[11]. Untold Story (3)

105 16 0
                                        

Di mata para lelaki, Tasha memiliki daya tarik yang tinggi: sisi feminim dan maskulin secara bersamaan. Dari segi fisik, paling tidak label 'cantik' selalu melekat pada wanita itu. Tidak hanya fisik, intelejensi-nya yang di atas rata-rata memberikan nilai lebih yang membuat para lelaki berdecak kagum. Ditambah sederet keterampilan hidup yang menunjangnya bertahan dalam segala situasi, penguasaan beberapa bahasa asing dan penguasaan komunikasi yang terampil. Pandai bergaul dan membawa diri, siapapun akan betah berlama-lama mengobrol dengannya dalam segala hal, ilmu pengetahuan, politik bahkan dalam hal agama sekalipun.

Tak hanya itu, ia juga terampil dalam memasak dan urusan rumah tangga lainnya yang menuntut feminitas. Tentunya ia bukan wanita yang hanya mengandalkan daya tarik fisik saja. Serta siapa sangka, wanita berperawakan mungil itu juga memiliki keterampilan ketukangan yang menuntut maskulinitas dan dapat disetarakan dengan kemampuan para lelaki karena ia pernah mengeyam pendidikan keteknikan.

Setidaknya penilaian itu saat ini menggelayut dalam pikiran Angga yang tengah menunggu salah satu pintu lift di gedung apartemen itu terbuka. Di samping lelaki itu ada sang istri yang sama-sama menunggu juga.

"Adya sangat menggemaskan ya? Kamu suka anak laki-laki atau perempuan?"

Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari bibir sang istri yang dari tadi tak banyak bicara. Sejak selesai makan malam di rumah Tara tadi, diperhatikan oleh Angga, sang istri jadi tak seriang biasanya. Angga sudah bisa menebak alasannya, dan sepertinya tebakannya tepat setelah Tasha melontarkan pertanyaan tadi. Tentu Angga harus hati-hati memberikan jawaban karena ini perkara yang sangat sensitif.

"Hm.. Aku gak suka anak-anak. Kamu liat sendiri kan tadi, gimana bocah-bocah itu membuat rumah jadi berantakan dan berisik," jawab Angga berbarengan dengan pintu lift yang terbuka.

Tak ada tanggapan langsung dari Tasha, diperhatikan lagi sang istri masih dengan tatapan sendunya memasuki lift yang hanya mereka berdua berada di dalam sana.

"Bukannya kamu sering bermain dengan anak-anak Dara? Aku lihat mereka juga nempel sama kamu."

Sejujurnya, Angga paling menjaga obrolan tentang 'anak-anak', namun ia tak bisa menghindari percakapan ini sekarang.

"Ah, mereka menempel ke siapa saja. Gak cuma padaku. Sama supir aja mereka nempel. Aku juga bermain dengan mereka kalau dititipi saja, itu juga karena Dara sering memberikan upah," kilah Angga lagi, berharap jawaban ini menutup topik tentang anak-anak.

"Oiya? Bukannya__"

Ting.

Belum sempat pertanyaan Tasha selanjutnya terlontar, pintu lift itu terbuka di lantai yang mereka tuju dan membuyarkan obrolan mereka. Angga merasa lega, berharap Tasha tak memperpanjang obrolan dengan langsung menggandeng tangannya keluar lift.

Dan sepertinya harapan Angga terwujud, ketika di koridor apartemen lantai itu, seseorang yang ia kenal tampak berjalan dari kejauhan ke arah mereka. Mungkin hendak menuju lift.

"Selamat malam Pak Angga," sapa orang itu, seorang pemuda berusia 30-an, setelah jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.

"Ah, selamat malam. Pasti urusan penjualan unit?" tanya Angga langsung dapat menebak apa yang orang itu lakukan di sana.

"Benar Pak, saya baru menyerahkan dokumen bukti jual beli dan perpindahan nama kepada Pak Wira," jelas pemuda itu.

"Wah, cepat juga terjualnya."

"Pak Wira merawat unitnya dengan sangat baik, gak perlu ada perbaikan apapun. Jadi bisa langsung terjual."

Setelahnya selama dua menit mereka masih berbincang tentang penjualan unit itu.

Men in SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang