Sedasa

7.2K 746 91
                                    

Laksmana menolak dengan tegas bahan-bahan perjodohan yang sudah Papanya katakan sejak semalam. Rajasa Amidjaja sepertinya tidak setuju—untuk kali ini berpikiran sama dengan Laksmana, Prilly Widjaya tidak akan bisa untuk disandingkan dengan cucunya yang keras macam batu karang ini.

Perempuan yang harus bersanding dengan Laksmana jelas perempuan yang harus bisa tahan banting dalam setiap keadaan. Apa bedanya Laksmana dan Sienggih? Tidak ada bedanya. Hanya saja, mata putranya itu buta dan tidak sadar diri kalau sifatnya menurun seratus persen kepada anaknya sendiri.

"Menikah bukan untuk satu hari dua hari saja, apa lagi niatmu yang menyatukan dua keluarga, kamu pikir itu mudah?" tembak Rajasa kepada putranya, Sienggih.

Virginia, menantunya sudah mengangguk sebal sejak tadi karena perseturuannya dengan suami yang kukuh ingin menikahkan Laksmana dengan Prilly Widjaya.

"Laksmana sudah pernah gagal," cetusnya lagi sambil menatap Laksmana yang tidak peduli dan menatap layar iPad-nya dengan sok serius. "Apa lagi selama ini dia masih menaruh—"

"Jangan bilang begitu, Opa." potong Laksmana yang tidak bisa diam saja kalau Opanya mulai menyenggol iparnya. "Aku sudah tidak ada perasaan apa pun dengan Demok."

"Oh ya?" itu jelas bukan suara Opanya, melainkan Papanya yang sejak tadi mengibarkan bendera merah. "Lalu perasaan kamu sekarang untuk siapa? Kalau bukan untuk Denok, seharusnya mudah untuk kamu membuka hati, bukan?"

Virginia memukul lengan suaminya dengan kencang. "Jangan begitu!"

"Kenapa, Ma?" balas Sienggih pada istrinya. "Aku berkata jujur kok!"

Virginia menarik napasnya dan tersenyum tipis. "Beberapa waktu lalu, kamu meminta nomor Ansara pada Mama, untuk apa, Laks?"

Telinga Rajasa sepertinya baru saja menyala dengan amat siaga. Sial, kenapa Mamanya harus membahas soal Ansara sekarang?

"Kamu? Meminta nomor Ansara?! Untuk apa?!" tanya Rajasa.

Lihat? Betapa cepatnya respon Rajasa Amidjaja ini.

Laksmana menghela napasnya dan menutup layar iPad miliknya. "Aku hanya perlu kontaknya semenjak dia ikut misi di Surabaya,"

"Halah..." decak Rajasa tidak percaya. "Sudah Opa bilang, jangan ganggu Ansara."

"Aku tidak mengganggunya!" balas Laksmana cepat. "Kenapa Opa seperti tidak menyukaiku begitu?"

"Siapa juga yang akan suka setelah memutuskan rencana pernikahan pada seorang gadis," jawab Rajasa ketus. "Kamu sudah melemparkan kotoran pada keluarga orang, Nak. Tolong sadar apa kesalahanmu dulu,"

Virginia menunduk, mengingat rasa bersalahnya sampai sekarang jika mengingat keluarga Ansara yang kecewa dengan keputusan anaknya. "Ma? Jadi itu alasan Mama ingin aku meminta maaf dan menemui keluarga Ansara?" tanyanya kali ini pada sang Mama.

Virginia mengangkat kepala dan mengangguk. "Dulu, kamu pernah di bangga-banggakan oleh Tante Ayunda, Laks. Dulu, ada keluarga yang sudah menanti kedatangan kamu sebagai menantu,"

Rajasa mendengus sinis, betul-betul memalukan hari dimana dia menginjak rumah Ansara pun rasa bersalahnya tidak akan pernah hilang.

"Apa kesalahanku se-fatal itu?" tanya Laksmana kepada Mama dan Papanya. "Tapi kalian menyetujui keputusanku?"

"Karena saat itu Papa sadar," balas Sienggih dengan wajah tenang. "Kamu tidak pernah memperlakukan Ansara dengan baik-baik saja. Gadis itu sudah banyak menahan malu karena kamu, Laks."

"Apa maksud Papa?!" tanya Laksmana tidak mengerti.

Apa yang dia lakukan sampai-sampai pernyataan dari orang tuanya terdengar sangat salah saat ini? Apa dia sekejam itu?

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang