[2]. The White (2)

173 19 0
                                    

Dan warna putih lain, kini tampak di sebuah unit apartemen yang ada di lantai 20 sebuah tower bangunan yang terletak pada kawasan apartemen elit ibukota. Luas unit itu sebesar 200 meter persegi, di dalamnya hanya terdapat satu kamar utama dengan sisanya berupa dapur yang menyatu langsung dengan ruang tengah yang luas. Ada balkon di luar unit tersebut dimana dua buah kursi berjejer dengan meja kecil di antaranya. Tempat sang penghuni menikmati suasana luar ibukota.

Dan di balkon itulah, malam ini sang penghuni yang tak lain adalah Wira, dengan asbak mini berisi beberapa puntung rokok tergeletak di meja. Mungkin beberapa menit lagi akan ada tambahan puntung lain yang siap mendarat.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku harap kamu gak menyesali apapun."

Terngiang kembali kalimat yang diucapkan oleh Tasha padanya beberapa jam lalu.

Wira kembali mengingat kejadian tadi, hanya beberapa menit sebelum Tasha berjalan ke meja sakral di aula hotel itu, Wira mendatangi kamar rias pengantin. Didapatinya di sana, Tasha dengan balutan baju pengantin berwarna putih yang sangat cocok dikenakan ditubuh mungilnya. Dihitanya Tasha agak terkaget dengan kehadirannya di kamar tersebut. Wanita itu kemudian meminta para juru rias untuk meninggalkan kamar rias terlebih dahulu, seolah tahu ada yang ingin Wira sampaikan saat itu.

Namun sampai lima menit berlalu, tak jua ada kalimat yang terlontar dari bibir Wira. Hanya tatapan sendu yang terpancar dari mata belo miliknya, menatap Tasha dengan lekat. Tanpa kata. Yang terdengar hanya hembusan nafas yang berusaha dikeluarkan secara terpatah.

Tentunya Wira tahu, tanpa diucapkan pun, Tasha bisa tahu apa yang saat itu Wira ingin sampaikan. Bukankah lebih dari 20 tahun mereka mengenal satu sama lain dengan baik? Berbagi cerita, suka duka dan rahasia. Hanya dari bola mata saja, masing-masing bisa tahu apa yang sedang dipikirkan.

"Jika aku menyesal, apa kamu mau melangkah keluar bersamaku dan menanggalkan mahkota itu?" Jawab Wira puluhan detik kemudian setelah kalimat tadi terlontar dari bibir mungil milik Tasha.

Apa Wira tak waras? Itu juga yang lelaki itu pikirkan terhadap dirinya sendiri. Namun pertanyaan itu sudah terlanjur diutarakan. Dan ia hanya bisa menunggu jawaban dari Tasha yang saat itu menatap balik bola matanya seolah mencari kebenaran dan kesungguhan pertanyaan itu di balik sana.

Dan perlu beberapa menit untuk wanita itu memberikan jawaban. Dengan tatapan mata nanar dan senyum dipaksakan, Tasha menjawab pertanyaan itu.

"Aku anggap, kamu gak serius mengatakannya."

Sampai situ, dilihatnya Tasha beringsut, melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.

Hingga beberapa jam berlalu dari pesta pernikahan Tasha dan Angga tadi, hampir tengah malam, Wira hanya bisa mengutuki dirinya sendiri.

Bukankah itu keputusannya sendiri untuk mengakhiri penantiannya pada Tasha? Ah mungkin tadi ia hanya terbawa perasaan saja karena melihat Tasha dengan gaun pengantin yang seharusnya dikenakan di pernikahan mereka. Ya, hanya terbawa perasaan saja.

Paling tidak pembenaran seperti itu yang saat ini bergelayut dalam pikiran pria berusia matang tersebut.

Sampai tak lama setelah batang terakhir yang ada di jemarinya mendarat di asbak mini itu, terdengar bunyi bel kamar unitnya berbunyi. Membuatnya bertanya-tanya siapa yang hampir tengah malam bertamu. Apa Tasha? Ah tentu saja bukan. Ini malam pertama penganti baru.

Tanpa banyak bertanya Wira beringsut dari tempat duduknya, melangkah ke pintu unit apartmen dan mengecek tamu yang ada di luar sana melalui layar sepuluh inci di dekat pintu. Tampak dilayar tersebut, wajah maskulin yang ia kenal. Nawasena Tara.

Men in SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang