JALUR KEDUA PULUH

23 2 0
                                    


Ya, bulan puasa tepat pada hari ini telah kembali terlelap. Membiarkan para umat merayakan kemenangan dengan takbir yang menggema sejak Azka keluar dari masjid agung kota Malang.

Takbir yang terus melantun juga menandakan bahwa umat islam kembali menjumpai hari kemenangan. Makna hati raya idul fitri bermacam-macam. Azka dan Zea termasuk mensyukuri apa yang telah tuhan mereka gariskan. Zea mencintai bulan ramadhan, tapi juga menerima dengan hati gembira hari kemenangan.

"Selain rawon, apalagi yang menarik di kota ini?" Azka seperti menantang, Zea dengan senang hati menjelaskan.

"Banyak, salah satunya wisata cahaya. Malang Night Paradise!" semangat, Zea mempromosikan salah satu wisata paling menakjubkan yang Zea sering kunjungi.

"Sekarang, buka tidak?" Mengingat kumandang takbir terus menggema, Azka berpikir tempat wisata pasti tutup yang ada.

"Aku tidak tahu, maaf!" Selain karena telah berpromosi dengan semangat, Zea harus memberikan Azka pil kekecewaan yang menyatakan kegagalan pada harapan yang Zea tunjukkan.

"Kalau begitu, lebih baik kita langsung berangkat lagi menuju rumah kamu. Sepertinya sejak tadi keluarga kamu khawatir, handphone kamu gak berhenti berdering." Azka salah, pesan yang Zea terima bukan hanya dari ibunya yang khawatir. Tapi Hambar dan Sawo riuh memenuhi grub dengan obrolan entah apa saja.

"Oke, aku bayar dulu!" Zea segera menyingkir, menuju meja kasir dan membayar seluruh tagihan. Selesai dengan misinya, Zea kembali dan mendapati Azka sudah berdiri dan merapikan meja dengan menumpuk piring bekas keduanya makan. "Kenapa diberesin?" tanya Zea heran.

"Sudah, ayo!" Azka pergi lebih dulu, membawa handphone miliknya dan meninggalkan Zea yang masih melongo tidak memahami tingkah Azka tadi.

Memasuki mobil, Zea dapat mendengar dengan ramai jalanan Malang yang menunjukkan makna idul fitri yang sesungguhnya. Terlihat dari sekitar jalanan, Zea mendapati sebuah pawai obor khas yang dilakukan ketika malam takbiran.

Indah, dengan latar malam hari. Terlihat mulai dari anak kecil maupun orang dewasa merayakan bersama dan menciptakan suasana hangat. Ya, Zea juga bisa menebak bahwa desanya pasti melakukan hal serupa. Pawai dengan maksud mengajak seluruh umat islam untuk bertakbir bersama, merayakan malam kemenangan atas perjuangan mencari keberkahan di bulan ramadhan.

"Ramai ya, Ze!" Zea mengangguk. Azka ternyata juga menikmati, hal itu sedikit membuat rasa bersalah Zea atas keinginan Azka berwisata batal terlaksana. "Kalau di kampung aku, segala alat yang bisa menimbulkan suara dipakai buat bikin suara bising. Lebih ramai dari ini!"

Ya, setiap daerah memiliki cara masing-masing. Namun bagaimanapun, mereka tetap merayakan hal yang sama meski cara dan teknik yang digunakan berbeda-beda.

"Lewat sini, Ze?" Gadis itu menunjuk, mengarahkan Azka hanya dengan mulut dan telunjuk. Ya, beberapa meter lagi, Zea akan menemui keluarganya. Ibam dan sang Ibu, yang sejak semalam terus mengkhawatirkan Zea yang masih dalam perjalanan pulang.

"Sini, udah sampai!" Zea menunduk, mengucapkan syukur atas berkah perjalanan yang Zea rasakan. Gadis itu menoleh ke kanan, menatap Azka yang melepaskan sabuk pengaman. "Mau turun?" Bahaya!

"Iya, kenapa?" Polos atau pura-pura, Zea memukul dahi kesal. "Jangan bilang mau melarang! Aku harus turun, biar tidak disebut sopir bayaran!" membuka pintu, Azka keluar tanpa ingin mendengar Zea berkata.

Sialan, Zea langsung berlari. Memutari mobil menuju bagasi di mana Azka sedang mengeluarkan barang-barangnya. "Az!"

Namun kukuh Azka tidak mendengarkan. Lelaki itu membawa tiga kardus tanpa menatap Zea sedikitpun. Hal itu akhirnya membuat Zea menghela napas.

