Rival memandangi wajah Rafa yang tertidur lelap. Perasaan khawatirnya tidak dapat ia sembunyikan, ia terus menggengam tangan Rafa, sudah dua puluh empat jam berlalu, tetapi Rafa tidak menunjukkan tanda-tanda akan siuman.
Dercitan pintu yang dibuka oleh seseorang sontak membuat Rival tersentak dan menoleh ke arah sosok itu.
"Dokter sudah mengatakannya Rafa akan baik-baik saja," ucapnya sambil melangkah mendekati Rival. Ia mengelus kepala Rival yang membuat cowok itu merasa malu.
"Tapi, aku tidak menyangka Rafa sempat pulang ke rumahnya bahkan dia harus merasakan rasa sakit dari pria berengsek itu!" Rival mengepalkan tangannya serta sorot matanya dipenuhi amarah dan dendam.
"Jadi, kau mau melakukan apa sekarang? Apakah kau akan tetap membantu rencana Fedrick? Atau kau mau bergerak sendiri?" tanyanya yang membuat Rival bimbang.
Rival meremas ujung bajunya dengan kuat sembari menggigit bibirnya. "Aku ... tidak tahu." Cairan bening lolos jatuh begitu saja, sontak cowok itu mengelap cairan tersebut.
"Kak, menurut Kakak aku harus bagaimana sekarang?" Rival menundukkan kepala dengan lesu. Sosok itu berlutut di hadapan Rival, tangannya memegang pipi cowok itu dengan hati-hati. "Aku tidak bisa membantumu, tapi dirimulah yang bisa membantu dirimu sendiri."
"Aku ragu."
Sosok itu menghela napas sambil menggelengkan kepala lalu tangannya membelai kepala Rival dengan penuh kelembutan.
"Kau bisa karena kau anaknya," tuturnya dengan lembut.
"Kenapa? Kenapa Kakak tahu aku sebenarnya siapa? Sebelumnya Fedrick, tapi sekarang Kakak juga?" Rival membulatkan matanya terkejut dan tanpa sadar cairan bening jatuh dari pelupuk matanya. "Rizston ... kalian berdua siapa sebenarnya, Kak Andrew?".
Andrew, pria itu yang membantu Rival semalam membawa Rafa menatapnya tidak percaya bahkan mengeluarkan sepatah kata pun ia tidak bisa, lidahnya rasanya keluh, serta tubuhnya menengang tatkala napasnya mulai tersengal-sengal akibat ia menahan tangis pilunya.
"Bukankah kau yang paling tahu? Aku berharap banyak kepadamu karena kaulah pemengang kunci dari masalah ini," ucap Andrew.
Rival tahu dan seharusnya ia waspada terhadap orang seperti Andrew maupun Fedrick. Kenapa? Jawabannya simpel dan mudah karena keturunan keluarga Rizston terkenal dengan tipu muslihat bahkan rumor tentang keluarga tersebut siapa pun yang mendengarnya akan merasa merinding.
Andrew menghela napas sambil mengacak-acak rambutnya. Rival yang melihatnya terkesiap, ia merasa deja' vu teringat oleh Fedrick yang hobi mengacak-acak rambutnya. Sejujurnya, orang yang melihat pesona keluarga Rizston akan berteriak histeris, bahkan bukan saja kaum hawa yang akan histeris sampai jingkrak-jingkrak, para kaum pria sepertinya akan terpincur kepada mereka, dia pun mengakui pesona keluarga Rizston tidak terkalahkan.
"Seksi dan tampan."
Andrew menghentikan aksi menggaruk kepala dan malah menatap Rival syok dengan tatapan matanya melebar tidak percaya. "Kau masih normal, kan?" tanya Andrew berjalan mundur sembari memeluk tubuhnya.
"A- apa?! B- bukan begitu, Kak," ucap Rival dengan gagap.
"J- jangan mendekatiku! Tolong!" jerit Andrew sembari berlari keluar kamar dan di susul oleh Rival. "Tunggu, Kak! Dengarkan penjelasanku!".
"Menjauhlah dariku! Aku masih normal!" teriak Andrew yang terus berlari.
"Tunggu!"
"Tidakkk!"
***
Angin berembus menyejukkan, tampak seorang cowok tengah memandangi langit-langit yang kian menunjukkan warna jingga. Suasana riuh dengan banyaknya orang-orang berlalu-lalang bahkan suara bising sirine yang terdengar cukup jelas di indera cowok tersebut. Namun, hal tersebut tidak membuatnya bergerak dari tempat tersebut.
Sudah berapa kali dia menghela napas sembari memegang kepalanya yang pusing memikirkan jalan keluar dari permasalahan yang ia hadapi. Padahal dulu keluarganya begitu harmonis, tetapi sekarang semuanya telah sirna.
Cowok itu berteriak mengeluarkan semua keluh kesahnya yang sudah ia pendam selama ini bahkan sekarang menangis pun ia tidak bisa mengeluarkan air mata.
"Kenapa? Kenapa ini terjadi pada gue? Gue salah apa? Tidak, memangnya keluarga gue salah apa? Kenapa mereka harus menderita? Kenapa bukan gue saja? Apa gue harus mati?" Cowok itu menaiki pilar di depannya, tatapannya yang kosong dengan derai air mata membasahi wajahnya.
"Selamat tinggal semuanya."
"Jangan!"
***
"Ini semua karena Kakak!" seru Rival sambil mengatur pernapasannya. Capek? Iya. Siapa juga yang tidak akan merasa capek setelah berlari-lari di koridor ditambah para perawat pun bukan hanya memarahi mereka, tetapi menyuntik mereka secara paksa bahkan lebih parahnya mereka dianggap pasien rsj yang melarikan diri dan mereka nyaris dibawa oleh pihak berwajib.
"Loh kok saya? Kamu yang duluan mengatakan kata itu, coba saja kau menutup mulutmu yang ceplas-ceplos itu kita tidak berakhir seperti ini dan meninggalkan Raf-" Andrew membuka pintu kamar tempat Rafa dirawat, tetapi begitu ia membukanya tidak ada tanda-tanda keberadaan cowok tersebut.
"Kenapa lama, Kak? Udah buruan masuk." Rival menarik lengan Andrew ke belakang agar ia bisa masuk ke dalam kamar. Namun, Rafael yang seharusnya berbaring di sana kini tidak ada.
"Hah? Kosong?" Rival melangkah memasuki kamar tersebut dengan langkah yang lebar. Ia membuka selimut, tetapi tidak ada. Ia juga mencari di setiap sudut ruangan. Namun, alih-alih menemukannya bahkan jejak pun tidak ditemukan, kecuali selang infus yang dilepas secara paksa, darah yang berceceran di lantai, dan jendela yang terbuka lebar dengan tali serta gorden.
"Dia kabur." Rival berdecak kesal sembari mengacak-acak rambutnya yang awalnya sudah berantakan tambah berantakan lagi.
"Aaaaa! Bajingan!" teriak Rival dengan kesal bahkan di mata Andrew Rival seperti manusia yang kerasukan setan biduan. Gimana tidak, Rival saat ini menjambak-jambak rambutnya dan lucunya dia sambil berjoget seperti biduan atau cacing. Seperti itulah Rival saat ini.
"Udah gila ni bocah," gumam Andrew dengan mimik wajahnya yang datar seperti papan kayu.
"Padahal wajahnya kayak orang benar," lanjut Andrew dengan mimik wajah yang masih sama. Jangan salah paham, memang dari luar wajah Andrew datar banget padahal aslinya di dalam hatinya dia tertawa hanya saja dia pandai menyembunyikan perasaannya, kecuali perasaannya jika di depan Adira.
"Udah, ayo, cari anak nakal itu."
***
Suara embusan angin dingin yang menampakkan sosok cowok tengah memegang pisau di tangannya. Cowok itu berdiri di balkon kamarnya, senyuman yang sulit diartikan dan tawa kecil serta tatapannya yang sangat kosong menatap pisau yang ia pegang dengan erat."Jika gue tidak bisa membalas dendam dengan apa yang sudah gue rencanakan maka kematian gue adalah balas dendam yang akan menghantui mereka."
Cowok itu menusukkan pisau tersebut tepat di dadanya. Perlahan ia kehilangan kesadaran dan tubuhnya linglung hingga ia terjatuh dalam posisi pisau yang masih menancap di dadanya. Seorang wanita yang memakai baju maid memasuki kamar anak majikannya itu sontak menjatuhkan kue yang ia bawa sembari menutup mulut ia dengan histeris ia berteriak meminta tolong.
"Tuan Fedrick!".
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN(TERBIT)
JugendliteraturCerita diikutkan pensi volume 3 di teorikatapublishing selama 25 hari!! . . . RAVEN kisah romansa kampus cinta segitiga. Venala, cewek maba yang jatuh cinta pada seorang kating bernama Rafa, tetapi ternyata teman satu angkatan Venala bernama Taufik...