Chapter 12

225 36 2
                                    

“Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting bagi seorang pengajar, Profesor. Hari ini anda sudah lalai.”

“Maafkan saya..”

Dibanding berusaha untuk curi dengar percakapan diantara kedua Profesor itu, kedua remaja yang berusaha keras bersembunyi itu lebih terfokus pada rasa berdebar dalam diri masing-masing. Sean saat ini dalam keadaan  sedikit merunduk dalam jubah yang Liam kenakan. Membuat dirinya dapat mendengar dengan jelas detak jantung milik Liam.

Disaat seperti ini, Sean jadi mempertanyakan nasib dan eksistensinya. Detak jantung nyata yang dia dengarkan saat ini membuatnya berpikir lumayan jauh tentang fakta bahwa Liam adalah orang sungguhan, yang hidup bukan hanya berdasarkan alur fiksi yang sudah ia ketahui.

Namun, jika Liam beserta seisi dunia ini merupakan eksistensi nyata, maka apakah Sean sungguh tidak akan pernah kembali pada dunia asalnya? Apakah ia akan benar-benar menetap dan menjadi salah satu tokoh penting sungguhan dalam kisah ini?

Di lain sisi, Liam terlalu gugup untuk fokus mendengar percakapan kedua gurunya itu. Wangi tubuh Sean juga rambut halus yang menggelitik wajahnya membuat dia sangat tidak fokus. Dia juga sangat berhati-hati supaya Sean tidak mempertanyakan mengapa detak jantungnya jauh dari kata normal.

“Karena sepertinya anda sudah paham, saya pamit dulu.”

Liam mengintip dan mendapati Profesor Lassen bangkit berdiri. Secepat kilat ia kembali merunduk dan mempererat rangkulannya pada tubuh Sean kala dirasa Profesor Lassen menoleh ke arah mereka.

Profesor Lassen sendiri, dalam sudut pandangnya tidak menyadari bahwa dua sosok anak muda yang sedang saling merangkul itu adalah Liam dan Sean. Maka ia hanya berdecih sembari berkata, “Dasar anak muda jaman sekarang.” lalu kembali melanjutkan langkah pergi dari cafe itu.

Tak lama setelahnya, Profesor Hill menyusul keluar dari cafe tersebut.

Liam melepaskan rangkulannya dan mereka bersamaan menoleh ke arah pintu keluar sembari bernapas lega. Sekaligus memastikan kedua sosok yang hampir saja bertatap muka dengan mereka itu benar-benar sudah pergi.

“Kita masih harus tunggu sebentar, bisa jadi mereka masih ada di sekitar sini.” ujar Liam.

“Saya pikir kita akan ketahuan tadi. Tapi.. apa yang sebenarnya mereka bicarakan tadi?”

“...Aku juga tidak yakin apa.”

Dengan senyum yang begitu merekah Sean menjawab, “Jubah ini benar-benar menyelamatkan kita, bukankah begitu?”

“Terima kasih sudah bantu menyembunyikan saya.”

Liam sendiri hanya terpaku menatap wajah Sean. Setiap kali melihat Sean yang berbahagia, Liam rasanya kembali diingatkan tentang betapa cantik dan berwarnanya aura yang dimiliki oleh pemuda Sweeney itu.

Maka entah setan impulsif mana yang merasukinya, namun Liam tiba-tiba mendapati dirinya semakin dekat dengan Sean hingga bibirnya menempel tepat pada kening yang lebih muda.

“Terima kasih kembali.”
️️

️️ ️️
Flashback on

Liam tidak ingat persis sejak kapan hidupnya jadi seperti ini. Apa sejak dirinya menyadari apa itu makna diskriminasi? Atau hanya sejak ia paham betapa orang-orang membenci ibunya yang bahkan tidak melakukan kesalahan apapun selain terlahir sebagai rakyat biasa?

Yang jelas, tepat saat ia dapati tubuh ibunya terbujur kaku di hadapannya tanpa hembusan napas, tepat saat itulah hidupnya total menjadi abu. Tanpa warna, tanpa emosi, mati rasa.

“Cih! Karena ratunya rakyat biasa, bahkan pemakamannya pun sangat tidak berkelas.”

“Ssstt, nanti ada yang dengar.”

I'm just his friends [ 2MIN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang