"Jangan turun, Yah. Di sini aja, aku temenin." Yada meraih tangan Akshaya yang tadinya sudah melenggang nyaris mendekati samping kapal untuk ikut turun ke Taka Makassar.
"Yaaa, yayah pengen turun, Da."
"Sekali nggak boleh, ya, nggak boleh." Yada menyeringai tipis, lalu pergi membawa Akshaya ke sofa di area haluan. Di sana, ada satu set sofa nyaman dengan meja penuh terhidang kue dan buah-buahan.
Ada satu TV LED yang kini sedang digunakan untuk main PS oleh Ezekiel dan Lesmana. Sementara Heksa dan keluarga, Natha, Elbark, Bakti, dan keluarga Erza turun ke Taka Makassar, sebuah pulau dengan pasir pantai timbul membentuk bulan sabit di tengah lautan. Pasirnya putih dan lembut. Hanya pantai kecil itu saja. Tidak ada pohon, apalagi bangunan. Hanya pantai pasir putih yang menyembul di antara birunya laut.
Namun, sebab di sana masih pukul 14.00 WITA, tentu matahari serasa ada lima. Panas bukan main. Terik menguliti kulit.
"Iya, Om. Duduk di sini saja. Tidak enak panas-panasan." Ezekiel bersuara tanpa memalingkan wajah.
Sudah sejak kemarin mereka menaiki kapal milik Ezekiel untuk membawa Heksa dan keluarganya sailing di Taman Nasional Komodo. Semuanya ikut. Termasuk Dea dan Bening yang kini sedang di dapur untuk membuat sesuatu.
"Tuh, dengerin apa kata kerikil kehidupan, Yah." Yada berbisik, lalu duduk di samping Akshaya dengan kalem. Sepasang ayah dan anak itu kini sepakat tak menggubris suara ramai dari bibir Lesmana dan Ezekiel yang sedang bertanding.
Akshaya dan Yada memutuskan untuk diam menatap lautan biru dengan gradasi yang begitu indah. Airnya tenang, jernih, bersih tanpa ada sampah. Awan-awan putih juga menggumpal dan berarak di langit yang sedang cerah-cerahnya.
Akshaya menghela napas. Lalu menyandarkan kepalanya di bahu Yada sambil memeluk satu bantal di atas perutnya.
"Da."
"Hmmm." Yada menahan napas. Pandangannya masih tertuju ke lautan, juga kepada sekumpulan orang-orang yang sedang bergembira ria dan jatuh dalam pesona Taka Makassar. Namun, sejujurnya Yada mulai tidak pernah tenang setiap kali Akshaya bersuara, memanggil namanya, lalu terhenti tanpa berlanjut apa-apa.
Sering kali seperti itu.
"Yayah nakut-nakutin terus." Yada menggumam, pipinya kini sedikit menggembung. Begitu sulit rasanya menahan jiwa yang biasanya meledak-ledak. Kini harus tertahan dan terpaksa tenang.
"Maaf." Akshaya menjawab sambil tersenyum, semakin menyamakan sandarannya di bahu Yada. "Yada udah gede beneran. Bahunya rada lebaran dari bahu yayah."
"Terus?"
"Ya, yayah pengen kayak gini terus."
"Ck!" Yada berdecak, memalingkan muka. Akshaya menyebalkan!
"Ya, kalau Yayah kayak gini terus, gabut amat. Dikira aku pengangguran apa?" Yada masih selalu berburuk sangka atas setiap detik dan menit yang terus bergulir. Takut segalanya terhenti begitu saja. Takut segalanya kembali hancur sekali lagi.
"Bahunya harus tegap, Da. Nanti, di sini ibu bisa mengandalkan kamu. Istri kamu, anak kamu, semuanya harus betah di sini." Akshaya menepuk pelan dada Yada, perlahan matanya memejam.
Suasananya syahdu sekali.
Kapal bergoyang pelan, sangat pelan, bagai sedang mengayun orang-orang dengan gerakan yang lembut dan menyenangkan. Angin di sekitar Taka Makassar juga berembus dengan pas. Tidak ribut, menyapa dengan pelan.
Rambut Akshaya bergerak diterpa angin, terkadang sedikit menggesek pipi Yada yang saat ini juga ikut terpejam bersama sang ayah.
Perlahan, Yada bergerak, meraih tangan Akshaya, lalu menggenggamnya dengan erat. "Yah, kita ngobrol. Jangan tidur."
"Yayah maunya nggak tidur. Tapi, ngantuk banget, Da."
Yada mendengkus pelan. Tidak bisa, dia benci saat melihat Akshaya tidur.
Di bawah langit Taman Nasional Komodo, 29 September 2022, Yada kembali menggaungkan suara hatinya keras-keras. Di dalam dada sana, ada teriakan maha dahsyat yang bersuara, "Aku benci lihat Yayah tidur!"
Namun, Yada menahan. Yang keluar dengan kurang ajar justru air matanya. Dua tetes, dan langsung dia usap secepat kilat dengan tangannya yang sedang tak menggenggam Akshaya. "Gini aja, deh. Aku mau tanya."
Akshaya tak menjawab. Membuat Yada dengan gemas menggerakkan bahu dan berseru, "Ahelah, Yah!"
***Sudah pernah tamat di Wattpad per 6 Oktober 2023, lima chapter terakhir Sunrise At Six bisa dibaca selengkapnya di Karya Karsa akhirianawidi sejak 11 Oktober 2023***
Terima kasih sudah mendukung dan menemani aku main ayunan isi kepala di Wattpad, silakan geser ke lapak sebelah bila ingin mampir lagi.
1. Sepi Terjauh (romance, marriage life, metropop, on going di Wattpad)
2. Brother In Drizzle (Family angst, no romance, sudah tamat, lengkap di Wattpad)
3. Love Grammar (Short story, thriller, romance, sudah tamat, lengkap di Wattpad)
4. Lost Tales (Family angst, no romance, sudah tamat, ending ada di Karya Karsa)
5. Fair Unfair dan Senandung Rusuk Rusak, nunggu stock cetak habis, soon publish di Karya Karsa.
6. Sehangat Dipeluk Raga (romance, sudah tamat di Wattpad, lengkap. Extra chapter di Karya Karsa)
Hai, from Taka Makassar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNRISE AT SIX
RomanceJika banyak perceraian selesai dengan rujuk sebab mengatas namakan kebahagiaan anak, maka ini tidak terjadi kepada Kamacandu Danurdara Prayada. Ia justru tidak akan suka jika Bening harus kembali kepada mantan suaminya meskipun pria itu sudah melak...