BAB - 39

7 2 0
                                    

Perasaan Kinaya tidak menyakinkan, perasaannya gelisah dan takut. Karena hukuman yang di berikan Haikal pada santri perempuan itu sedikit berlebihan baginya.

Kinaya menghela napasnya berat, takut juga untuk mengangkat bicara karena selalunya ia berani. Tapi kali ini tidak, persoalan melakukan maksiat di kamar mandi dan di gedor oleh santri lainnya membuat santri itu jadi ketahuan.

Terlebih lagi, Kinaya tak tahu harus berbuat apa. Ia tak berani membantah persoalan fitnah seperti itu akan santri pesantren. Kinaya tidak tega jika harus melihat santri yang di cambuk sebanyak 250 kali dalam sehari.

Kinaya menggigit bibirnya kuat, tidak tahan begitu melihat perempuan yang sedang bersiap disana untuk di cambuk. Haikal juga sangat ragu bersiap di panggung aula.

Hingga akhirnya yang Haikal di gantikan Haidar yang tak kenal ampun persoalan hukum dan hukuman kejam seperti itu.

Haikal menggeleng keras, ia memegang kepalanya yang terasa pening begitu mendengar suara cambukan dan sorakan benci dari para santri yang menyaksikan.

Kinaya menutup mulutnya, matanya berair pelan. Mengalir deras tepat di pipinya dan melintasi telapak tangannya yang menutup wajahnya.

Kinaya berbalik pelan, mengusap pipinya secara kasar. "Dewi... Kamu dimana?" monolog Kinaya mulai mencari-cari dimana sahabatnya itu.

"Arghh..." Kinaya berhenti begitu mendengar lenguhan keras dari wanita yang di cambuk disana, Kinaya berbalik. Menghampiri panggung aula dengan langkah cepat.

"Dewi?? Dewi!?" Kinaya memanggil keras nama sahabatnya, ia menarik tangan perempuan itu dan mulai menoleh kearah wajahnya. Luka lebam serta dengan sayatan besar di wajah gadis itu membuat Kinaya jadi Dejavu.

"Haidar hentikan!" perintah Kinaya langsung naik keatas panggung, sedangkan Haikal yang melihat itu langsung menghampiri Kinaya.

"Lo denger gue, Haidar? BERHENTI!" bentak Kinaya menarik cambuk itu dan membuangnya. Menatap Dewi yang tengah bergemetar hebat di sana. Kinaya langsung menghampirinya.

"Dewi, Dewi! Kamu gapapakan? Ada yang sakit?" Kinaya mengelus pelan pipi Dewi dengan lembut, tatapan kosong Dewi serta dengan luka lebam dan sayatan keras di wajah Dewi.

Kinaya menggigit bibirnya kuat, memeluk tubuh Dewi dengan lembut sembari menatap benci para santri disana.

"Kalian kalau denger berita yang tidak benar jangan langsung mengambik kesimpulan! Yang kalian lakukan ini sebuah fitnah besar!" bentak Kinaya dengan tatapan tajam membuat seluruh santri terdiam.

"Dewi punya masalah tersendiri, dia tidak mungkin bermaksiat di kamar mandi! Dan yang terpenting apa maksud kalian memfitnah Dewi, hah?!"

"Kalian hanya ingin menghancurkan hidup Dewi dan itu tidak ada di ajarkan di pesantren, kalian tidak tau hidup seseorang bagaimana jangan langsung judge mereka!"

"Dan saya tanya, kalian dengar fitnah itu dari siapa? Asal dimana? DAN SIAPA YANG BERANI MENYEBARKAN FITNAH YANG TIDAK BENAR?!" suara Kinaya semakin membesar, Haikal menyuruh Kinaya untuk berhenti karena warga ikutan kepo.

"Saya minta, seluruh santri disini untuk melakukan hukuman. Tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang menghina saya di belakang dan jangan pernah kalian melakukan sesuatu yang melanggar aturan saya!" Kinaya bangkit, membawa Dewi pergi dari sana.

"Haidar! Kamu sudah menyakiti perempuan sebanyak 23 kali dan kamu Haidar, push up 235 kali. Sekarang!" perintah Kinaya cepat, menyuruh Haikal untuk membuka pintu ndalem dan langsung mengobati luka di wajah Dewi.

Saat di ndalem, Dewi menangis sekejar-kejarnya. Tubuhnya bergetar hebat. Sayatan di pergelangan tangan dan pahanya juga terlihat jelas. Terbukti kalau Dewi sudah hampir depresi karena hal itu.

Luka Biasa | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang