Prolog (1)

438 23 0
                                    

Barcelona, 2009

Seorang pemuda berusia 26 tahun, berperawakan tinggi tegap dengan besar tubuh proposional, tengah berlari menyusuri jalanan La Rambla yang merupakan jalan paling terkenal di Barcelona. Jalan arteri sepanjang kurang lebih 1,2 kilometer itu dikelilingi oleh kafe, restoran, dan hotel terbaik di kota ini. Beberapa deretan toko kuno yang menjual souvenir menjadi daya tarik wisata di jalan ini. Selain tempat komersial kontemporer, Las Rambla memiliki bagian bersejarah yang berisi bangunan tua yang terpelihara dengan baik dan dianggap sebagai bagian arsitektur Barcelona yang berharga.

Setidaknya, daya tarik jalan tersebut bisa lebih terlihat mencengangkan ketika matahari yang menjadi lampu jalanan. Namun saat ini, pemuda itu tengah berlari di bawah sinar rembulan di musim panas. Ia berkali-kali membetulkan letak kacamatanya yang bergeser akibat guncangan tubuhnya, sambil sesekali melirik jam tangannya yang mulai menunjukkan waktu tengah malam.

Entah apa yang membuat si pemuda begitu tergesa, yang ada dalam pikiran pemuda itu hanyalah ia harus bergegas ke cafe di ujung jalan La Rambla, dimana seorang gadis mungkin tengah menunggunya di sana. Dan tak lama kemudian, cafe dengan nuansa warna merah bata itu sudah tampak di pelupuk matanya. Namun hanya beberapa meter sebelum kaki jenjangnya menjejak pintu cafe itu, sesuatu bergetar di dalam saku celananya. Ia merasakan ponselnya bergetar tanda ada panggilan. Pemuda itu menghentikan sejenak langkah kakinya, sekaligus mengatur buru nafasnya dan mengangkat panggilan itu. 

Dilihatnya nama seseorang yang dikenalnya dengan baik terpampang di sana, Ekawira Ardhiyaksa.

'Ya, Wir,' sapanya.

'Mas Chandra, aku ingin meminta bantuan lagi. Apa aku bisa memasukkanmu sebagai penjamin Tasha? Kartu kreditku diblokir oleh ibuku, aku perlu membayar beberapa obat yang tidak masuk di jaminan kesehatan Tasha.'

Si pemuda yang bernama Chandra Sagara, tak terlihat ragu meng-iyakan permintaan tersebut.

'Aku akan kembali ke rumah sakit nanti untuk mengurus segala administrasi Tasha,' jawab Chandra kemudian. 

Sebelum adegan berlari-lari di tengah malam ini, beberapa jam lalu Chandra mendapatkan panggilan tergesa dari gadis yang namanya disebut tadi, Tasha Nayara. Tasha dengan suara lemah dan kesakitan memintanya untuk segera datang ke flat miliknya. Karena kondisi gadis itu mengkhawatirkan, Chandra langsung membawanya ke rumah sakit. Tak lama kemudian Wira - yang sebelumnya tak bisa dihubungi Tasha karena urusan kuliah - menggantikan posisinya menunggui Tasha. Seperti itulah salah satu gambaran kehidupan para mahasiswa perantauan di luar negeri, dimana satu mengandalkan yang lain.

Setelahnya, panggilan singkat antara Chandra dan Wira itu ditutup. Pemuda berkacamata itu langsung melangkah kembali menuju pintu cafe yang terus menerus terbuka karena banyaknya pelanggan yang keluar masuk di sana.

Walaupun akan menginjak tengah malam, karena malam akhir pekan,cafe-cafe di jalanan La Rambla tetap ramai dikunjungi para turis. Apalagi di musim panas ini.

Sesampainya di dalam cafe yang bertuliskan 'La Primavera', Chandra mengedarkan pandangannya mencari sesosok gadis berambut panjang dan tinggi semampai dengan kaos oblong warna putih bercelana jeans. 

Karena urusan dengan Tasha tadi, ia terpaksa meninggalkan gadis lain yang tengah membutuhkan bantuannya juga. Gadis lain itu adalah Praya Andhira. Adik kelasnya ketika berkuliah di Indonesia dulu, yang saat ini tengah datang ke Barcelona karena mencari kekasihnya yang menghilang sejak 2 tahun lalu. Chandra tak menyangka email yang dikirim Praya seminggu yang lalu menjadi komunikasi pertama mereka kembali setelah 5 tahun berlalu. Diakui atau tidak, Chandra memang pernah menyimpan perasaan lain pada Praya. Sempat berharap pertemuan kembali ini akan menjadi awal cerita mereka lagi. Namun tentunya harapan itu kandas ketika Chandra tahu, sudah ada pemuda lain dalam hidup gadis itu.

Dalam beberapa saat Chandra mengedarkan pandangannya, tak jua sosok Praya ada di deretan tempat duduk di dalam cafe tersebut. 

Tanpa menunggu lagi, Chandra langsung menemui pemilik cafe tersebut, seorang pria berusia pertengahan yang berbadan besar. Chandra dengan bahasa Spanyol fasih bertanya keberadaan gadis itu, Praya Andhira.

"Gadis Asia itu sudah pulang dari tadi setelah berbincang dengan pemuda Asia di bangku itu. Kau tahu? Sepertinya gadis itu menangis. Aku memperhatikan mereka sambil menyambut para pelanggan," jelas si pemilik cafe. 

Beberapa jam lalu si pemilik cafe sudah tahu jika gadis tadi dan pemuda di hadapannya ini tengah mencari teman mereka yang ternyata pekerja paruh waktu di cafe miliknya. Dimana ada dua pemuda yang bekerja paruh waktu di sana, kekasih Praya dan temannya.

"Dimana para pemuda Asia itu?" tanya Chandra setelah diperhatikannya panggung mini di dalam cafe itu kini menampilkan seorang pria berkulit putih sedang bermain piano. Sesuai informasi dari pemilik cafe itu, harusnya yang bekerja paruh waktu sebagai pemain musik di cafe ini adalah pemuda Asia - teman Praya.

"Tak lama setelah itu, mereka pergi. Ah harusnya mereka di sini sampai lewat tengah malam. Pelanggan di sini menyukai penampilan mereka," jelas pemilik cafe itu dengan raut kecewa di wajahnya.

Chandra menghela nafas. Sepertinya ia dapat menebak apa yang terjadi pada Praya. Praya menangis? Mungkin hubungannya tak berjalan sesuai harapan gadis itu, pikir chandra. Setelahnya sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada pemilik cafe yang ramah itu, Chandra memesan beberapa menu untuk dibungkus. Ah mungkin Praya belum sempat makan malam.

Tak lama kemudian, Chandra keluar dari cafe itu dan bermaksud menyusuri kembali jalan La Rambla, hanya beberapa blok dari flat miliknya. Namun hanya beberapa meter dari luar pintu cafe, langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Suara si pemilik cafe yang kini tengah berjalan mendekatinya.

'Aku lupa memberikan ini padamu,' kata pemilik cafe itu sambil menyerahkan secarik kertas.

'Berikan ini pada gadis itu,' tambahnya kemudian.

Chandra mengangguk dan berterima kasih kembali sambil melihat sekejap sang pemilik cafe yang kembali ke cafe miliknya. Di posisi itu juga, Chandra membaca pesan yang ada di secarik kertas itu.

Hubungi  nomorku ini jika kamu ingin bertemu Tara lagi.
+3180-xxx-xxx
Angga

Beberapa saat Chandra masih terdiam di posisinya, tampak menimbang sesuatu. Tak lama kemudian ia memasukkan secarik kertas itu ke saku celananya dan kembali menyusuri jalanan La Rambla di malam musim panas yang hangat.

----

Tit.. Tit.. Tit.. Tit..

Suara layar monitor di ruang ICU di salah satu rumah sakit menjadi satu-satunya irama di ruang serba putih itu. Seorang pasien, lelaki berusia 40 tahun, yang menempati ruang ICU VVIP rumah sakit itu telah menjalani perawatan intensif lebih dari satu tahun karena kondisi koma. 

Seorang perawat yang saat ini bertugas memantau kondisi pasien, melihat ada sedikit perubahan dari layar monitor di ruang tersebut. Detak jantung pasien yang biasanya berada dalam ritme stabil, sesaat tadi mengalami peningkatan intensitas. Dengan cekatan perawat itu menuliskan pengamatan tersebut di dokumen miliknya, dimana nama pasien tertera jelas di sana, Chandra Sagara.

Tak lama kemudian, ia melaporkan hasilnya pada dokter penanggung jawab. Tentunya itu menjadi kabar gembira bagi keluarga pasien, setidaknya ada sedikit harapan, pikir sang perawat.

***



Men in SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang