[6]. The Emptiness

120 12 1
                                    

Kosong.

Siapapun tahu jika tanah kubur dimana tertulis nama Chandra Sagara di batu nisan itu, hanyalah liang tanpa jasad. Bencana tsunami hampir dua tahun lalu yang melanda salah satu pulau di negeri ini, tak membawa tubuh Chandra kembali dan hanya meninggalkan nama. Chandra tak beruntung, niat baiknya memberikan bantuan di tempat itu malah berujung membawa petaka pada dirinya. Pencarian dari pihak keluarga selama beberapa bulan setelahnya pun, tak lantas membawa tubuh ataupun mayatnya sekalipun. Sampai sang keluarga menyerah dan mengumumkan kematian Chandra setelahnya.

Paling tidak, fakta itulah yang diketahui secara umum oleh para orang dewasa. Tapi tidak untuk anak-anak. Demi menenangkan hati anak-anak mendiang, sebuah makam tanpa jasad digali di tanah pekuburan keluarga tersebut. Tepat di samping makam tetua keluarga Sagara, gundukan tanah milik Chandra bersemayam di sana.

Dan saat ini Tara, bersama keluarga kecilnya terduduk, di sisi makam kepala keluarga pendahulu.

"Aku akan menunggu di tempat parkir, luangkan waktumu untuk menemani anak-anak," saran Tara pada Praya setelah berdoa di tempat itu. Tentunya tak hanya menemui makam Chandra, ada kuburan kakek anak-anak juga di sana.

Pada akhirnya Tara-lah yang mengantarkan istri dan anak-anaknya untuk menjambangi pekuburan keluarga Sagara yang berada di salah satu lahan kosong milik keluarga tersebut. Sebuah lahan di puncak bukit yang khusus diperuntukan bagi kuburan keluarga, berjarak satu jam dari kota Bandung yang sejuk. Pemakaman keluarga itu sangat terurus, terlihat dari rumput-rumput liar yang seharusnya tumbuh tak beraturan, tampak tumbuh dengan baik. Dipangkas dengan ketinggian tertentu. Sepertinya keluarga Sagara mempekerjakan tukang kebun untuk mengurus pemakaman itu.

Dan tebakan Tara sepertinya benar, ketika dilihatnya seorang lelaki separuh baya yang tampak kurus dan berkulit gelap tengah membawa alat-alat kebersihan. Lelaki separuh baya itu menyapa Tara dan memperkenalkan diri sebagai pekerja kebersihan pemakaman keluarga itu.

"Saya mah asli kampung sini, Pak. Setiap Minggu bersih-bersih makam. Sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri."

Tutur si tukang, setelah bertutur panjang lebar tentang cerita pemakaman keluarga itu yang memang sudah ada dari puluhan tahun lalu. Tentunya lelaki paruh baya itu bercerita juga dari merawat pemakaman itulah, ia menggantungkan hidup. Tara yang jarang berbasa basi, hanya menyimak dan sesekali menimpali cerita si tukang, sampai kehadiran Praya dan ketiga anaknya mengalihkan obrolan mereka.

"Eh, Neng Praya, kumaha damang?" sapa si tukang kali ini pada Praya.

"Alhamdulillah damang, Pak? Kumaha sawalerna?"

Tentunya si tukang sudah mengenal Praya sebagai menantu dari keluarga Sagara yang setiap tahun bersama keluarga besar itu mengunjungi pemakaman tersebut. Basa basi itupun terus berlanjut kali ini ditujukan pada Praya.

"Hatur nuhun pisan, Neng. Mugia sing dipaparin kanu langkung. Bapak mah meni waas mun emut ka almarhum," tutup lelaki paruh baya itu setelah menerima bingkisan yang sengaja Praya sediakan untuknya, sekaligus mengantar kepergian wanita itu bersama suami barunya.

"Apa ayah sama eyang kakung bisa maen Kak? Kan kuburannya deketan."

Pertanyaan si tengah kepada kakaknya di sela laju mobil van itu, memecah keheningan di dalam kendaraan roda empat yang kini perlahan melaju di jalanan pedesaan. Jalan desa yang hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan roda empat itu cukup nyaman untuk dilalui, namun harus waspada jika ada kendaraan roda empat lain yang datang berseberangan. Salah satu harus mengalah. Seperti saat ini, di mana Tara sedang menunggu mobil di depannya untuk melintas lebih dulu.

Matahari sudah lewat dari titik tertingginya, ketika keluarga itu meninggalkan pemakaman. Masih empat jam lagi menuju ibukota tempat mereka bernaung.

"Kalau udah meninggal, gak akan bisa maen, Dek," jawab Arka, melogiskan cara berpikir adiknya yang masih polos.

Men in SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang