Pitu

6.4K 697 40
                                    

"Mas, sini,"

Laksmana baru saja akan masuk ke dalam kamarnya ketika Sienggih Amidjaja mencegat namanya. Mau tidak didengar, takut dosa, selain takut dosa sebenarnya Laksmana niatnya pulang ke rumah hanya ingin mengambil beberapa baju, lalu akan beristirahat di unit apartemennya saja.

Tapi naas, rencana itu harus gagal total karena pasti ada suatu alasa kenapa Sienggih Amidjaja memintanya masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Ada apa? Aku ngantuk, Papa kalau mau bicara, yang cepa—"

Sienggih Amidjaja baru saja meletakkan dua foto perempuan di hadapannya dan membuat Laksmana mengerutkan keningnya seperti yang sudah-sudah.

"Dicoba dulu," Sienggih berdeham, berusaha sabar agar anaknya tidak kehilangan kesabaran. "Prilly Widjaya, kamu pasti suka sama perempuan pintar kayak begini, kan?"

Ya, foto yang baru saja diberikan ke hadapannya ini adalah foto Prilly Widjaya. Satu, ketika wanita itu tengah menikmati kopi panas di dataran tinggi Swiss, lalu foto yang kedua Prilly Widjaya yang tengah bicara di podium entah tengah bicara apa.

Laksmana hanya bisa menggaruk alisnya dengan heran. "Terus Papa mau apa?"

"Jalan dulu sekali, kalau cocok bisa kita bicarakan. Tadi siang Papa golf sama Pak Adidjaya,"

Laksmana membuang napasnya. "Lalu Papa menjual namaku, begitu? Lalu disangkut pautkan dengan Prilly Widjaya? Aku bahkan tidak mengenalinya sama sekali, Pa."

"Kamu kenal, kemarin sudah bertemu, kan?"

"Hanya sekilas," tambah Laksmana jujur. "Itu pun sapa menyapa yang formal, tidak ada kelanjutan lagi."

"Maka dari itu," kata Sienggih dengan sabar. "Coba kamu lanjutkan, Papa suka kok kalau dia jadi istri kamu."

Laksmana tahu kalau dia menyangkal dan membantah maka yang dilakukan orang tuanya akan lebih gencar dari sebelumnya. Jujur, bukan keinginan Laksmana seperti ini, hanya saja dia tidak ingin memainkan soal hubungan, apa lagi kalau urusannya sudah masuk ke dalam asmara pasti akan sangat memusingkan.

"Segitu inginnya Papa aku menikah?" tanya Laksmana dengan datar.

Sienggih Amidjaja lantas berdecak ringan. "Orang tua mana yang tidak mau melihat anaknya menikah? Apa lagi kamu sudah dewasa, mapan, kamu sudah bisa membawa dunia di tangan kamu. Apa yang harus Papa khawatirkan?"

"Maksudnya?" ulang Laksmana tidak paham.

Sienggih tersenyum tipis sembari membuka kacamatanya. "Kamu tahu? Sejak Papa bertemu dengan Angkasa, Papa kira dia di luar ekspektasi Papa, ya maksudnya... doctor, pediatrician, as usual," katanya sembari mengangkat kedua tangannya. "Tapi apa yang Papa dapatkan dari Angkasa? Anak itu sopannya luar biasa, dia hebat karena dia berani mengutarakan keinginannya tanpa keraguan, padahal kalau dilihat dari segi emosionalnya Papa lihat dia bermasalah, tapi sejauh ini dia begitu sabar dengan Martha,"

Laksmana semakin tidak mengerti apa yang Papanya bicarakan. "Lalu hubungannya dengan aku apa?"

Sienggih berdecak kesal, benar-benar kesal karena Laksmana sedang tidak bisa diajak berpikir. "Maksud Papa ini... Papa itu mertuanya Angkasa, dapat seperti Angkasa saja sudah bahagia, bersyukur karena anak Papa memiliki suami seperti dia, maksud Papa itu... ya kamu, kalau nak jadi suami dan menantu di sebuah keluarga nanti, Papa ndak sabar pengen tahu bagaimana reaksi keluarga besan Papa nanti setelah dapat menantu kayak kamu,"

"Aku dan Angkasa berbeda," balas Laksmana sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.

"Ya memang beda!" timpal Papanya cepat. "Siapa yang bilang sama? Ah sudahlah, kamu ini." gerutunya dengan sebal. "Besok, kita ketemu dengan Prilly jam satu siang di Sency,"

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang