bab 3

82 24 32
                                    

Desya nampak termenung dengan tangan kanannya dijadikan sandarannya. Venala dan Afna berulang kali memanggilnya, tetapi tidak ada respon dari cewek itu.

Venala mendengus kesal sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya serta raut wajah yang tidak bersahabat itu menatap tajam ke arah Desya.

Sadar akan hal itu, Afna mengebrak meja sekuat tenaga. Desya terlonjak sambil menggerutu. "Kenapa, sih? Ganggu aja."

Venala mendelik. "Heh! Lo yang di panggil tuh di jawab!"

Desya tersenyum kikuk lalu mengalihkan pandangan, rona merah terlihat jelas di wajah Desya. Afna yang sadar langsung berbisik kepada Venala.

Venala mendengarkan sembari melirik Desya. Venala mengulum senyum, ia memanggil Desya, dan cewek itu melirik sahabatnya. Sontak Desya merinding begitu netranya bertemu dengan senyuman manis Venala.

"Mau apa elu? Lu siapa? Lo bukan sahabat gue ... tolong." Desya berniat melarikan diri, tetapi Afna menahannya di tempat.

"Af-" Desya terdiam begitu melihat Afna pun juga tengah tersenyum manis kepadanya. "Mampus, gue dalam masalah besar," pikir Desya dengan pasrah ia menerima nasibnya saat ini.

Setelah itu, Desya menceritakan tentang apa yang ia pikirkan tadi. Dengan wajah merona, cewek itu menundukkan kepala enggan melihat kedua sahabatnya yang saat ini tengah mengintrogasinya.

"Jadi, lo naksir sama kak Rival? Sahabatnya kak Rafa? Sejak kapan?" tanya Venala sembari memperbaiki posisi duduknya agar nyaman.

Desya bungkam. Cewek itu hanya menundukkan kepalanya, Venala dan Afna saling memandang serta sesekali melirik Desya.

"Kami tidak akan memaksamu bercerita. Gimana baik, kan, gue? Menghargai privasi."

Sejujurnya, kata-kata Venala cukup menusuk karena kemarin ia memaksa Venala cerita. Desy menggigit bibirnya, ada rasa sakit yang tidak dapat dipahami olehnya sendiri, ia tidak tahu perasaan apa itu.

"Beri gue waktu saat ini ... gue gak bisa cerita sekarang karena gue punya problem sama kak Rival dan itu urusan kami," jelas Desya. Venala mengembuskan napas lalu menganggukkan kepalanya, "Baiklah."

***

Rafa menatap malas Rival tatkala cowok itu asyik bermain game. Fedrick yang baru saja datang sembari membawa makanan dan minuman yang dipesan menatap keheranan.

"Kenapa?" Fedrick bertanya sambil menyajikan makanan dan minuman di atas meja.

"Tuh si Rival asyik sendiri dari tadi," celetuk Rafa sambil melirik Rival.

Fedrick mengikuti arah pandangan Rafa, ia berdecak sebal sambil mengernyitkan alis. Cowok itu mengebrak meja yang membuat Rival terkejut.

"Kenapa, sih?" tanya Rival kesal. Fedrick membelalakkan mata sambil berkacak  pinggang. "Sibuk mulu keliatannya gak mau makan? Kalau gak, bilang."

Rival mematikan ponselnya lalu menyimpannya, tangannya meraih piring dan minumannya.

"Gue yang dari tadi ngajak lo bicara gak dijawab ... sekalinya Fedrick lo ciut," ucap Rafa kecewa.

"Ye, maaf-maaf. Gue fokus main, ntar kita mabar," ujar Rival sembari mencampurkan sambal dan kecap di makanannya.

"Kemarin sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanya Fedrick sembari menyedokkan nasi gorengnya ke dalam mulutnya.

"Itu si Taufik keknya ngincar Venala juga, malas banget harus bersaing benar-benar ku anggap rival," kata Rafa sambil berdecak kesal.

"Lo manggil gue?"

RAVEN(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang