[9]. Untold Story (1)

164 13 2
                                    

Apa yang dipikirkan oleh seorang Nawasena Tara dua tahun lalu? Ketika tsunami itu terjadi, seharusnya ia memang berada di lokasi bencana itu. Namun takdir membawanya kembali lebih dulu ke ibukota, meninggalkan rekan-rekan kerjanya dalam bencana maut beberapa jam setelahnya.

"Hentikan pencarianmu. Kamu baca sendiri kan, agenda rapat minggu ini akan membahas anggaran tentang itu. Nada sumbang dari para direktur mulai terdengar."

Nasihat itu Tara dengar langsung dari rekan kerja sekaligus sahabat kecilnya, Angga. Tepat ketika Tara memasuki ruangannya pagi itu, langkah kaki lain ikut memasuki ruangannya.

"Kita masih belum menemukan Chandra, dia klien perusahaan ini," debat Tara, masih dengan alasan yang sama seperti yang ia utarakan di rapat bulanan direksi satu bulan lalu.

Bencana itu memang telah membawa kembali para karyawan yang terlibat proyek amal saat itu, baik dalam keadaan bernyawa, atau hanya tinggal nama. Namun entah kenapa, Tara masih juga membantu pencarian klien perusahaan yang tak ditemukan jejaknya di lokasi bencana. Chandra Sagara yang merupakan pemilik Yayasan Sagara, sebuah Yayasan dimana direksi yang dipimpin Tara menjadi donatur di sana.

"Sudah kubilang. Itu bukan tanggung jawab perusahaan ini. Tanggung jawab kita hanya pada karyawan dan sudah ditunaikan. Biarkan Chandra diurus oleh perusahaan dan keluarganya."

Kali ini Tara tak bergeming, ia hanya menatap tumpukan dokumen di depan meja kerjanya dengan dingin.

Setelah puluhan detik tak terdengar kalimat apapun dari bibir Tara, sebuah tarikan nafas berat terdengar samar keluar dari indera pencium Angga, seolah menyerah meyakinkan sahabatnya itu.

"Akan ada voting di rapat nanti dan jangan salahkan aku jika aku gak berpihak padamu. Ini semua demi perusahaan."

Sama seperti langkah kaki Angga yang mulai meninggalkan ruangan serba monokrom itu, kalimat penutup dari Angga tadi juga terdengar samar di telinga Tara. Bukan ia tak mengindahkan saran dari koleganya, apa yang Angga katakan memang benar. Selama tiga bulan membantu pencarian rekan perusahaannya itu menyedot dana perusahaan. Walaupun dana itu memang dianggarkan untuk direksi CSR yang Tara pimpin, tetap saja dinilai tak digunakan pada tempatnya. Sudah tiga bulan dana pencarian itu dikeluarkan dan selama itu pula tak menghasilkan apapun.

Dan sepertinya Tara harus benar-benar menyerah. Apalagi beberapa jam setelahnya, seorang pria berperawakan sedang dan cukup tambum yang tak lain adalah sekretarisnya, Evan Kalijaga, memasuki ruangannya dengan tergesa dan membawa berita lain yang membuat harapannya selama berbulan-bulan itu seolah menguap begitu saja.

"Pak, keluarga Sagara mengumumkan secara resmi tentang kematian Pak Chandra. Kita diundang menghadiri sholat jenazah ghaib di kediamannya besok pagi."

Bahkan keluarga Chandra sendiri akhirnya harus menyerah pada takdir. Setelah tiga bulan melakukan pencarian yang sama dan tak menemukan tanda apapun, keputusan itu dirasa paling tepat. 

Pun ketika ia mendatangi undangan sholat jenazah ghaib tersebut, tak ada lagi harapan di wajah-wajah yang ia kenal di sana. Di wajah sang ketua keluarga yang telah renta, di senyuman sayu sang nyonya keluarga yang berusia senja ataupun di mata sang istri yang kini berstatus janda. 

Praya Andhira, istri dari almarhum, hanya menyapa Tara dengan tatapan kosong, seperti itu juga wanita itu menyambut tamu-tamu yang lain.

"Kamu harus kuat, Ay."

Kalimat itu terasa berat Tara ucapkan. Tentunya Praya sudah lebih dari sekedar 'kuat' untuk tetap bertahan dalam penantian selama ini. Lebih dari sekedar kuat untuk tetap bertahan hidup setelahnya. Namun tatapan kosong itu, tanpa kata bahkan tanpa air mata yang keluar di sana, seolah memberi tanda pada Tara bahwa wanita itu tak sekuat yang ditampakkannya. 

Men in SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang