Tiga welas

6.4K 674 23
                                    

"Cicilan mobil udah beres!" Ansara menepuk kap mobil dengan bangga atas jerih payahnya selama tiga tahun ini.

Mending lah, pikirnya. Ada yang nyangkut, meskipun hanya mobil matic kecil dari Honda Brio. Ansara memang jarang memakainya, lebih baik memang mobil ini cocok untuk dipakai anak kuliahan seperti Asnamira.

"Bawa nih, mobilnya ke kampus. Hitung-hitung irit ongkos." katanya sambil memberikan kunci mobil pada Asnamira.

"Kenapa Kakak kasih sama aku?" tanya Asnamira dengan heran. "Kan udah lega dong Kak kalau udah lunas, pakai aja sama Kakak."

"Nggak." tolak Ansara halus. "Kakak lebih senang naik ojol, tinggal duduk diantar."

"Itu kata si orang yang bilang hitung irit ongkos," sindirnya pada sang Kakak. "Kenapa, sih? Kakak masih takut naik mobil?"

"Nggak, buktinya tadi jemput Ibuk pakai mobil!"

"Terus kenapa nggak mau naik mobil ini? Lagian kan Kakak beli hasil jerih payah kakak sendiri!"

"Nanti mau beli lagi yang agak bagus! Ini buat kamu aja!" balasnya dengan songong.

Asnamira mengerucutkan bibirnya menahan tangis, selalu begitu. Kakaknya yang selalu memikirkan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri. "Kenapa kakak begini? Ini kan punya Kakak... jangan semuanya kasih ke aku, Kak."

"Apa sih?" Protes Ansara melihat Asnamira yang hendak mewek itu. "Lagian kakak sengaja nyicil mobil ini buat dipakai sama-sama. Kalau sewaktu-waktu kakak nggak ada—"

"Jangan bicara begitu!"

"Ya maksud Kakak... kalau kakak lagi pergi, atau nggak ada di rumah, kan ada kamu yang bisa antar Ibuk."

Asnamira betulan mewek setelahnya dan memeluk Ansara dengan erat. "Kakak... aku janji aku bakalan lulus kuliah tepat waktu!"

Ansara menepuk puncak kepala Asnamira dan mengangguk. "Ya buktikan dulu aja, jangan ngomong doang!"

"Nggak akan... aku janji bakalan lulus cepat!"

"Boleh, terserah kamu."

"Semoga kakak dapat jodoh yang baik hati, mapan, kaya, ganteng—"

Ansara langsung membungkam mulut adiknya dengan telapak tangannya. "Simpan aja doanya buat kamu sendiri!"

"Aku nih tulus ingin mendoakan Kakak!" rengeknya sok tersakiti. "

"Ya... ya..." Ansara memeluk Asnamira lebih erat. "Makasih, habis ini duit bekalnya nggak usah minta dulu, kemarin udah di transfer buat seminggu!"

Asnamira semakin menangis kencang mendengarnya, dari sisi rumah, Ayunda melihat kebersamaan anaknya. Kepergian suaminya adalah hal yang paling membuat dirinya terpukul, tapi sering kali Ayunda terlalu egois.

Ya, egois untuk anak-anaknya. Kenapa dia harus sibuk memikirkan dirinya sendiri sementara anak-anaknya pun merasakan hal yang sama. Kehilangan seorang Ayah.

Tidak seharusnya dia terus menerus bersedih, sementara mungkin Ansara anak sulungnya menekan rasa sedihnya demi membahagiakan dirinya dan adiknya. Ansara lah yang selama ini terlalu sering menahan dirinya untuk bahagia.



***



Suara derit pintu besi yang besar dan berat berhasil dibuka. Gudang lama itu terlalu banyak menyimpan rahasia yang tidak banyak orang ketahui. Entah apa maksud para pejabat itu menahan beberapa puluh lukisan di sini.

Menyalakan lampu besar dan seketika gudang besar ini pun tidak segelap yang dilihat oleh kedua pandangan matanya tadi. Aditya Widjaya mengedarkan pandangan matanya pada satu persatu lukisan yang ada di depan matanya.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang