bab 7

55 18 53
                                    

Di kampus,Venala, Afna, dan Desya datang lebih awal mereka berniat pergi ke perpusatakan mencari materi untuk tugas mereka.

"Ven," panggil Afna sembari membolak-balikkan halaman buku.

"Kenapa?" tanya Venala yang sibuk mencatat materi di bindernya.

"Lo masih akan mengejar kak Rafa?" tanya Afna.

Venala melirik Afna sesaat sebelum menjawab. Tangannya mengetuk-ngetuk meja yang menghasilkan bunyi 'tuk' dan tangannya yang satu masih menulis.

"Gue bakal tetap mengejar kak Rafa selama dia tidak memiliki pacar," jawab Venala.

Afna mengernyitkan alis lalu bertanya kembali. "Lantas, jika kak Rafa memiliki pacar lo bakal mundur?".

"Iya."

Keheningan menyelimuti mereka tidak ada lagi obrolan, mereka bertiga sibuk dengan buku dan mencatat semua materi.

"Lo bakal minta maaf ke Taufik kapan?"  tanya Desya yang masih fokus menulis.

"Gu- aku akan meminta maaf setelah mencatat ini semua," jawab Venala. Ia baru ingat jika ia sudah berjanji kepada kak Adira akan berubah dari sekarang.

"Kenapa lo tiba-tiba pake aku?" tanya Desya keheranan.

"Kau lupa semalam kita sudah berjanji kepada kak Adira akan berubah? Nah, aku mau berubah mulai dari cara bicara, lalu berpakaian, dan sikap aku selama ini. Aku sadar selama ini aku sudah banyak merugikan orang termasuk orangtuaku," ucap Venala sembari menundukkan kepalanya.

Memori lama terlintas di otak Venala, mengingatnya saja membuatnya sakit hati dan sedih tatkala ia pernah berbohong kepada mamanya selalu izin pergi kerja kelompok malah pergi ke tempat haram bahkan di saat ekonomi keluarganya merosot drastis ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, ia mendapatkan uang dari pekerjaan dengan cara tidak halal. Padahal, niat awalnya baik, tetapi cara yang ia ambil salah.

Ia ingat lelaki semalam itu pernah mendatanginya dan menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di tempat itu lalu suatu hari, lelaki itu semakin menjadi-jadi meminta Venala dan kedua sahabatnya bekerja sebagai penari di sana. Tentu saja, Venala menolaknya mentah-mentah karena bagaimanapun Venala sadar diri dan memilih bekerja sebagai pelayan. Walaupun begitu, lelaki itu terus mendesaknya sebab itulah, Venala berhenti setelah lulus sekolah dan tidak datang kembali.

Alasan semalam ia ikut karena ajakan Desya dan ia juga berpikir berburu kali ini cuma bekerja sebagai pelayan lagi, tetapi ternyata dugaannya salah.

"Aku masih tidak menyangka kita hampir kehilangan masa depan jika masuk ke kamar itu, membayangkannya saja membuatku merinding," ujar Afna dengan tangannya yang bergetar ketakutan. Desya yang melihatnya merasa bersalah sembari mengenggam tangan Afna dengan lembut Desya meminta maaf karena ini semua salahnya.

"Kenapa kau meminta maaf? Kau tidak bersalah," ucap Venala tidak terima.

"Akulah yang mengajak kalian bahkan sebelumnya aku tergiur karena lelaki itu menawarkan gaji yang besar walau aku sempat menolak, tapi pada akhirnya aku menerimanya karena ia mengatakan kalau malam itu akan menjadi malam terakhir kita bekerja di sana," jelas Desya sembari mengenggam erat tangan Afna.

"Lupakan itu kita juga sudah mendapatkan pekerjaan baru," ucap Venala dengan seulas senyuman yang hangat.

"Benar. Aku malah tidak bisa tidur karena terus membayangkan bermain dan belajar bareng anak-anak yang menggemaskan itu membuatku merasa senang," kata Afna dengan mata yang berbinar-binar.

"Halah, lihat bayi menangis aja kau melarikan diri," ledek Venala. Wajah Afna memerah seperti kepiting rebus, ia tidak terima dikatai seperti itu.

"Sejak kapan?"

"Dulu udah lama bahkan Desya masih ingat waktu kita bertiga datang berkunjung ke panti asuhan," jawab Venala dengan nada meledek Afna.

"Itu benar, waktu itu ada bayi yang menangis gara-gara kamu tidak mengurusnya dengan baik padahal bayi cantik itu suka padamu," timpal Desya dengan nada meledek Afna.

Wajah Afna sudah tidak tertolong mau berteriak juga nanti dia diusir karena ribut di perpustakaan. Jadi, ia memilih diam dan melanjutkan catatannya.

***

Taufik menyeruput es limunnya sembari menghela napas ia menatap Yusuf yang sedang makan nasi ayam kecapnya. Yusuf sadar dirinya diperhatikan terus ia menatap balik Taufik dengan sorot matanya yang tajam.

Tanpa sadar Taufik tertawa kecil yang membuat Yusuf cemberut.

"Kenapa lo tertawa aneh padahal gue cuma natap doang," ucap Yusuf sembari menyedokkan nasinya ke dalam mulutnya.

"Tatapan lo lucu," jawab Taufik sembari menutup mulutnya tatkala ia mencoba menahan tawanya. Sedangkan, Yusuf menatap kesal sahabatnya itu sembari menggigit ayam krispinya.

Tak' kuasa Taufik menahan tawanya terdengar suara gas bau busuk menyeruak masuk ke dalam hidung Yusuf. Spontan Yusuf menutup hidungnya dan hilang nafsu makan.

"Lo kentut, ya?!" seru Yusuf dengan mata melototnya menatap Taufik yang hanya tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya tanpa perasaan bersalah.

"TAUFIK HIDAYAT!" Yusuf berteriak kencang yang membuat semua mata tertuju kepada mereka berdua.

"Malu." Yusuf merutuki dirinya karena sudah menunjukkan sisi buruknya di depan banyak orang.

Yusuf menjitak kepala Taufik menggunakan garpu dan cowok itu hanya tertawa sembari meminta Yusuf berhenti melakukan aksinya.

Di tengah-tengah keributan yang mereka berdua perbuat ketiga cewek yang terkenal membuat onar itu memasuki area kantin membuat seisi kantin sunyi tidak ada yang berani menatap mereka.

Netra salah satu cewek itu menatap Taufik yang sedang menatapnya juga. Segera ia berjalan mendekati meja mereka, orang-orang di kantin mulai berbisik, tetapi ia tidak memedulikannya lagi. Fokusnya hanya kepada Taufik seorang.

"Mau apa lagi kalian datang?" hardik Yusuf menatap tidak suka adanya kehadiran mereka di sini.

"Lo ada urusan dengan gue, Venala?" tanya Taufik sadar Venala sedari tadi menatapnya.

"Aku minta maaf."

"Hah? Kesambet apa lu? Lalu, tiba-tiba memakai kata-kata yang berbeda udah kayak bukan lo aja," ujar Yusuf dengan nada bicara mengejek Venala.

"Kenapa tiba-tiba? Lo gak sakit, kan? Gak salah minum obat?" Taufik melontarkan segala macam pertanyaan bertubi-tubi kepada Venala.

Venala menggelengkan kepala, tubuhnya sedikit condong ke depan menatap Taufik. Cowok itu tidak kuasa bertatapan begitu dekat dengan Venala segera ia memalingkan wajahnya.

"Maaf jika selama ini aku banyak berbuat salah kepadamu bahkan aku juga sudah menyusahkanmu sejak SMA, tetapi aku berterima kasih padamu karena kau sempat menyukaiku yang nakal ini. Akan tetapi, aku meminta maaf tidak bisa membalas perasaanmu karena aku menyukai orang lain," ucap Venala sembari mengulum senyuman yang membuat Taufik tercengang saat mendengar pengakuan Venala yang mengetahui fakta ia sudah lama menyukainya. Tetapi, sejak kapan Venala sadar akan perasaannya? Ia tidak tahu.

"Reaksimu lucu," gumam Venala yang masih bisa di dengar oleh Taufik. Wajah cowok itu sudah seperti tomat. Taufik memalingkan wajahnya dan berusaha mengontrol perasaannya.

"Aku ingin kita berteman mulai sekarang dan aku juga akan berubah mulai sekarang," ujar Venala dengan senyuman mekar di wajahnya.

Taufik semakin sulit mengontrol perasaannya, tetapi ia mengangguk dengan kikuk menerima tawaran Venala, walaupun hatinya berbunga-bunga setiap melihat senyuman manis Venala.

Setelah itu, Venala izin pamit pergi. Setelah dirasa aman Taufik akhirnya bisa menghirup udara dengan lega. Walaupun begitu, ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi.

"Kalau begini bagaimana caranya gue move on dari lo, Venala."

RAVEN(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang