Zea mulai gelisah, perasaan was-was terus saja meliputi dirinya. Seakan-akan pesan yang semalam Zea baca menampar dirinya untuk tidak berharap lebih bisa memiliki lelaki itu. Pikirannya mengelana ketika dia yang mendengar Azka berbicara di telepon saat sedang makan di warung dekat hotel pada saat sahur tadi.Tidak, suara si penelepon tidak terdengar namun kata-kata Azka bisa Zea dengar dengan jelas karena lelaki itu menjawab panggilan tidak jauh dari meja tempat mereka makan.
Gadis itu hanya mendengar Azka berkata dua kalimat. "Aku ada di perjalanan, kenapa?" Begitu mengangkat panggilan, Azka berkata demikian. Lalu kalimat selanjutnya, "Bukan urusan kamu lagi, Re!"
Setelah itu tidak lagi Zea mendengar Azka berbicara karena sepertinya lelaki itu hanya mendengarkan. Tidak lama setelah itu, Azka kembali ke meja dengan wajah masam. Lelaki itu meletakkan ponsel dengan layar di bawah, seakan menghalangi Zea menatap layarnya.
Kini, mereka berdua telah kembali melanjutkan perjalanan. Sudah setengah jam lamanya setelah checkout dari hotel tadi, Azka belum membahas lokasi mana lagi yang akan mereka kunjungi.
Hari ini merupakan hari terakhir di bulan ramadhan, Zea menghitung tepat tiga puluh hari ramadhan menemani. Esok, ramadhan kembali istirahat, dan akan bangun menjumpai umat islam di tahun berikutnya.
"Kamu gak lapar, Ze?" Sudah tiga kali tepatnya Azka bertanya seperti itu. Zea tertawa menanggapi, bingung kenapa Azka terus bertanya hal yang seharusnya sudah Azka tahu jawabannya.
"Kenapa sih sebenarnya? Kamu lapar, Az?" Kemudian Zea tertawa pelan. Lelaki itu melihat Zea sekilas lalu kembali fokus pada jalanan yang padat. Maklum saja, hari terakhir mudik sebelum besok hari raya tiba. Sudah bisa dipastikan jalanan penuh dengan kendaraan.
"Kamu kan gak puasa, tapi sejak tadi hanya minum segelas air. Takutnya kamu lapar tapi karena ada aku, kamu takut buat makan!"
Iya, tadi setelah matahari memunculkan diri. Zea meminum segelas air sebagai bukti bahwa ia tidak sedang berpuasa. Azka kembali menoleh, melihat Zea yang hanya diam saja tidak menjawab.
"Mampir beli makanan, kah?"
"Tidak perlu, astaga. Aku baik-baik saja, tidak lapar ataupun haus!" Panik tentu saja, Zea menjawab jujur kali ini. Dirinya tidak berbohong karena memang tidak merasakan lapar maupun dahaga.
"Baiklah, tapi kalau lapar, bilang ya. Jangan diam saja!" Zea mengangguk patuh supaya Azka percaya padanya.
Isyarat sebuah pertanyaan muncul dalam pemikirannya, Zea bergegas menanyakan agar Azka tidak mengkhawatirkan hal yang tidak Zea alami. "Wisata selanjutnya kemana?" tanya Zea penuh semangat.
"Lokasi oleh-oleh di kota ini, dan wisata favorit kalau berkunjung ke semarang. Coba tebak!" Azka ingin bermain-main atau menguji pengetahuan Zea mengenai kota ini? Bukankah lelaki itu pernah mendengar opini Zea yang mengatakan tidak pernah kemana-mana. "Tidak tau?"
Zea menggeleng, tidak lagi begitu penasaran. Karena tiba-tiba mood Zea berubah ketika dering ponsel Azka kembali menyala. Kali ini masih nomor yang sama, handphone Azka yang diletakkan tepat di tengah-tengah keduanya membuat Zea dengan jelas melihat layarnya.Aneh, Azka tidak langsung mengangkat ponselnya tapi juga tidak juga melanjutkan pembicaraan. Beralih menatap pemiliknya dari yang tadinya fokus menatap layar ponsel Azka. Tunggu, Zea mendapati otot leher Azka menegang. Ada apa?
"Az?" Zea memanggil bermaksud untuk bertanya kenapa tidak menjawab telepon dari nomor itu. Belum sempat berucap, Zea mendapati Azka meminta sesuatu.
"Aku boleh minta tolong kamu, Ze?" Dering ponsel Azka masih berbunyi, Zea mengangguk dengan tatapan tepat pada mata Azka. "Jawab panggilan itu, katakan pada dia kalau kamu kekasih atau pacarku. Beraktinglah seakan kamu terganggu dengan telepon dari dia yang menganggu pacarmu!"
What!
***
Masih pagi, Zea berhasil naik darah karena berdebat dengan seorang wanita. Bukan, Zea tidak berjumpa secara langsung. Tapi panggilan telepon dari ponsel Azka yang dijawabnya tadi memancing emosi Zea.Wanita dari seberang sana mengajak Zea berdebat, namun bukannya Azka ikut membantu, dia malah membiarkan Zea emosi sendiri.
"Diem ya! Dia pacar gue, kalau lo gak terima kenapa lo lepasin waktu itu, tolol!"
Azka tertawa tanpa suara, tidak pernah menyangka Zea akan mengumpat. Karena setahu Azka gadis itu termasuk tipe yang pendiam.
"Mikir? Lo sendiri yang gak punya otak, coba lo ngaca dulu deh sekarang!" Menikmati, Azka tidak mencegah Zea yang terlihat meremas ponselnya. "Gila aja, muka gue terlalu cantik buat lo lihat. Lagian gue ogah video call sama lo! Bye!"
Tawa lepas Azka menjadi backsound dari drama yang telah berakhir. Zea mendelik ketika Azka tidak juga berhenti tertawa. Pikir Azka, beruntung gadis sebelahnya sedang haid. Kalau tidak, puasa Zea akan batal karena amarahnya itu.
"Puas? Bisa-bisanya macan garang kamu jadikan pacar!" komentar Zea menambah gelak tawa Azka. Sungguh, Azka harus tepuk tangan karena dia berhasil melihat karakter Zea yang bisa mengumpat.
Bukannya bangga, tapi sejak pertemuan pertama antara keduanya. Gadis itu tidak lebih hanya menunduk, melamun, gugup dan berbicara seadanya. Azka tidak pernah menduga Zea akan berbicara seperti itu.
"Dia bicara apa, sampai kamu begitu emosi, Ze?" Bagaikan menginginkan emosi Zea kembali memuncak, Azka memancing dengan pertanyaan yang akan mengungkit percakapan Zea dengan wanita gila dari ponsel miliknya.
"Intinya buruk. Kamu tidak perlu tahu!" sarkas gadis itu tidak ingin membahas kembali. Zea menyilangkan tangan pada dada, menyembunyikan wajahnya yang masih terduduk emosi tingkat puncak.
Wanita dari seberang sana menyebut Zea dengan kata-kata yang sama kasarnya. Kalau saja tidak dipancing, Zea tidak akan mengatakan kata-kata kasar seperti tadi. Seperti peribahasa tidak ada asap kalau tidak muncul api, begitu pula Zea, tidak akan marah kalau darinya tidak menyulut emosi.
"Sudah, mari ke toko oleh-oleh sekarang. Aku akan traktir karena kamu bantu aku dan juga bayarin hotel tadi malam." Ya, Azka hendak mengembalikan secara transfer tapi Zea menolak. Alasannya karena gadis itu menumpang juga berkali-kali Azka mentraktir makanan untuk Zea. Padahal tidak masalah bagi Azka, karena Azka ikhlas memberikannya.
Ditambah juga sebab Zea, dia akan mendapatkan profit lebih besar bulan depan bukan? Layaknya investasi, Azka akan memanennya pada bulan depan.
Zea menghela napas panjang, tangannya turun ke pangkuan. Tidak lagi menyembunyikan wajah yang mulai turun emosinya, Zea menatap Azka lalu mengangguk pelan. "Habis itu ke wisata yang aku mau, ya?"
===BERSAMBUNG===
959 Kata
20.20 WIB, 18 Sept, 2023
PuMa
KAMU SEDANG MEMBACA
Mudik Jalur Selatan (Tamat)
Romance(Lengkap) 1. SpEsial LAngsung Tujuan pelaminAN 2. SpEsial LAmunan + khayalAN 3. SElamat LAngsung TujuAN Tidak pernah Zea menyangka, bahwa ia akan mudik bersama seseorang yang selama ini menjadi pusat perhatiannya. Zea, yang berhari-hari murung kare...