Tigang dasa wolu

2.1K 460 177
                                    

"Udah di undang tapi nggak datang itu gimana konsepnya?"

Kama hanya bisa mengulas senyuman tipis ketika mendengarkan sindiran manis dari bibir nan ceriwis sang Nona—ups—Nyonya. Karena saat ini, gadis yang ia sukai setengah mati betulan sudah menjadi milik orang lain, istri orang lain, lebih tepatnya istri atasannya sendiri.

Sebenarnya Kama tadi tidak mengajukan diri untuk menjemput Ansara, tapi entah kenapa selain Agung, Ilham dan Rudi, malam ini yang harus bertugas adalah dirinya. Padahal, harusnya malam ini Kama piket di ruang Cyber.

"Sejak pagi saya di ruang cyber. Saya nggak bisa kemana-mana, ada beberapa tempat yang harus saya awasi."

Ansara menoleh dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Lagi ada misi?"

Kama mengangguk.

"Misi apa?"

"Mengawasi jalanan sekeliling gereja pemberkatan, mengawasi CCTV setiap ruang di gereja—"

"Gereja yang di Solo? Tempat aku nikah tadi, Mas?" potong Ansara dengan syok.

Kama mengangguk lagi. "Iya, jadi secara nggak langsung saya itu sudah datang di pernikahan kamu, lewat CCTV." jawabnya serius.

Tapi berbeda dengan Ansara yang menganggapnya sebagai gurauan sampai-sampai gadis itu tertawa. "Memang udah paling jago deh soal beginian, ngomong-ngomong... apa kabar, Mas? Kemarin malam katanya Gemi mau minta bantuan Mas, jadi apa nggak?"

Ah... soal cewek gendheng itu...

"Kemarin dia memang ada hubungi saya sih, tapi nggak saya angkat."

"Ih jahat," timpal Ansara dengan gelengan kepala. "Kemarin dia telepon pasti bersangkutan sama kasus Pak Sienggih sekarang tahu! Dia yang kasih tahu saya duluan soal daftar nama hitam!"

Kama langsung menoleh dengan wajah tidak percaya. "Dia ditugaskan untuk misi lagi?!"

"Kayaknya iya," jawab Ansara dengan anggukan. "Makanya jangan sok sibuk gitu lho! Ah, padahal kalau bantuin Gemi pasti dapat jackpot kenaikan pangkat!"

Kama tersenyum tipis. "Sok tahu," balasnya.

"Bukannya sistem Traghana kayak gitu? Kalau setiap menyelesaikan suatu misi pasti naik pangkat?"

Benar, sangat benar. "Kamu tahu darimana?"

"Dari Mas La—dari suamiku," ralat Ansara.

Mendengar kata itu, ada yang robek tapi bukan kertas, dan ada yang patah tapi bukan kayu. "Ah, pasti Pak Laksmana menjelaskan banyak hal sama kamu ya?"

"Nggak juga," jawab Ansara dengan senyuman. "Komunikasi kami masih sama buruknya, tadi beres pemberkatan aku berusaha bicara sama Pak Sienggih tapi nggak keburu karena Pak Sienggih udah ditangkap aja sama petugas KPK, dan Mas Laks tinggalin aku gitu aja di Solo tanpa basa basi, kayaknya dia lupa punya istri."

Sori?

Apakah Ansara sedang curhat kepadanya?

"Apa mungkin karena aku belum terbiasa aja kali, ya?"

Entah, Kama tidak bisa menjawab. Tapi melihat bagaimana hari pernikahan Ansara berantakan karena masalah ini, sudah dipastikan Ansara dan Laksmana belum melakukan kegiatan apa pun selain pemberkatan tadi pagi.

"Belum resepsi?" tanya Kama kali ini.

Ansara menggeleng. "Belum, katanya nggak akan di Jakarta."

"Terus dimana?"

"Belum tahu aku!" ujarnya setengah sebal. "Udah dinikahin kan langsung ditinggal begini!"

Kama terkekeh pelan berusaha untuk tetap menormalkan diri meskipun saat ini ia ingin banyak bertanya dan menenangkan pikiran Ansara yang tengah kalut karena ditinggal suaminya lebih dulu ke Jakarta.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang