Tiga

7.2K 774 32
                                    

Pagi tadi, tepatnya jam tiga pagi Ansara sudah berburu mengejar jam penerbangan pesawat menuju Surabaya. Misinya belum selesai teman-teman, berbekal status sebagai Reporter, Ansara harus bisa membawa segenap informasi yang Aditya Wijaya inginkan.

Ansara sudah duduk dengan tenang di bangku pesawat, mengencangkan sabuk pengaman, dan ketika pesawat sudah stabil berada di ketinggian tiga ribu, Ansara mulai mengeluarkan buku catatannya dan pulpen yang ada di saku jaket jeansnya.

Ansara mulai menulis satu persatu rencana yang akan dia lakukan di Surabaya. Pertama, mencari restoran rawon, bagaimana pun amunisi pertama yang harus di isi adalah perutnya. Kedua, Ansara harus mandi di hotel selagi menunggu mobil sewaan yang akan diantarkan oleh orang Traghana.

Sesungguhnya Traghana benar-benar membantu, selain membantu Traghana benar-benar canggih sehingga setiap SDM-nya terwakilkan di setiap kota dan provinsi.

Ketiga, Ansara harus mengabarkan Ibunya kalau misi kali ini akan sedikit berbahaya dan semoga saja ia diberikan kekuatan untuk melewatinya.

Sampai di Surabaya, rencananya gagal total. Dia langsung dijemput oleh satu orang berkacamata, bertubuh tinggi dan besar yang memperkenalkan diri sebagai Traghana.

Ansara dipertemukan dengan wakil ketua Traghana, bernama Kama. Lelaki tinggi, berbadan tegap, besar, tapi anehnya punya senyuman yang cukup manis.

"Non Ansara, kenalkan saya Kama." katanya mengajak Ansara berjabatan tangan.

Ansara terlalu lama memerhatikan wajahnya yang manis sampai-sampai dia termenung ketika diajak berjabatan tangan. "O-oh, iya..."

"Non?" panggil Kama berusaha menyadarkan lamunan Ansara.

"Ya—maaf, sori..." Ansara menggelengkan kepalanya. "Sori, siapa?"

"Kama," jawabnya dengan sabar. "Hotel kita samaan ya, Non. Katanya, sudah dipesankan oleh Pak Aditya di Hartanto Hills Pakuwon."

Ansara mengangguk lagi. "Baik, tolong... jangan panggil saya Non," pintanya kepada Kama, jujur agak risih juga Ansara. "Panggil saya Ansara aja nggak apa-apa,"

Kama mengambil alih koper Ansara dan memasukkan ke dalam bagasi mobil. "Saya disuruh oleh Bang Gana sih, karena beliau juga panggil Non juga,"

"Saya bukan Nona kalian," jawab Ansara dengan lugas. "Lagi pula, saya juga kerjasama dengan kalian, kan?"

Kama menutup pintu bagasi dan menghela napas. "Baiklah, Ansara?"

"Begitu," senyum Ansara senang dan puas. "Berapa umurmu kalau boleh tahu?"

"Saya kelahiran sembilan tiga," jawabnya sembari membukakan pintu mobil untuk Ansara.

Oow... memang ya, takdir Ansara sepertinya harus selalu bertemu dengan lelaki umuran.

Setelah Kama masuk ke dalam mobil Pajero hitam itu, lelaki itu bertanya kembali padanya. "Kamu kelahiran berapa?"

"Sembilan delapan," balasnya dengan cengirannya.

"Baik," Kama manggut-manggut dengan wajah tenang. "Tolong pakai seatbelt,"

Ansara langsung memakai seatbelt dengan gelagapan. "Oh, ya... sudah."

"Oke, siang ini kita istirahat dulu saja. Nanti sore baru meeting bersama tim, sudah ada dua orang yang bekerja mengambil akses museum Antologi siang ini. Jadi, santai saja." ujar Kama sembari menavigasi mobil Pajero hitam itu.

"Wah..." decak Ansara kagum. "Pekerjaan saya jauh lebih mudah sekarang,"

Kama terkekeh pelan, tidak menurut Ansara dia itu sedang ketawa ganteng. "Tentu, kamu kan anggota 717, keamanan dan level bekerjanya pasti akan dimaksimalkan oleh anggota bawah."

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang