JALUR KELIMA

20 3 0
                                    

Definisi hati berbunga-bunga mungkin itu yang bisa Zea gambarkan. Sejak keluar dari ruangan Pak Susanto kemarin, perasaannya tidak lagi gelisah karena mengkhawatirkan tiket untuk pulang.

Hanya ada perasaan yang Zea tahu penuh kebahagiaan. Zea mulai berkemas tadi malam, menyiapkan beberapa oleh-oleh untuk keluarganya di kampung.

Tidak lupa juga, Zea memberi pesan pada ibunya tentang kepulangannya.

Lalu, Zea juga menuruti perintah Azka untuk memberitahukan nomor miliknya melalui pesan singkat.

Hanya mendapatkan balasan dua jempol saja membuat Zea teriak kesenangan di dalam kamar.

"Yang akhirnya bisa pulang kampung! Senang banget!" Zea memutar bola mata mengetahui Sawo baru tiba di kantor.
Pukul delapan tepat pria itu baru masuk dan menyapanya. Sedangkan Hambar tidak tahu dimana.

Zea sedikit kesal, kapan sih Zea tidak di buat kesal dengan keduanya. Kemarin, saat keluar dari ruangan Pak Susanto, Zea mendapati keduanya masih mengawasi.
Harusnya Zea tidak terkejut, tapi perkataan hambar membuat Zea melotot seketika.

"Kalian berdua di jodohin sama Pak Susanto?" Belum sempat Zea bereaksi, Sawo lebih dulu memukul kepala Hambar.

"Yang benar saja! Lo pikir Pak Susanto biro jodoh!" Hambar mengangguk menyetujui perkataan Sawo yang bisa saja benar. "Memangnya Zea cantik sampai di jodohkan sama cowok tadi. Lagian gue heran, tuh cowok sering banget keluar masuk ruangan Pak Susanto. Bisa setiap hari, bahkan sampai malam. Ngapain ya mereka?"

Zea mendelik pada Sawo, bukan karena keraguan Sawo pada kecantikannya. Melainkan bisa-bisanya Sawo memberikan pernyataan yang ambigu seperti itu. "Urusan mereka, lah!"

"Tapi bener loh, Ze!" Mulai, kalau tidak kompak bukan Sawo dan Hambar. "Sering banget, bisa seminggu tiga kali. Mana di dalam lama banget. Gue jadi curiga!"

Zea mengusap wajah, mengusir pemikiran Sawo dan Hambar masuk otaknya. Tidak, Zea tidak akan berpikiran buruk. Zea tidak memahami maksud mereka.

"Eh, main duduk aja! Bilang dulu, lo ngapain tadi di dalam sana?" Hambar yang penasaran mencegah Zea duduk.

"Gak di jodohin, kan?" Mau berdebat juga percuma, hanya akan membuang tenaga Zea saja.

"Gue dapat tumpangan buat pulang kampung. Jadi kalian gak perlu kasihan lagi sama gue. Gue akan berlebaran di rumah gue sendiri!"

Bukan mereka kalau tidak bertanya sampai akar-akarnya. Seperti salah satu tetangga di kampung Zea. Menanyakan seluruhnya dari sebab sampai akibat harus terjabarkan secara rinci.

"Lo seriusan pulang kampung sama siapa kemarin? Sama cowok yang selalu datang ke ruangan Pak Susanto itu, siapa namanya?"

Rupanya Sawo masih penasaran, padahal kemarin Zea sudah menjelaskan secara terperinci, jelas dan harusnya di mengerti bukan bertanya kembali.

"Iya, Sawo!"

Nasib baik mendatangi Zea, Hambar yang baru tiba pasti akan membuat Sawo berhenti membahas atau bertanya-tanya tentang topik kemarin.

Zea bukannya enggan menjawab, tapi kemarin sudah Zea jelaskan semuanya. Kalau harus mengulang pembahasan yang sama, Zea malas menanggapinya.

"Aduh, Neng. Yang besok mulai cuti, cerah sekali wajahmu!"

Zea tersenyum, memutar kursi menghadap Hambar. "Ya, dong!" ejeknya.

"Songong!" Balasan Zea hanya kiasan rambut, tapi hampir mengenai wajah Hambar. "Ya, yang pulang kampung sama cowok! Paham gue paham!"

Zea hanya tertawa, sudah biasa Hambar memanas-manasi topik pembahasan.
"Ham, siap-siap aja kita. Diam-diam bilang gak mau punya pacar, tapi dia pulang kampung bareng cowok. Pertanda, habis lebaran ada yang lamaran!"

*****

Zea bukannya mau pamer, tapi layar komputer selebar itu ia gunakan untuk menatap room chat-nya dengan Azka. Hanya berisikan dua pesan, tapi Zea berharap akan bertambah.

Ruangan kantornya sunyi, kedua kacung Pak Susanto sedang tertidur pulas menikmati waktu istirahat. Sedangkan Zea baru kembali dari pantry setelah makan bekalnya sendirian di sana.

Zea bisa saja menahan lapar, takut jika saat ia makan ada seseorang yang melihatnya. Tapi, pekerjaan yang Pak Susanto serahkan begitu menguras tenaganya.

Zea tidak yakin sanggup menghadapinya tanpa mengisi perutnya yang kelaparan.

Menyadari dirinya sudah lama bersantai, Zea bergegas kembali bekerja. Memang, sekarang jam istirahat masih berjalan. Tapi mengingat Pak Susanto telah membantunya supaya bisa pulang kampung, Zea akan membantu sekuat yang Zea bisa.

Lihat saja, cuti lebaran sudah dekat. Tapi Hambar dan Sawo masih sempat tidur siang dan mengabaikan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja mereka.

"Ze?" Bukan salah tangan Zea yang membuat mouse-nya jatuh ke bawah. Tapi panggilan tadi mengejutkan Zea, apalagi suara dari orang yang memanggil namanya.

Azka, lelaki itu membantunya mengambilkan barang yang terjatuh. Zea bangkit, tanpa sadar membuat kursinya menggelinding beberapa senti.

"Ada apa, Kak?" Zea hanya bermaksud sopan, dia tidak tau harus memanggil Azka dengan apa.

"Santai saja, panggil nama biasa. Gak usah pakai, Kak," ucapnya sambil mengembalikan mouse tadi, "Kita berangkat besok pagi, sudah siap kan?"

Zea mengangguk, Azka kembali melanjutkan. "Sharelock tempat tinggal kamu, besok pagi sekitar jam tujuh aku jemput!"

"Iya." Apalagi yang bisa Zea katakan. Kemudian Azka pergi, menuju ruangan Pak Susanto dan masuk ke dalamnya.
Zea meringis, ia heran dengan Azka.

Kenapa tidak mengatakannya saja melalui pesan whatsapp, bukankah jauh lebih mudah?

Buat apa Azka menyimpan nomornya kalau tidak di pergunakan dengan maksimal. Jauh-jauh menemui Zea hanya untuk meminta alamat kosnya melalui sharelock.

Sebentar, Azka bukan hanya menemuinya. Buktinya sekarang lelaki itu menemui Pak Susanto juga.

"Kepedean banget sih, Lo!" Sibuk mengutuk diri sendiri, Zea mendengar suara orang sedang meregangkan tubuh. Kemudian mengatakan sesuatu.

"Jangan lupa, Ze! Sharelock-nya menjelang bobok, biar ketemunya sampai mimpi lalu turun ke hati!"

===BERSAMBUNG===

833 Kata

12.20 WIB, 06 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang