"Aku nggak mungkin ngebiarin kamu pergi berdua aja dengan Natha, Kak." Lilian menatap Akshaya dengan penuh rasa iba.
Sejak kejadian lima tahun yang lalu, sosok Akshaya berubah total. Tak lagi hangat. Pria itu menjadi serba tertutup dan tak bersemangat dalam menjalani hidup.
Gaya hidup sehat yang dulu Akshaya jalani saat masih ditemani Bening dan Yada, ikut luruh bersama tali pernikahan mereka yang diputus gemuruh.
"Aku nggak butuh ditemani kamu, Li." Akshaya berdiri menatap Lilian dengan sebal. Ia masih ingat, bila bukan karena perempuan itu, rumah tangganya dengan Bening pasti masih baik-baik saja.
Namun, Akshaya juga ingat, ia bukan siapa-siapa bila tanpa keluarga Lilian.
"Kak, tolong maafin aku, tapi tolong jangan siksa diri kamu sendiri, Kak." Lilian Nareswari, wanita berusia 37 tahun itu mengiba harap kepada Akshaya. Ingin Akshaya kembali berwarna, ingin Akshaya kembali sehangat senja.
Akshaya bungkam. Matanya liar menusuk wajah Lilian.
"Biarin aku hidup seperti apa mauku, Li. Tiga puluh tahun sudah cukup aku menjadi boneka kalian, kan? Apa masih kurang lama?"
"Kak ...."
"Li, aku capek. Aku pusing." Akshaya memilih untuk berlalu dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Tak peduli ada Natha dan adiknya yang melihat segala kejadian dalam diam di rumah itu.
Helaan napas yang begitu berat terdengar, Akshaya meremas kepalanya, menjatuhkan diri di atas ranjang dengan lemas. "Bening, Yada ... kalian di mana?"
Setetes air mata jatuh di pelipis Akshaya. Pria itu terdiam. Hanya bisa mengulang rindu yang kini tak pernah tersampaikan kepada mantan istri dan buah hatinya.
Lilian bukan istrinya, Natha dan si adik bukan anaknya.
Sejak dulu hingga sekarang, hanya ada Bening, hanya ada Yada. Akshaya tak pernah mendua, tak pernah membagi kasih tulusnya untuk siapa-siapa.
"Aku pernah bermimpi ingin punya keluarga yang utuh bersama kamu, Bening. Tapi sekarang, kamu tinggalin aku sendirian. Kamu nggak mau menunggu aku barang sebentar untuk menyelesaikan segala urusan. Aku harus gimana, Ning? Ke mana aku harus cari kalian, gimana caranya aku memperbaiki keadaan?"
***
"Tujuanmu kerja keras gitu apa, sih, Da?" Lesmana meletakkan dua botol Pocari Sweats di atas meja kecil di ruangan belakang kantornya. Ruangan yang lumayan luas, tempat ia menaruh inventaris perusahaan. Seperti alat snorkeling, paddle board, dan lain-lain. Di pinggir ruangan itu, ada tempat khusus untuk mencuci alat-alat yang baru saja dikembalikan oleh penyewa.
Yada ada di sana, sedang dengan tekun mencuci snorkle dan goggle. Sementara Dea sedang membantu mencuci fin.
"Masih muda apa gunanya kalau nggak buat kerja keras, Mas?" Yada menjawab dengan ringan.
Lesmana terkekeh. Pengusaha muda berusia 34 tahun itu kagum kepada Yada. Ia saja baru paham untuk kerja keras saat usianya menginjak 22 tahun. Ini Yada masih 15 tahun sudah bekerja keras bagai kuda.
"Yada itu punya cita-cita nikah muda, Mas. Maklumin saja kalau dia kerja keras." Dea menimpali sambil tertawa menggoda.
Lesmana pun ikut bercanda. Tapi tidak dengan Yada yang kini merengut ke arah Dea. "Hati-hati kalau ngomong, Dea. Tahu-tahu kamu yang nanti nikah muda."
"Iya, kan, aku nikah mudanya mau sama kamu, Yada."
"Nikah muda? Sama kamu? Najis, Maipa Deapati! Amit-amit!" Yada mengumpat, menatap wajah ayu Dea yang kini merengut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNRISE AT SIX
Storie d'amoreJika banyak perceraian selesai dengan rujuk sebab mengatas namakan kebahagiaan anak, maka ini tidak terjadi kepada Kamacandu Danurdara Prayada. Ia justru tidak akan suka jika Bening harus kembali kepada mantan suaminya meskipun pria itu sudah melak...