JALUR KEDELAPAN BELAS

12 1 0
                                    


Perkiraan Azka untuk bisa sampai di kota tujuan Zea ada di jam tiga sore. Ya, sampai di kota Grobogan Jawa Tengah tadi, Azka bisa memprediksi dari peta online dan macetnya jalanan bahwa tidak akan meleset jauh dari perkiraannya, bahkan bisa lebih cepat.

Prediksi Azka itu juga didasari dengan tenggat waktu mereka pada destinasi wisata selanjutnya yang akan di kunjungi. Sayangnya, Azka merasakan perasaan bersalah pada anak gadis kota Malang di sebelahnya. Zea nampak tidak berekspresi saat mengutarakan keinginannya mengunjungi pantai. Raut wajah datar itu menyebabkan Azka tidak berani menolak permintaannya.

Jadi dengan tekad dan rencana baru, Azka memutar kemudi keluar jauh dari jalur menuju arah tujuan. Tuban, Azka membawa mobilnya menyusuri jalanan menuju kota yang akan menjadi tempatnya menebus rasa bersalah pada Zea. Bukankah sejak awal, Azka menginginkan Zea berpartisipasi pada rencana berwisata darinya dengan nyaman? Maka, dengan mengubah list wisata yang Azka rencanakan sebelumnya, bisa membuat Zea nyaman juga memaafkan kesalahannya, kenapa tidak Azka lakukan.

Takut, Azka seharusnya tidak membiarkan gadis itu berhadapan dengan Rere--mantannya. Azka terlalu egois, sampai tega melakukan itu. Ya, Azka akan menebus kesalahan itu sekarang.

"Kamu tidur, Ze?"

"Tidak!" Lihatlah. Sekurang-kurangnya Azka memperhatikan pacarnya dahulu, Azka bisa paham ketika seorang perempuan marah akan menjawab dengan singkat ketika ditanya.

Masih belum mendekati waktu sholat, jalur menuju kota Tuban tidak Azka kenali dengan baik. Meski kota itu merupakan salah satu kota yang juga masuk provinsi yang sama dengan kota kelahiran Azka, Jawa Timur. Tapi Azka termasuk orang yang jarang bepergian. Buktinya, Azka pernah mendapat sindiran ketika budhe atau tantenya mengatakan, "Kamu itu jangan di rumah terus, kalau saudara kamu sedang membuat rencana liburan, ya kamu harus ikutan. Harusnya menjaga silahturahmi dengan sanak keluarga jauh, itu lebih penting daripada pekerjaan, Az!"

Omelan itu tidak Azka hiraukan lebih dalam, hanya akan membebani Azka yang malang. Terserah apa kata orang, Azka akan berwisata dengan caranya sendiri. Meskipun tersemat dalam hatinya, beberapa ejekan teman juga keluarganya, Azka hanya berniat membahagiakan diri dan keluarganya. Pola pikir Azka selalu mencambuknya dengan kalimat, "Kamu itu harus bahagia dengan caramu sendiri, pilah dan pilih masukan yang baik untukmu. Overthingking karena ejekan negatif hanya akan membawa dampak buruk. Jadi, fokus pada jalurmu dan raih masa depan yang kamu inginkan."

"Aku belum pernah mengunjungi pantai, kamu pernah atau ini baru pertama kali?" Entahlah, Azka hanya akan mengantuk jika obrolan tidak tersedia. Terserah jika gadis di sebelahnya tidak menjawab, suasana sepi harus diubah olehnya.

"Sudah, tapi dulu. Saat bapak masih ada."

"Maaf, bukan maksud menyinggung itu, Ze. Aku tidak tau."

Zea terlihat memahami, bibir kecil gadis itu juga menunjukkan senyum tipis. "Tidak masalah. Pantai, aku menyukainya. Apalagi jika bisa melihat fajar tiba."

Azka tersenyum, menyadari Zea tidak lagi mendiamkannya. Usahanya mengubah arah kemudi membuahkan hasil nyata. Kini, Azka hanya perlu mengingat, bahwa kemarahan perempuan bisa diubah dengan menuruti kemauannya.

***

Azka tertawa melihat Zea yang bermain air di bibir pantai, gadis itu langsung berlari begitu mobil mencapai parkiran yang tersedia di pantai Cemara, Tuban, Jawa Timur.

Baiklah, kalau tidak Zea yang meminta, Azka tidak akan berpikiran untuk mengunjungi pantai di panas terik seperti saat ini. Keadaan sekitar lumayan ramai, parkiran tadi penuh dengan mobil juga motor yang berhenti. Azka menebak, bahwa sebagian pengunjung adalah pemudik yang sekedar singgah untuk beristirahat dari hiruk pikuk jalanan.

Ya, macet. Azka tadi memulai perjalanan sekitar jam sepuluh, tanpa tersesat dirinya baru bisa memarkir mobilnya tepat pada jam 13:30. Estimasi sampai dari peta online menyatakan jam satu siang, sayangnya macet jalanan sedikit menghambat lajur jalan.

"Sini!" ajak Zea semangat. Gadis itu tidak takut kulitnya menghitam, Azka bisa melihat Zea yang semangat bermain ombak yang sedari tadi menggoda Zea dengan datang dan pergi.

Azka sejak sampai hanya keluar dari mobil lalu duduk di sebuah kursi kayu yang tersedia di bawah pohon, dengan pemandangan pantai yang putih dan luas. Azka harus mulai menyukai pantai, karena pemandangan yang tersaji begitu indah. Mungkin, lain waktu Azka akan merencanakan kunjungan ke beberapa pantai dengan jadwal yang tepat. Misal, tidak di tengah hari seperti sekarang.

"Panas, Ze!" teriak Azka akhirnya. Mungkin Azka akan lebih bisa mentolerir panas asalkan tidak saat dirinya sedang berpuasa. Hari terakhir, Azka tidak akan membuat puasa ramadhannya bolong sehari dengan alasan haus kepanasan.

Basah kaki Zea dibiarkan begitu saja, menghampiri Azka yang memandangnya risih karena pasir menempel di kakinya. "Masa udah di sini, kamu duduk-duduk aja? Main air bentar, ayo. Katanya belum pernah ke pantai!" Zea mengajak layaknya Azka adalah anak kecil yang nakal tidak menuruti ajakan bermainnya.

Azka tetap menggeleng, menyatakan enggan berdiri dari singgasana. Melihat itu, Zea yang kesal memilih ikut duduk tepat di sebelah Azka. Dengan jarak dua jengkal, Zea menatap Azka yang diam memandangi hamparan pasir dan lautan luas.

"Bagus, ya?" Azka mengangguk, matanya berbinar menyukai apa yang tengah di nikmati. Zea lega, akhirnya dirinya mengunjungi pantai lagi. Juga, membawa Azka merasakan pengalaman baru yang harusnya tidak akan terlupakan.

Harus, karena Zea adalah orang yang mengajak Azka untuk pertama kali mengunjungi pantai. Bukankah, pengalaman pertama tidak akan terlupakan?

===BERSAMBUNG===

818 Kata

22.23 WIB, 20 Sept, 2023

PuMa

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang