Enem

6.5K 723 34
                                    

"Maaf,"

Hanya satu yang bisa Gana katakan ketika penerbangan antara dirinya dan Ansara akhirnya berlanjut menuju Jakarta. "Saya minta maaf telah mengacaukan pekerjaan Nona,"

Ansara masih termenung, dia terdiam melihat beberapa mobil berhenti di teras bandara untuk menjemput satu persatu orang dan kini tinggal dirinya dan Gana yang berdiri seperti orang hilang di sisi pria yang tingginya lebih dari seratus delapan puluh ini.

"Saya nggak bawa apa-apa dari Surabaya," katanya dengan lirih tanpa semangat. "Apa yang harus saya laporkan pada atasan saya?"

"Kama akan bantu melapor," kata Gana berusaha membagi kecemasan yang Ansara rasakan. "Kama akan melapor, dia janji dalam dua jam ini bahan laporan akan dikirimkan melalui email."

Ansara membuang napasnya, kedua bahunya terkulai lemas. Rasa amarah yang ada dalam dirinya sudah memuncak sejak tadi, tapi dia tahan karena Gana pun bekerja atas perintah lelaki itu. Andai saja Ansara tidak memiliki kelemahan, dia bisa saja mendatangi Laksmana dan menonjok lelaki itu yang sudah kurang ajarnya mengganggu proses pekerjaannya.

Baru saja Ansara akan berjalan kembali, ponselnya sudah berdering menandakan seseorang baru saja menghubunginya. Dilihatnya kontak yang baru saja menghubunginya itu, jantungnya berdegup kencang, panik seketika menyanderanya.

"Mau saya yang angkat?" tanya Gana menawarkan diri setelah melihat bagaimana pucatnya wajah Ansara.

Ansara menggeleng dengan wajah pucat pasi. "Tidak usah, ini tanggung jawab saya." jawabnya pada Gana.

Aditya Widjaya lah yang menghubunginya, menutup segala kemungkinan yang ada, bagaimana jika dirinya dipecat karena gagal menyelesaikan misi ini?

Tangan kanannya yang gemetar, terpaksa menempelkan ponsel ke sisi telinga kanannya. "Halo, selamat malam, Pak?" jawab Ansara setelah berusaha setengah mati mengendalikan dirinya sendiri.

"Kamu sudah sampai di Jakarta? Tadi laporannya kamu naik pesawat jam dua puluh tiga lebih tiga puluh menit."

Ya, sekarang sudah pukul satu malam setempat, dan sepertinya Ansara akan dipanggil langsung untuk mengadakan meeting mendadak di kantor. "Iya Pak, saya baru saja sampai di Bandara Soetta,"

"Oke, good. Kalau begitu kamu boleh pulang dan beristirahat."

Apa-apaan ini?!

Di luar prediksi BMKG, seharusnya kan yang ada dalam skenario Ansara sekarang, Aditya Widjaya tengah marah kepadanya. Tapi kenapa lelaki itu...

"Pak? Saya gagal, dan saya pulang cepat—"

"Saya tahu," potong Aditya cepat. "Sudah, tidak usah memikirkan kasus Marina Erickson lagi, saya alihkan pada Traghana mulai hari ini."

Wah, Ansara tersinggung bukan main. "Nggak bisa begitu dong, Pak. Saya kan reporternya."

"Betul, kamu memang reporternya, tapi kamu juga reporter junior, Ansara. Harusnya yang memegang kasus ini Farhan, Gemi dan kamu. Kalian bertiga." lalu Aditya terdengar berdeham santai. "Sudahlah, intinya semua ini tidak akan ada masalah selanjutnya, saya harap kamu mengerti keputusan saya."

Ansara menatap pembicaraannya yang telah selesai dengan Aditya Widjaya. Chief editor majalah pun akhirnya menghubunginya, Celina Widjaya pun menghubunginya. Tadi adiknya, dan sekarang kakaknya.

Gana menunggu Ansara dengan sabar, mendengar bagaiman Ansara dapat menjawab dengan baik dan berusaha memberikan pemahaman kalau pemberhentian misi ini bukan dilakukan karena keputusan Ansara.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang