Awalnya Tara tak begitu mempedulikan percakapan di balik punggungnya dan hanya berkutat dengan tablet miliknya di meja restoran itu, sambil sesekali melirik jam di tangannya. Sepertinya Tara sedang menunggu seseorang untuk menemaninya makan siang atau mungkin ada agenda rapat santai.
Namun percakapan di sekat kubikal transparan di belakang punggungnya itu mulai mengusiknya ketika nama seseorang yang dikenalnya disebut. Saat itulah, lelaki berwajah maskulin itu menajamkan indera pendengarannya dan sadar siapa gerangan yang tengah berbincang serius itu.
Ah, sial! Kenapa aku harus mendengar omong kosong mereka lagi.
Itu adalah umpatan Tara dalam hati.
Bukan tanpa alasan ia mengumpat seperti itu, rasanya seperti de javu. Setelah sebelumnya, sempat mendengar perbincangan Wira-Tasha di kamar rias pengantin. Tara ingat, ketika saat itu ia tengah mencari Praya yang disangkanya ada di kamar rias pengantin, namun langkahnya untuk mengetuk kamar rias terhenti karena samar-samar terdengar perbincangan tak masuk akal: mempelai wanita yang diajak kabur pria lain. Saat itu Tara hanya tersenyum getir dan menguburnya dalam ingatan.
Dan obrolan 'omong kosong' serupa, ia dengar lagi saat ini.
"Hhhh.. Apa kamu sedang 'berperan sebagai korban'?"
Terdengar suara Wira menjawab pertanyaan Tasha yang digantung selama dua puluh detik tadi. Pertanyaan balik dari Wira itu terdengar sumbang.
"Aku benar-benar gak paham, kenapa beredar cerita dramatis seperti itu: Wira menyerahkan Tasha pada Angga__"
Wira sengaja menghentikan kalimatnya dengan sunggingan di salah satu bibirnya.
"Itu kesimpulan yang konyol, Sha. Apa itu yang kalian asumsikan?"
Sepertinya itu hanya pertanyaan retoris dari Wira, karena tanpa menunggu Tasha menggerakan bibirnya, pernyataan lain lebih dulu keluar lagi darinya.
"Aku gak pernah meninggalkanmu, apalagi menyerahkanmu pada Angga. Untuk apa aku melakukan hal sia-sia seperti itu? Waktuku selama seperempat abad menemanimu terlalu berharga untuk kuberikan pada sainganku. Apa__"
"Lalu, kenapa kamu memboikot keberangkatanku ke Jepang saat itu?"
Kali ini Tasha yang memotong, mulai tak tahan merasa dipojokkan. Namun alih-alih menjawab serius, terdengar tawa ringan yang seperti dipaksakan keluar dari bibir Wira.
"Apa kamu benar-benar lupa? Atau pura-pura lupa, Sha?" Wira menunggu lima detik, menelisik mata sayu di hadapannya yang masih menyisakan genangan air di sana, "Ah, kamu memang pelupa."
"Tapi itu salahku juga, saat itu aku juga benar-benar lupa. Apa karena aku terlalu bahagia dengan rencana pernikahan kita? Sampai-sampai hal sekecil itu terlewatkan begitu saja? Hal kecil yang mengubah segalanya."
Kali ini terdengar nada mirip penyesalan dikalimat yang keluar secara beruntun itu.
Tasha tak bergeming, ia masih menunggu penjelasan dari sosok di hadapannya saat ini.
"Selama di Indonesia kamu mengganti dompetmu, Sha. Dan semua kartu dari Jepang termasuk zairyu card* -mu ada di dompet lamamu.__"
(*Kartu Tanda Penduduk Asing di Jepang)
Wira menghentikan penjelasannya sesaat, kembali menelisik sepasang mata di hadapannya yang sekilas menampakkan kekagetan.
"Dan aku__"
"Tunggu, biarkan aku mengingatnya, Wir."
Akhirnya Tasha bergeming, sepertinya ia mulai merasa ada yang tak beres dengan kejadian delapan bulan lalu. Dimana saat itu adalah rencana penerbangan mereka kembali ke Jepang setelah sebelumnya membereskan urusan pekerjaan dan tentunya urusan pribadinya dengan Angga. Namun siapa sangka, ketika di imigrasi bandara, Tasha harus pasrah membatalkan penerbangannya karena zairyu card yang menjadi tanda statusnya untuk bisa masuk ke Jepang kembali, tak ada di tangannya saat itu. Tanpa benda itu, ia akan mengalami kesulitan untuk keluar dari imigrasi di bandara Jepang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Men in Secrets
Romance{On Going} Terbit setiap Sabtu dan Minggu. Nothing is fair in love and war. *** Publish : 8 September 2023