Sunrise 31: Seluas Sesal

5.3K 735 488
                                    



"Perhatian-perhatian, pesawat stupid airlines dengan nomor penerbangan BO 00 DOH baru saja mendarat di Bandar Udara Komodo. Bagi ... aduh! Dea!" Ezekiel mengangkat sebelah kakinya yang baru saja diinjak oleh Dea.

"Mulutmu itu, benar-benar busuk, Eze!" Dea mencubit pinggang Ezekiel sambil melirik kepada Elbark dengan canggung.

Hari ini, Ezekiel dan Dea mendapat tugas airport handling dari Lesmana. Menjemput tamu yang akan naik kapal siang itu juga. Namun, justru bertemu dengan Elbark di pintu kedatangan. Tujuannya jelas. Apalagi kalau bukan sudah tidak sabar ikut menjemput sang pujaan hati, meski harus berdampingan dengan patah hati.

Apa lagi namanya kalau bukan bodoh, kan?

Elbark sendiri hanya bisa membuang muka. Papa satu anak itu sudah biasa dihina anak sendiri. Memang iya, dia sendiri sudah paham, tidak akan ada muara yang indah di antara dirinya dan Bening. Tapi masih saja terus berharap.

"Pulang sa, Papa. Tidak usah dijemput, nanti juga Papa bisa bertemu. Kalau bertemu sekarang, Papa akan lihat pemandangan keluarga cemara baru turun dari pesawat. Sayang-sayangi hati Papa sendiri, lah." Ezekiel tersenyum hingga giginya terlihat sambil menatap Elbark. "Pulang, Papa. Hush, hush!"

"Apaan, sih." Elbark menyingkirkan tangan Ezekiel.

Dea diam-diam mendengkus. Lalu tersenyum saat melihat Natha datang dari seberang area parkir, sedang berjalan menuju pintu kedatangan. "Kak!"

Natha melambaikan tangan. Dia segera mendekat, lalu bersalaman dengan Elbark. "Jemput tamu, Om?"

Elbark lantas mengangguk. Bersandiwara sedikit tidak apa-apa. Sebelum keduluan Ezekiel. "Iya, jemput tamunya Compastrip. Kebetulan mau naik kapal saya, Nath."

"Apaan, sih? Orang tamu Mas James mau naik Hele ...." Ezekiel tak sempat menyelesaikan kalimat, mulutnya keburu dibekap oleh Elbark.

Tak lama kemudian, tamu-tamu dari pesawat asal Jakarta mulai muncul untuk menanti barang di conveyor belt. Natha bergerak agak ke tengah pintu, mencari keberadaan keluarganya. Lalu tersenyum saat melihat sosok Yada. Namun, senyumnya musnah tatkala melihat Akshaya.

"Yah ...."

Dari kejauhan, Natha bisa melihat, Akshaya tak baik-baik saja. Pria itu tampak pucat pasi. Lebih pucat dari kemarin-kemarin. Berdiri di samping Bening, sementara Yada sibuk mengambil koper dan tas miliknya yang mulai bermunculan.

Saat keluarga itu berbalik bertiga dan mulai berjalan keluar, Natha menyamarkan kekhawatirannya dan melambaikan tangan sambil tersenyum. "Ibu, Yada!"

Bening balas tersenyum sementara tangannya setia digenggam Akshaya.

"Yada, Yada!" Ezekiel dan Dea ikutan berteriak.

Beberapa driver komplotan Om Anton yang sedang mangkal di bandara pun jadi ikut menoleh, dan mendekat sambil ikut bersorak sorai saat melihat Yada, Bening, dan Akshaya keluar dari terminal kedatangan.

"Olee, Yada habis jalan-jalan!"

Yada menggaruk tengkuk. Hebohnya bagai ada artis ibu kota yang datang. Bening juga meringis. Sementara Akshaya diam-diam terkesima dengan gempita yang ada. Benar kata Yada, betapa mereka begitu dimanusiakan di kota itu. Banyak yang menyayangi, banyak yang saling berbagi.

Akshaya semakin yakin, kota ini sudah pas untuk menjadi pelabuhan terakhir bagi keluarganya.

"Maaf, ya, Om. Kami sudah dijemput." Bening berkata dengan lembut saat berbalas sapa dengan Anton dan teman-temannya. Mereka adalah driver yang langganan makan di warungnya. Berniat mengantar pulang, gratis, heboh, dan rebutan.

"Oh, baik sudah. Toe maco on. Nanti kami singgah, e, kalau warung sudah buka."

Bening mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan mendekati Natha, Ezekiel, Dea, dan Elbark.

"Oleh-olehku mana?" Ezekiel menghambur, memeluk Yada. "Tidak lupa, kan?"

Biasanya Yada akan menjawab, namun kali itu, Yada diam dengan wajah pucat dan lemas. Ezekiel melerai pelukannya dan diam menatap Yada. Anak itu tahu, mungkin ada yang tidak beres. Maka dari itu, Ezekiel tersenyum dan memukul lengan Yada dengan pelan. "Jangan manyun. Kamu punya wajah jadi jelek sekali."

Yada memalingkan wajah, lalu berusaha tenang dan tegar. Akshaya pingsan. Sempat pingsan. Ia kira, malah meninggal. Hatinya sudah kalang kabut. Bahkan, Bening juga ikut panik tadi sebab Akshaya sulit sekali dibangunkan.

Untungnya, saat pesawat sudah mendarat, Akshaya membuka mata, lalu tersenyum seperti tidak ada apa-apa.

Hanya saja, tadi saat berjalan dari landasan ke dalam gedung, Akshaya sempat berbisik kepada Yada. "Nanti, anter yayah, ya, Da. Kayak dulu, pas baru habis sailing dan mau pulang ke Jakarta. Yada antar yayah sampai yayah nggak kelihatan lagi."

Yada tahu, mungkin, itu adalah firasat. Pertanda bahwa sebentar lagi Akshaya menyerah dengan keadaan dan tidak ingin lanjut berjuang.

"Pak El." Akshaya menjabat tangan Elbark, begitu erat hingga rasanya Elbark rasa Akshaya membutuhkan itu hanya sekedar untuk ditopang berdiri.

"Pak Aksha. Gimana, baik?"

Akshaya tersenyum. Lalu meminta Natha untuk mendekat dan berkata, "Ning, pulang sama Pak Elbark, ya. Mas mau langsung ke Pemkab. Mau ada yang diurus."

"Istirahat dulu, Mas. Mas lagi nggak enak badan gitu masa langsung mau kerja." Bening tentu keberatan. Akshaya sudah terlihat seperti mayat hidup di matanya.

"Iya, habis ini mau langsung ke dokter. Kamu nanti jenguk, ya, kalau mas sampai opname. Sekarang, pulang dulu sama Pak Elbark." Akshaya tersenyum, kemudian meminta Natha mengambil koper miliknya dan pamit dari tempat itu.

Yada menatap ayahnya hingga menjauh. Begitu juga dengan Dea dan Ezekiel. Mereka semua tahu Akshaya sakit. Hanya Bening saja yang tidak. Mulai ada rasa tak terima di hati Elbark, juga Dea, merasa bahwa hal itu tidak adil untuk Bening. Namun, segala keputusan ada di tangan Yada dan Akshaya sendiri.

Mereka hanya bisa menjadi keluarga yang menemani.

Elbark berdeham, menatap barang bawaan Yada dan Bening yang banyak sekali, bertumpuk di atas troli. "Ayo, saya bantu bawakan, Mbak, ke pinggir. Saya ambil mobil dulu, ya, di bawah."

Bening menganggukkan kepala. "Terima kasih, Mas El. Maaf, jadi merepotkan. Tadi, saya kira mau pulang bareng Natha sekalian."

"Udah, nggak apa-apa, Mbak. Tunggu, ya." Elbark melesat pergi, saat dia berada di tangga taman batas area parkir dan jalur lobi bandara, dia melihat mobil yang dikendarai Natha melaju dengan begitu cepat.

Hati Elbark serasa dililit oleh tali dengan begitu erat. Bukan hanya Akshaya yang sakit. Dirinya juga. Berada di persimpangan atas keyakinan, asmara, dan rasa kemanusiaan, membuatnya kehilangan jati diri selama beberapa waktu ke belakang.

***Sudah pernah tamat di Wattpad per 6 Oktober 2023, lima chapter terakhir Sunrise At Six bisa dibaca selengkapnya di Karya Karsa akhirianawidi sejak 11 Oktober 2023***

Terima kasih sudah mendukung dan menemani aku main ayunan isi kepala di Wattpad, silakan geser ke lapak sebelah bila ingin mampir lagi. 

1. Sepi Terjauh (romance, marriage life, metropop, on going di Wattpad)

2. Brother In Drizzle (Family angst, no romance, sudah tamat, lengkap di Wattpad)

3. Love Grammar (Short story, thriller, romance, sudah tamat, lengkap di Wattpad) 

4. Lost Tales (Family angst, no romance, sudah tamat, ending ada di Karya Karsa)

5. Fair Unfair dan Senandung Rusuk Rusak, nunggu stock cetak habis, soon publish di Karya Karsa.

6. Sehangat Dipeluk Raga (romance, sudah tamat di Wattpad, lengkap. Extra chapter di Karya Karsa)

SUNRISE AT SIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang