JALUR KETUJUH BELAS

14 1 0
                                    


Azka gemas, tidak tanggung-tanggung Zea memborong segala jenis oleh-oleh hanya dari satu kota. Padahal tadinya, ada kota lain yang akan Azka kunjungi untuk mengajak Zea berburu oleh-oleh.

Bukannya Azka mengeluh, tapi satu kardus berukuran microwave di bagasinya terisi penuh dengan oleh-oleh untuk keluarga Zea. Gadis itu bercerita mengenai keluarga besarnya yang rakus saat berbelanja tadi.

"Kalau kamu lihat keponakan-keponakan aku, mereka nakalnya minta ampun. Kalau satu dapat yang lain harus dapat!" ujar Zea semangat empat lima ketika tadi di dalam toko pusat oleh-oleh khas Semarang.

Janji Azka yang akan mentraktir Zea membeli oleh-oleh terlaksana, meskipun Azka tidak menyangka gadis itu akan memborong sekardus tapi Azka tetap membayarnya. Hitung-hitung Azka berterima kasih karena Zea mau membantunya terbebas dari sang mantan.

"Jadi maksud kamu, cewek tadi itu namanya Rere?" tanya Zea terkejut, sejak masuk mobil, Zea sudah membahasnya. Azka tidak berniat menyembunyikan, jadi Azka bebas bercerita.

Azka mengangguk, kemudian kembali bercerita, "Dia sendiri yang minta putus tepat sehari sebelum puasa. Tidak tau pasti sebabnya, tapi kalau emang mau putus ya sudah, putus. Simpel, ogah ribet kalau aku!"

"Rere, mbak sekretaris itu bukan?" Azka menggeleng, Zea melanjutkan masih penasaran. "Bukan anak kantor kita?"

"Bukan, Ze. Kamu tidak kenal, jadi aman. Kamu tidak akan bertemu, dan terhindar dari aksi cakar-cakaran!" Zea merenggut kesal mendengar ejekan itu.

"Buat apa aku cakar-cakaran sama mantan kamu? Pacar bukan, gebetan kamu juga bukan!" Sudah terlanjur kesal, apalagi diingatkan emosi yang tadi tersulut karena wanita bernama Rere.

"Emang kamu mau jadi pacar aku? Lagi jomblo nih, gimana?" Harusnya Zea baper, harusnya. Tapi lelaki di sampingnya itu mengatakan dengan nada bercanda. Seakan mengejek perasaan Zea yang menyimpan rasa namun segan untuk mengungkapkannya.

Andai saja, keberanian itu muncul sekilas. Menyapa dan membiarkan Zea mengungkapkan perasaan dalam hatinya. Tapi Zea takut, akhir yang tidak Zea harapkan. Gadis itu berusaha jujur dari dalam hatinya.

Azka terlalu jauh untuk Zea raih, lelaki itu memiliki ribuan cahaya yang sering membuat Zea redup karenanya. Seakan-akan, tidak pernah sekalipun kesempatan hadir untuk membuat langkah Zea semakin dekat.

Sungguh, tidak lebih dari sekedar pengagum. Zea sering berharap lelaki itu menyapanya sebelum hari pertemuan keduanya di kantor Pak Susanto hari itu. Ingin rasanya jika Azka sekedar mengetahui bahwa ada sosok manusia bernama Zea yang bernapas di bumi ini.

Tapi takdir tidak menggariskannya, Azka baru mengetahui sosok manusia bernama Zea pada hari itu. Meneliti kebelakang, Zea memang tidak ada tandingan dengan mantan-mantan Azka yang pernah Zea ketahui.

Yang sekantor, Zea sering berjumpa  Azka sedang menggandeng tangan perempuan. Dari pemandangan itu saja, Zea pernah masuk ruang kesehatan di kantor karena mendadak demam.

Sakit, Zea terlalu sering menyakiti perasaannya. Tanpa pernah melibatkan Azka, karena lelaki itu tidak mengetahui bahwa Zea menyukainya. Ya, bukan salah Azka. Sejak awal, tepatnya sejak Zea mulai mengangguminya. Benih bernama patah hati mulai tumbuh menjadi sebuah tunas, yang Zea pupuk dengan cara memperhatikan setiap gerak-gerik Azka tanpa berniat mendekat dan mengungkap.

Kini, tunas itu tumbuh menjadi benalu. Yang menyelimuti tubuh Zea dengan batang berduri, menusuk dan menyakiti setiap kali Zea membayangkan akhir bahagia bagi perasaannya yang tanpa diikuti tindakan yang nyata.

"Aku mau ke toilet, bisa berhenti di pom terdekat?" Setelah lama berdiam, Zea mengucapkan hajatnya dengan nada pelan.

===BERSAMBUNG===

534 Kata

18.52 WIB, 19 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang