Kobaran api itu membuat dirinya semakin panas dan marah. Suara tangisan terdengar dari beberapa orang disekitarnya. Pandangannya melihat ke dalam api di mana tubuh kecil itu dilahap Api.
"Sudah selesai Chan ayo pulang" kata sang ibu dengan wajah pucat. Chan menatap wanita itu, seperti berusaha untuk bersabar dan ikhlas di depannya.
"Ibu aku akan pergi ke sebuah tempat, ibu diamlah di tempat bersembunyian bersama warga lainnya" kata Chan. Kini tak ada keraguan dalam dirinya, pengusir para penjajah adalah tekadnya.
"Ke mana? Aku tidak kau kehilangan mu lagi" kata wanita itu. Chan menggeleng sembari mengusap air matanya.
"Bagaimana pun caranya, aku akan membalaskan dendam kematian Yuan. Aku pastikan mereka akan enyah dari tempat ini selamanya" kata Chan sembari mengepalkan kedua tangannya. Wanita itu pun terdiam, jika terus seperti ini maka mereka selamanya hidup dalam kesengsaraan.
"Ibu selalu doakan semoga kalian bisa, berjanjilah untuk kembali dengan selamat Chan" kata wanita itu sembari mengelus bahu putra sulungnya.
Siang hingga malam, Chan kini di sana bersama organisasi pemuda. Mereka kini berusaha mempersiapkan semaksimal mungkin pemberontakan yang segera akan dimulai.
"Sepertinya kita perlu umpan" kata salah satu orang saat perundingan. Tiba-tiba Chan terdiam lalu tersenyum miring.
"Aku tahu siapa yang akan menjadi umpan yang cocok" jawabnya sambil memikirkan sesuatu di kepalanya. Dia tak akan membuat kesalahan lain, dan menggunakan kesempatan sebaik mungkin.
Suara tawa anak kecil terdengar di halaman belakang. Pria muda yang kini sudah berumur 15 tahun itu sangat senang mendapatkan teman baru.
"Besok ke sini lagi ya" ujar pria manis sembari mengusap wajah anak kecil di depannya. Anak kecil yang sangat berbeda dengan dirinya. Wajahnya sangat melokal dan tubuhnya yang kotor memcerminkan rakyat jelata.
"Iya kak" jawabnya sembari memakan roti yang baru saja diberikan oleh pria di depannya.
"Kak Lino, aku pulang ya" katanya sembari melambaikan tangan kecil. Lino perlahan tersenyum. Melihat kepergiannya dirinya seketika bersedih. Lino sendirian di sana, sejak sang ibu pergi melarikan diri karena tidak kuat meninggalkan dirinya bersama sang ayah dan para ibu tirinya.
Walaupun banyak memiliki saudara tiri tapi tak membuat Lino merasa beruntung dan bahagia. Hanya beberapa anak-anak pelayan yang sering dia ajak bermain bersama. Karena mereka tahu, Lino adalah anak dari hasil hubungan jalang lokal dengan sang Gubernur penjajah.
Saat Lino akan kembali masuk, tiba-tiba suara familiar terdengar dari arah pintu belakang rumah. Anak kecil yang tadi kini muncul kembali dihadapanya. Namun, dia tak masuk melainkan hanya berdiri di depan pintu sembari melambai ke arah Lino.
Tanpa basa-basi pria manis itu pun berlari ke sana, wajahnya yang tadi bersedih kini berubah menjadi sumsringah.
"Kenapa?" Tanya Lino berbinar pada pertemuan kedua mereka. Anak itu memegang tangan Minho dan membawanya keluar. Si manis agak was-was, sangat takut jika penjaga mengetahui hal ini. Jika benar, mereka pasti akan memberitahu sang ayah.
"Mau ke mana?" Tanya pria manis itu.
"Pergi" jawabnya dingin. Entah kenapa Lino baru sadar jika dia kini sudah berjalan jauh dari rumah. Suasana sangat berbeda, apalagi kini senja mulai tergantikan oleh malan. Ketika akan berbalik, wajahnya tiba-tiba ditutup dengan sebuah karung goni. Tegap dan pengap, Lino tak bisa bernapas dengan benar. Jantungnya berdegup kencang sembari melepaskan diri. Saking takutnya sampai dia tak bisa berbicara apalagi berteriak untuk memperoleh pertolongan.
Lino berusaha memberontak kuat, namun sebuah benda tumpul mengenai kepalanya. Basah, Lino merasa bagian belakang kepalanya basah. Perlahan pandangannya kabur dan dirinya tak sadarkan diri.
____
Gelap dan dingin, suasana itu membuat Lino merasa aneh. Pandangannya masih gelap karena karung itu masih menutupi kepalanya. Jantungnya kembali berdebar, entah siapa lalu apa motif mereka menjawab Lino pergi.
Kedua tangannya kini terangkat diikat dengan tali dan posisi Lino duduk bersimpuh. Kedua kakinya sudah sakit, entah kenapa lama dia dalam posisi ini.
"Di mana ini?" Tanya si manis, tak ada jawaban. Dia pun berusaha bergerak dan melepaskan karung itu dari kepalanya. Karena usahanya yang keras, karung itu berhasil lepas dari kepalanya. Baru Lino merasa lega. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut cokelatnya.
Lino meneguk salivanya ketika netranya menatap sekeliling. Seperti sebuah gudang yang amat tua dan lembab. Banyak sekali barang-barang di sana. Serangga kecil itu juga kerap muncul di depan sana.
"Tolong" Teriak dirinya berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Ketakutan mengalahkan segalanya sekarang, Lino seperti ingin pulang. Air matanya menetes pelan sembari meneriaki kata-kata untuk memohon pertolongan.
"Tolong aku mau pulang" katanya berkaca-kaca. Tiba-tiba suara pintu terdengar dari belakang, sontak membuat Lino menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria dengan membawa senjata api muncul di belakangnya. Wajahnya dingin dan sinis ketika mata mereka saling menatap. Lino perlahan berusaha mundur tapi kini tangannya terikat kuat.
"Kak tolong lepaskan aku" kata Lino dengan lembut berusaha agar dirinya dilepaskan. Pria itu tiba-tiba tersenyum miring sembari berjalan ke depan Lino. Dia kini menjongkok dan mencengram dagu Lino.
"Tunggu sampai ayah mu datang dan menyelamatkan mu" jawabnya. Lino berusaha memberontak, pria ini sepertinya jahat dan ingin menyakitinya. Tatapan tajam seperti akan segera menyakiti dirinya.
"Lepaskan aku, aku tidak melakukan apapun" katanya berkaca-kaca. Pria itu tiba-tiba menampar wajah Lino dengan keras hingga membuat sang pemilik tersentak ke arah samping. Tangisan Lino kembali pecah. Tak pernah dia sebelumnya diperlakukan sekasar ini.
"Aku benci kalian" kata pria itu. Lino langsung menangis serdu, pertama kalinya dia mendapatkan kekerasan. Tubuhnya seketika langsung bergetar ketakutan.
Belum selesai sampai di sana, pria itu tiba-tiba mencengram rambut cokelat miliknya dengan kasar dan menatap wajah yang kesakitan Lino dengan sangat bahagia.
"Kalian semuanya harus mati, bagaimana pun caranya kalian harus enyah dari tempat ini" kata Chan nama pria itu. Mata si manis berkaca-kaca menatap pria di depannya.
Chan perlahan nenatap mata besar yang menatap dirinya lemah. Mata khas para menjajah, Chan pun mengambil sesuatu dari saku celananya.
"Aku benci melihat mata itu" katanya. Lino menggeleng ketika pria itu mengancungkan sebuah belati runging dan berancang-ancang untuk menikam mata abu-abu milik sang anak penjajah.
"Ampun Tuan ampun" Lino perlahan menangis, tangan Chan seketika diam tak bergetar. Karena sangat marah membuat dirinya kehilangan akal sehat. Dengan membunuh pria ini maka rencananya akan gagal.
Chan pun melepaskan pria muda yang sudah ketakutan setengah mati. Pipinya sudah basah oleh air mata yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
"Kau jangan berisik, jika tidak aku akan mencongkel mata mu" ujar Chan kemudian langsung bangun. Lino terdiam sembari menutup bibirnya rapat, hanya suara sesenggukan itu yang terdengar dari mulutnya. Dia pun menunduk penuh ketakutan sampai suara pintu gudang ditutup dari luar.
TBC
Jangan lupa vote dan komen ya
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LITTLE SECRET [BANGINHO] ✔️
FanfictionSebelum baca wajib follow akun author !!! Sebuah rahasia yang disimpan oleh Bang Chan. Seorang pria pribumi yang memiliki dendam yang kuat kepada para penjajah karena kematian sang adik. Suatu hari, dia menyelinap ke rumah salah satu penjajah yang s...