Sekawan likur

7.4K 802 35
                                    

Ansara terbangun dengan rasa ngilu, dingin, sakit yang ada pada sekujur tubuhnya. Harum ruangannya sudah tidak berbau lembab dan dingin lagi, melainkan aroma difuser ruangan yang begitu menenangkan aroma therapy dan ranjang yang ditempatinya begitu empuk.

Hanya saja, ketika Ansara mengangkat kedua tangannya, tidak ada lagi borgol melainkan jarum dan selang infus yang menepel di tangan kanannya, kedua kakinya tidak dipasung lagi dan sedikit kaku ketika Ansara gerakkan.

Oke, berarti dirinya aman.

Hanya saja, Ansara langsung menyentuh bagian tubuh atasnya yang mana—masih Ansara ingat tangan-tangan bajingan yang bergerilya memainkan payudaranya dan setelah itu Ansara pingsan. Tidak ingat lagi apa uang dilakukan oleh para bajingan itu.

Ketakutannya kembali, jangan-jangan ia sudah tidak perawan? Atau mereka semua memperkosa dirinya? Lalu bagaimana dengan kondisi Prilly Widjaya? Apa dia selamat?

Ansara tidak bisa menahan mual, bangun dalam seketika, turun dari ranjang dan berlari sambil menggeret tiang infus di tangan kanannya. Menubruk pintu toilet dan muntah sejadi-jadinya, perutnya begitu melilit, rasa mual tak tertahankan membuat Ansara menjadi-jadi mengeluarkan isi perutnya yang kosong dan hanya cairan kuning, asam dan pahit yang keluar dari mulutnya.

"Ansara?"

Ansara mendengar seseorang memanggil namanya, tapi mualnya masih tidak bisa ditahan dan seketika seseorang memegangi bahunya. "Ansara? Kamu... sebentar, aku panggilkan dokter ya?"

Ansara menoleh sebentar, tenang ketika mengetahui Kama yang ada di belakang tubuhnya. "J-jangan," lirihnya dengan lemas. "Ambilin air anget," pintanya.

Kama langsung lari menuju dispenser dan mengambil air panas untuk Ansara, setelahnya memberikan minum hangat itu, Ansara meneguknya perlahan dengan tangan yang gemetar.

"Pelan-pelan," kata Kama kepadanya.

Ansara mengangguk dengan lemas, karena tidak sadar darahnya naik begitu saja karena lupa mematikan selang infus yang masih berjalan. "Darah kamu naik," kata Kama. "Aku panggilkan Suster—"

"Aku bisa," kata Ansara mematikan selang infusnya dan menarik napas. "Thanks,"

Kama mengangguk, dengan lega ia pun membantu Ansara untuk kembali naik ke atas ranjang. "Sudah lapar? Mau makan? Sekarang jam tiga sore, kamu baru sadar sejak kemarin ditemukan."

"Separah itu?" tanya Ansara lemah sambil membaringkan diri.

Kama mengangguk lagi. "Prilly Widjaya terkena luka tembak di perutnya, tapi dia sudah baik-baik saja:"

"Ah..." Ansara memejamkan matanya. Tidak, Ansara tidak trauma kok, hanya saja ingatan bagaimana mengerikannya di dalam kurungan itu membuatnya berpikir kembali seberapa banyak korban Marina Erickson yang menderita sepertinya saat itu? "Marina Erickson udah ketangkap?"

"Sudah, ternyata... Marina Erickson itu Ibu kandung Pak Aditya Widjaya."

Informasi yang diberitahukan oleh Kama betul-betul membuat Ansara syok setengah mati. "What the fuck? Ah... gelo!"

Kama ingin tertawa sebenarnya melihat respon Ansara, tapi gadis itu terlalu serius untuk ditertawakan. "Si Gemi mana? Temanku itu mana?"

"Dia masih kerja kayaknya," balas Kama seadanya. "Mau aku panggilkan dia?"

Ansara mengangguk cepat. "Suruh dia ke sini kalau udah balik kerja,"

"Oke—"

"Lho? Sudah bangun?!"

Itu dia, Laksmana Amidjaja bersama dokter lain yang entah datang untuk apa.

Kama langsung bangkit dari duduknya dan berdiri tegap mundur di sisi ruangan. Ansara menarik napasnya, membenahi selimutnya dan tersenyum tipis. "Halo, Dok." sapa Ansara pada keduanya.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang