Masih di kawasan apartemen yang sama, di tower bangunan lainnya yang disebut Diamant, unit hunian Tara berada di lantai 15 tower itu. Seperti sore menjelang malam yang selalu dilaluinya sepulang dari kantor, ia selalu mendapati isi unit apartemennya yang seperti kapal pecah. Mainan-mainan yang berserakan di sepanjang ruang tengah, buku-buku yang tergeletak sembarang di kursi dan meja, serta jangan kaget dengan meja sink dapur di mana perabotan bekas memasak masih bertumpuk di sana.
Ah dimana Praya? Tentunya Tara tak heran, biasanya sang istri sedang memandikan balita-nya yang baru menginjak usia 3 tahun.
"Eh, kamu sudah pulang. Sudah kusiapkan minuman hangat di meja makan."
Sapaan yang selalu sama dari sang istri setiap kali ia memasuki unitnya itu.
"Sebentar ya Sayang. Aku mau bajuin Adya dulu," tambah Praya kemudian setelah mencium punggung tangan Tara.
"Arka.. Arya.. itu Papah udah pulang. Ayo beresin mainannya."
Selanjutnya wanita itu beralih ke kamar anak laki-lakinya yang saat ini tengah menonton televisi di sana. Tak berapa lama, kedua anak laki-laki itu langsung bergerak sesuai perintah sang ibu.
Sebuah suasana yang sangat kontras dibandingkan ketika Tara menghuninya sendiri dulu. Selama 15 tahun berada di unit itu, yang selalu menyambutnya adalah suasana hening, rapi dan sepi.
Tara tak pernah berkomentar apapun dengan suasana yang sudah biasa itu. Lain hal ketika pertama kali melihat pemandangan tersebut, lelaki berwajah dingin itu hanya bisa diam mematung, mencerna kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Tak lama setelah Tara meneguk teh hangat yang selalu disediakan sang istri, dan menyimpan tas kerjanya. Ia menyingsingkan lengan kemejanya, berjalan ke arah dapur dan dengan perlahan menata piring-piring serta peralatan masak kotor ke dalam mesin pencuci (dishwasher). Tara pernah menawarkan asisten untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, namun Praya menolaknya.
"Ah sayang. Biar aku lanjutkan. Kamu mandi dulu saja, setelah itu kita makan."
Terdengar suara dari sang istri dari belakang punggung bidangnya, diikuti langkah kaki kecil yang saat ini minta digendong olehnya.
"Pa..paah..," sapa suara mungil itu yang saat ini menggelayut di gendongan Tara.
Dibandingkan pertama kali menyentuh tubuh mungil itu, yang terasa canggung bagi Tara, saat ini ia sudah terbiasa merengkuh, bahkan menciumi balita itu yang selalu tercium aroma wangi dari tubuhnya.
"Papah mandi dulu, ya. Nanti kita main lagi, oke," katanya kemudian, setelah itu melepaskan si balita untuk bermain bersama kakak-kakaknya di kamar.
Keseharian yang sama dan berulang, namun tak membuat Tara merasa bosan. Bukannya lebih bosan ketika sendirian? Walaupun tiga bocah kecil itu bukan darah dagingnya, lelaki itu tak pernah merasa keberatan jika sebagian waktu sang istri lebih banyak dihabiskan dengan anak-anaknya.
"Gimana tadi di sekolah?"
Pertanyaan yang biasa keluar dari Tara untuk kedua anak lelakinya di meja makan persegi panjang itu. Dimana ada Arka, si sulung yang akan menginjak 10 tahun dan Arya, si tengah yang akan berusia 7 tahun, duduk berdampingan. Sementara sang istri duduk di sebelah si bungsu, Adya dengan kursi bayi-nya.
"Adek tadi jatuh pas maen bola, Pah. Lihat, lutut adek lecet," ujar si tengah, Arya, sambil mengangkat lututnya yang telah diberi plester. Disusul kemudian cerita anak gembul itu tentang kegiatan main bola tadi dengan bersemangat.
"Kalau Kakak gimana? Ada cerita apa di sekolah?"
Kali ini pertanyaan serupa langsung ditujukan ke anak sulungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Men in Secrets
Romance{On Going} Terbit setiap Sabtu dan Minggu. Nothing is fair in love and war. *** Publish : 8 September 2023