Sia-sia, karena sang Ibu sudah berdiri di depan pintu rumah dengan senyuman lebar menanti Zea mendekat.

"Assalamualaikum, Tante," sapa Azka dengan santainya. Lelaki itu seakan tidak memiliki urat malu ketika menghadapi ibunya Zea.

"Wa'alaikumsalam," Senyuman itu menyiratkan kata yang Zea pahami. Sial baginya, tidak pernah Zea terpikir untuk meminta Azka tidak menemui ibunya. "Kak, kok diem? Sini!"

Azka menepi, membiarkan Zea melepas rindu dengan sang ibu. Saling menyayangi dan harmonis, itu yang Azka simpulkan dari interaksi keduanya.

"Ini nak Azka itu. Terima kasih banyak sudah mau mengantarkan anak tante pulang. Masuk dulu, tante udah buatin minuman hangat. Yuk!"

"Tidak perlu, Tante!" tolak Azka pelan, "Saya harus lanjut perjalanan lagi. Keburu semakin larut."

Zea mengkhawatirkan keadaan Azka, ibunya malah terharu senang, "Masyaallah, Nak. Tapi lebih baik minum hangat-hangat dulu ke dalam, Tante buatkan kopi, biar tidak mengantuk, ya?"

Zea menatap pedih pada sang ibu, "Astagfirullah, Mak gue!"

"Saya langsung saja, hanya berniat menyapa tadi. Terima kasih tawarannya, saya langsung lanjut perjalanan, ya, Tante." langsung pamit dan bersalaman, Azka terlihat tidak memberikan kesempatan untuk Ibunya Zea untuk menjawab. "Pamit dulu, Ze. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam warrahmatullahhiwabarakatuh," Terus mengamati, dengan napas lega dirinya melanjutkan ucapan syukur dalam hati.

Ya Allah, kau gariskan takdir indah. Mengenal dan bersama Azka selama dua hari membuat Zea merasakan nikmat doa yang telah Zea hajatkan. Doa yang terselip nama lelaki tadi membuat Zea mengalami pengalaman baru. Pengalaman indah dan menyenangkan. Pengalaman yang tidak akan Zea lupakan seumur hidupnya.

Terserah, untuk ke depan. Zea tidak mempermasalahkan nasib perasaan yang ia pupuk sejak bertahun-tahun silam. Pasrah dan terus melanjutkan doa meski enggan berusaha. Ya, Zea hanya akan mempercayai takdir tuhan yang pasti akan memberikan hasil baik untuk hidupnya. Apapun itu, buruk ataupun bagus, dengan lapang dada Zea akan terima.

"Jadi?" Mulai, ibunya mulai penasaran. Memang, Zea tidak sepenuhnya bercerita pada ibunya tentang perasaan terpendamnya untuk Azka selama ini. Sang ibu hanya tau bahwa Azka adalah pria baik yang menawarkan diri membantu Zea agar bisa pulang kampung dengan selamat.

"Dia baik, Kak!" protes ibunya tidak di hiraukan, "Masa dia tidak kesengsem sama kecantikan kamu?"

"Bu, Zea capek. Masuk dulu, yuk. Besok hari raya, waktunya bermaaf-maafan loh!"

"Ya kenapa? Ibu ingin tau cerita seluruhnya, Kak!"

Zea gemas, tangannya melepaskan koper yang sedari tadi ia genggam erat. Mendorong tubuh ibunya dan meninggalkan barang-barangnya di depan rumah.

Dengan berjalan masuk, Zea menoleh pada langit malam. Mengucapkan terima kasih, bibirnya tersenyum menunjukkan rasa syukur yang mendalam.

"Kisah yang terlukis dengan waktu singkat. Namun, terasa sangat melekat. Aku yang selalu pasrah dengan doa, kau perlihatkan bukti nyata. Ramadhan selalu indah, kau datangkan pengalaman berharga. Terima kasih, dua hari yang teramat berarti."

--TAMAT--

23.57 WIB. 20 September 2023

Terima kasih, sudah membaca hingga titik ini. Saya harap kamu bisa memetik sebuah pelajaran dari cerita yang baru saja kamu baca hingga tamat ini.

Saya ucapkan mohon maaf, bila ada kesalahan dalam penggambaran tempat atau lokasi yang tercantum dalam cerita ini.

Revisi akan segera dilakukan, terima kasih dan sampai jumpa dilain kesempatan.

Salam manis,

Putri Sukma

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang