Sudah makan siang belum? Kutemenin, yaah. Hihihi. Selamat membaca Sunrise 30 yang muncul di saat sun lagi rise-rise nya di atas kepala a.k.a muncul siang bolong hihiii.
***
Siang itu, Heksa kembali meneteskan air mata saat mengantar Akshaya, Bening, dan Yada ke bandara. Pria itu berdiri kaku, menatap Akshaya yang dengan telaten sedang membantu Yada mengecek barang bawaan sebelum dinaikkan ke troli.
Bening menatap Heksa, sedikit heran saat mendapati Heksa memperhatikan Akshaya dengan begitu sendu.
"Mas, jaga diri baik-baik, ya. Tolong yang sehat. Sering-sering balik ke Jakarta, Mas. Saya nggak bisa jalanin Benaya sendirian terlalu lama." Heksa bersuara, masa bodoh dengan air mata yang terus menetes.
Selalu seperti itu, setiap kali melihat Akshaya, Heksa tak kuasa menanggung lara.
Di mata Heksa, Akshaya adalah orang yang paling sial yang ada di dunia. Sekaligus, orang yang paling tulus yang pernah ia kenal.
"Iya, Sa. Nanti saya sering-sering ke Jakarta." Akshaya tersenyum berjalan maju menepuk pundak Heksa. "Tapi, kamu harus terima, Sa. Rumah saya sekarang di Labuan Bajo sama Bening dan Yada."
Tangan Heksa bergerak, meraih tubuh Akshaya dan memeluknya dengan erat. Semakin membuat Bening bingung dengan hal itu.
"Mas, sampai kapan pun saya akan selalu siap untuk nungguin Mas Aksha pulang ke Jakarta."
Akshaya mengangguk. Wajahnya yang hari itu lebih pucat dari biasanya hanya bisa tersenyum.
Beberapa menit kemudian, Akshaya membimbing Yada dan Bening untuk memasuki check in counter. Membayar kelebihan bagasi karena oleh-oleh yang begitu banyak yang mereka beli untuk semua kenalan di Labuan Bajo.
Sedari tadi, Bening melihat Akshaya tersenyum, namun mata pria itu tidak demikian. Lagi-lagi, Bening yakin bahwa Akshaya sedang menahan diri dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.
Saat mereka berbalik hendak berjalan menuju gate, Bening meraih tangan Akshaya dan membawanya untuk duduk di salah satu bangku kosong yang tersisa di dekat mereka. "Ning ...."
Akshaya celingukan, canggung saat melihat Bening kini bertumpu salah satu lutut di depannya sambil menggenggam tangan. "Mas sakit?"
Akshaya menggelengkan kepala. Lalu menatap Yada, meminta pertolongan agar anak itu membantunya. "Ng ... nggak. Mas baik. Kenapa, Ning? Bangun, Ning. Nggak enak dilihatnya."
Bening menghela napas. "Mas pucat dan tubuh Mas panas. Aku pijit sebentar biar lebih rileks."
Wanita itu mulai memijat tangan Akshaya, tak peduli bahwa tingkahnya kini bisa saja membuat hati Akshaya melayang-layang mengembara asa.
"Mas kayak lagi dapat keajaiban. Kamu nggak malu kasih perhatian kayak gini di tempat umum. Suami orang pasti iri lihat istrinya belum tentu bisa pijit dan manjur bikin sehat kayak kamu, Ning." Akshaya tertawa, meski tak bisa dusta, bahwa kini tenggorokannya begitu hampa. Ada panas yang menggelayut di sana.
Yada mengepalkan tangan, tak tega dengan Akshaya, namun juga tak kuasa bila harus melihat ibunya kembali berkubang duka.
Akhirnya anak itu ikut memberi perhatian, membuka botol air mineral dan memberikannya kepada Akshaya. "Minum, Yah. Biar enakkan badannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNRISE AT SIX
RomansJika banyak perceraian selesai dengan rujuk sebab mengatas namakan kebahagiaan anak, maka ini tidak terjadi kepada Kamacandu Danurdara Prayada. Ia justru tidak akan suka jika Bening harus kembali kepada mantan suaminya meskipun pria itu sudah melak...