaan ini.

Di hari pertama kerja saja, Zea bisa tertawa kencang karena rapat yang di hiasi candaan, di laksanakan bersama bos dan para seniornya.

Zea mengakui, rumit dan perlu memiliki ketelitian tinggi untuk kerja di bagian keuangan. Tapi Pak Susanto mengajarkan para karyawannya kerja cepat dan tepat. Tidak ada perintah deadline yang menurut Zea berlebihan, ia sendiri pernah menyelesaikan tugas dari beliau dua hari setelah tenggat waktu.

"Bagaimana, Ze? Daripada kamu tidak dapat tiket buat pulang kampung?" Benar, Pak Susanto menawarkan hal yang tidak bisa Zea lewatkan. Tapi, haruskah bersama Azka?

Bukan, Zea tidak membenci lelaki itu. Dia hanya memikirkan bagaimana canggung dirinya selama perjalanan. Bahkan jantungnya sekarang dalam kondisi berdegup kencang walau hanya membayangkan semobil dengan Azka.

"Kamu sudah mengenalku?" Azka berdiri, entah sejak kapan tatapan lelaki berkulit putih itu terpaku pada Zea.

Zea menahan napas, ia hampir memundurkan langkah saat Azka berjalan mendekatinya. "Aku Azka!"

Mata Zea berkedip, batinnya merutuki pemikiran aneh yang muncul tadi. "Zea." Sambil menjabat tangan Azka.

Azka mengangguk, melepaskan tangan terlebih dulu lalu kembali menuju kursi yang sedari tadi ia duduki. Melihat reaksi Zea, Azka menaruh curiga bahwa perempuan itu seakan terpaksa masuk ke ruangan ini. Wajah Zea pucat, dan Azka yakin Zea gugup tadi.

"Saya ke arah Malang, Pak. Kalau Kak Azka tidak searah, lebih baik tidak usah." Benar, bukan? Azka sudah menebak Zea akan menolak.

"Searah, Ze! Jangan khawatir." Zea tetap saja ragu. "Tanya saja pada Azka. Az, jelasin sana!" kesal Pak Susanto melihat Azka yang hanya diam duduk di depan mejanya.

"Aku memang akan pulang kampung ke Jawa Timur. Kamu Malang, bukan? Aku Surabaya. Kita searah, jangan khawatir!"
Zea berpikir, arah Surabaya dan Malang berbeda. Azka hanya akan memutar jauh jika mengantarnya pulang.

"Ze, daripada kamu lebaran di sini sendirian. Saya menjamin kamu akan sampai depan rumah dengan selamat. Kamu mungkin belum mengenal Azka, tapi saya bisa memberi jaminan kalau kamu mempercayai saya."

Zea percaya, Pak Susanto tidak pernah menjerumuskan karyawannya pada hal buruk. Waktu itu, pernah ada berita karyawan akan di rumahkan. Pak Susanto dengan sigap memberitahu tips supaya terhindar dari PHK.

Dan benar, karyawannya terbebas dari kejadian itu. Bukannya Zea memuji, tapi selama mengenal Pak Susanto, Zea bisa melihat kalau Pak Susanto bukan orang jahat.

Zea juga mengenal Azka, setidaknya hanya sebatas gerak-gerik Azka selama di kantor Zea sering tahu. Seperti Azka yang sering makan di meja kerjanya sambil bermain ponsel, setiap lembur pria itu sering bolak-balik pantry untuk mengisi ulang gelas kopinya.

Ya, meskipun ia hanya melihat sebatas area kantor. Tapi Zea tidak pernah melihat kelakuan Azka yang menyimpang. Contoh saja, pria itu tidak merokok. Ya, Zea tidak pernah melihatnya. Kalau tidak sengaja berpapasan juga Zea tidak mencium aroma tembakau, hanya parfum menyejukkan yang Zea sudah hapal aromanya.

"Tidak merepotkan?" tanya Zea sedikit takut, tapi Azka bukannya menjawab hanya mendekat dan mengulurkan tangan. Bukannya mereka sudah bersalaman tadi?

"Handphone kamu, Ze! Biar mudah komunikasinya!" Mulut Zea menganga, malu karena pasti wajah bingungnya di lihat dengan jelas oleh Azka.

Mengambil dari saku belakang celananya, Zea menahan napas saat Azka mengetik sendiri nomor di smartphone miliknya.

Senang? Zea sangat senang. Jujur saja, Zea berusaha untuk mendapatkan nomor pribadi milik lelaki yang Zea sering perhatikan.

Sejak kapan Azka menjadi magnet bagi mata Zea? Awal bergabung dengan perusahaan ini. Zea yang telat di hari pertama, hampir saja bertambah telat kalau saja seseorang yang berada di dalam lift sendirian tidak mencegah pintunya tertutup.

Dalam keadaan berlari kencang, Zea berusaha menggapai lift dan berhasil. Zea berterima kasih dengan napas letih. Sejak saat itu, Zea mulai sering diam-diam mengawasi lelaki yang membantunya, Azka. Mengawasi hanya untuk memperhatikan, bagi Zea sehari saja tidak melihat Azka terasa kurang lengkap harinya.

"Chat saja, biar aku save." Zea hanya mengangguk, tatapan matanya kemudian melihat nama kontak yang bertuliskan 'Azka' terpampang di layar handphone-nya.

"Zea!" Sigap, Zea menghadap Pak Susanto. "Kamu bisa mulai ambil cuti di H-2 Lebaran. Sisa perkerjaan bisa kami bertiga yang urus. Persiapkan diri kamu, jangan lupa berkemas."

"Iya, Pak." Zea kembali mengantongi ponselnya, begitu tatapannya mengarah pada Azka. Rupanya lelaki itu sedang menatapnya juga, bahaya.

"Saya pulang duluan deh, Pak. Kabarin saja perkembangannya, karena besok masih ada waktu, biar besok saya atur kembali sebelum balik kampung." Azka berpamitan pada Pak Susanto, tangannya membereskan beberapa berkas. "Pulang duluan ya, Ze! Jangan lupa chat aku."

Perintah yang terdengar mengemaskan di telinga Zea. Apakah hari ini Zea tertidur? Sejak kapan mimpi terasa senyata ini.

"Ze!" Pak Susanto memanggil karena heran dengan Zea yang hanya berdiri memandang lantai. "Kenapa?"

"Tidak, Pak. Terima kasih banyak, saya bisa pulang kampung berkat bapak." Meski secara tidak langsung, ia berterima kasih karena Pak Susanto yang membuat lelaki tadi mengenali Zea.

"Sama-sama, sebelum itu minta tolong lebih giat lagi ya Ze. Saya akui kerja kamu udah maksimal, tapi bantu bapak buat menyelesaikan setidaknya delapan puluh persen pekerjaan ya, biar lusa saya tidak keteteran sendiri!"

Zea mengangguk, senyumannya merekah memahami maksud Pak Susanto, "Siap, Pak. Saya usahakan sampai besok kerja lebih keras!"

Ya, sebagai ucapan terima kasih. Karena bantuan Pak Susanto, ia bisa pulang kampung.

===BERSAMBUNG===

866 kata

07.45 WIB, 05 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang