bab 26

31 11 48
                                    

"Fedrick," panggil seseorang yang membuat cowok bermata biru langit itu menoleh menatapnya dingin. "Kenapa, Rival?".

Rival tersentak kala sorot mata Fedrick yang menatapnya tajam nan dingin. Ia menghela napas sembari menggaruk bagian belakang lehernya. "Lo yakin menjadikan gadis tadi bagian rencanamu? Gue kasian dia yang tidak tahu apa pun terlibat masalah ini."

Fedrick melangkah lebih mendekati Rival dengan menatapnya dingin, sedangkan Rival menelan salivannya dengan susah payah.

"Lu tahu jawaban gue buat apa lo bertanya dengan jawaban yang sudah pasti," bisik Fedrick yang membuat Rival membeku di tempat.

"Fedrick, akan gue katakan dengan jelas." Rival mendongakkan kepala sambil menunjuk Fedrick dengan sorot matanya begitu tajam. "Balas dendam bukanlah jalan terbaik, tapi memaafkan itu lebih bahkan membuat hatimu menjadi tenang, tidak ada gunanya menyimpan dendam terhadap seseorang itu hanya menambah penyakit, luka memang bisa sembuh, tapi trauma akan sulit disembuhkan," lanjut Rival.

Fedrick tertawa renyah sembari mengusap wajahnya dengan gusar. "Apa bedanya dengan lo?" sindir Fedrick sambil menatap Rival dengan tatapan sinis.

"Gue memang bajingan dulu, tapi gue sudah sadar, bangsat!" pekik Rival sambil melayangkan tinjunya ke arah Fedrick. Namun, Fedrick menangkisnya lalu ia berbalik menyerang Rival.

Rival yang tidak sempat mengelak akhirnya tersungkur akibat tinju dari Fedrick.

"Kuat juga, lo," ucap Rival sembari bangkit lalu mengusap sudut bibirnya. Ia memusatkan kekuatannya pada tangannya dan dengan cepat ia membuat wajah Fedrick terluka akibat pukulannya yang cukup keras.

Tubuh Fedrick linglung akibat pukulan dari Rival, ia memegang kacamatnya yang patah akibat serangan dari Rival, ia menyeringai sembari mengusap sudut bibirnya dengan kasar.

"Sepertinya lu ingin mati di tanganku," ujar Fedrick sembari melepas dasi dan kancing bajunya di bagian atas yang menyiasakan otot dadanya. Rival terkekeh pelan dan melakukan hal yang sama. Orang-orang yang berlalu-lalang di sana tidak berani ikut campur bahkan mengambil foto maupun video. Mereka takut dengan mereka, kenapa? Kenapa orang-orang itu takut kepada dua anak muda? Jawabannya simpel kok, mereka berdua adalah pewaris dari keluarga berpengaruh di ibu kota. Sekali mereka ikut campur atau mencari masalah dengan mereka tamat sudah riwayatmu. Seperti kata pepatah lu punya uang lu yang punya kuasa.

Sebab itu, mereka yang sekedar berjalan-jalan saja di sana tampak tidak memedulikan mereka. Toh, bukan urusan mereka, jika ikut campur mereka juga yang terkena masalah.

Baik Fedrick dan Rival tidak ada yang mau mengalah satu sama lain malah mereka berdua semakin menjadi-jadi tidak peduli dengan luka mereka akibat perkelahian kecil.

"Lantas bagimu apa arti persahabatan kita?! Gue bela-belain buat tobat dari sifat playboy gue dan memilih bersahabat dengan kalian! Tapi, sekarang apa? Lu terbutakan oleh dendam dan amarah! Gue mengatakan ini supaya lo sadar! Balas dendam seperti apa yang telah lo rencanakan tidak ada artinya bego! Balas dendam terbaik adalah membuktikan lo bisa berdiri sendiri!" teriak Rival hingga kerongkongannya tercekat tatkala suaranya kini mulai serak.

"Diam!" Fedrick berlari ke arah Rival lantas ia mencekik leher cowok itu dengan tatapannya dipenuhi kebencian sembari mengangkat tubuh Rival ke langit-langit. Sedangkan, Rival kian mulai kesulitan bernapas, mengeluarkan suara pun ia tidak bisa.

"Kau ... benar-benar ... ingin membunuhku? Berengsek, lo Fedrick .. Rizston ...." Rival hampir kehabisan napas, ia mulai kehabisan tenaga, dan kesulitan melepaskan dirinya sendiri.

"Hentikan Fedrick!" teriak seseorang dengan lantang yang membuat Fedrick tersadar lalu melepaskan tangannya. Rival terjatuh di atas tanah sambil mengatur napasnya yang sedari tadi tercekat.

Orang yang berteriak itu berlari ke arah Fedrick lalu ia menarik cowok itu menghadapnya. "Berengsek!" Sosok itu menampar wajah Fedrick sampai ia memuntahkan darah.

Fedrick mengangkat kepalanya menatap sosok yang menamparnya itu dan alangkah terkejutnya ia melihat dia berada di sini. "Rafa? Bagaimana bisa lo ada di sini?".

Sorot mata Rafa begitu dingin hingga rasanya ada seseorang melemparkan pisau ke arahnya hingga menusuknya. Rival yang tengah mengatur pernapasannya seketika tubuhnya menengang tatkala netra abu-abunya bertemu dengan netra coklat milik Rafa. Rasanya lidah mereka berkeluh, mereka bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, serta Rafa masih menatap mereka dengan tatapan yang sama.

"Rafael? Bagaimana bisa lu ada di sini? Seharusnya lo-"

"Di apartemen lo? Iya, kan?" potong Rafa sambil menatap mereka dengan sangat tajam secara bergantian. Baik Rival dan Fedrick menelan salivannya dengan susah payah sembari menundukkan kepala. Mereka enggan mengangkat kepala, yang ada mereka hanya ditatap bagaikan mangsa olehnya.

Rafa menghela napas dengan lelahnya sembari memijit kepalanya yang sakit. Ia menatap kedua sahabatnya dengan tatapan malas dan lagi-lagi ia menghela napas berulang kali. Sudah jangan ditanya lagi keadaan Fedrick dan Rival yang pasti mereka saat ini sudah mandi keringat dengan posisi menundukkan kepala.

"Kalian sudah dewasa jangan bersikap seperti anak kecil! Gue tahu ... gue tahu kalian memiliki masalah dengan pak tua itu ... gue juga tahu kalian melakukan ini semua ... untukku."

Tubuh Rafa hampir ambruk, tetapi dengan cepat Rival menangkap tubuh Rafa dan Fedrick memeriksa suhu tubuh Rafa. Ia membelalakkan matanya sembari mengatupkan mulutnya tidak percaya yang membuat Rival mengernyitkan dahi.

"Ada apa? Kenapa lo kayak mau menangis, hah?! Jawab gue, Fed." Rival bertanya dengan suara serak sembari memeluk tubuh Rafa yang panasnya bukan main. Ia terkejut dan tanpa sadar meneteskan bulir-bulir air mata sembari memeluk tubuh Rafa. Ia terus meracau melontarkan kata maaf berulang kali.

Hati Fedrick sangat sakit, bukan ini yang ia inginkan. Ia hanya ingin melindungi orang-orang yang ia sayangi, tetapi semuanya menjadi kacau sekarang. Tidak ada satu pun berjalan sesuai rencananya. Tidak ada.

Ia bangkit lalu berlari meninggalkan Rival dan Rival yang masih berada di sana. Rival yang memandangi punggung Fedrick yang mulai menghilang dari penghilatannya mengepalkan tangannya dengan kesal. Ia marah dan kecewa secara bersamaan. Ia dilanda kebingungan saat ini, ia bimbang dengan keputusannya yang membantu Fedrick dalam rencana gilanya itu.

"Apa gue sudah membuat keputusan yang benar?".

Tiba-tiba rintik hujan turun membasahi kota seolah semesta juga mendukung perasaan mereka bertiga. Jalanan yang tadinya ramai pengunjung kini mulai sepi yang menyisakan mereka berdua saja.

Seseorang datang sambil memayungi mereka. Rival mendongakkan kepala menatap siapa yang datang menolongnya. Matanya membulat tatkala ia tidak bisa berkata-kata lagi saat orang itu datang dengan sendiri kepadanya.

"Kau-"

"Iya, ini aku. Sudah lama kita tidak bertemu, Rival. Soal adikku, maafkan dia, kau sudah tahu dia orangnya sentimental padahal niatnya baik, tapi caranya saja yang salah. Ini karena dia menginginkan kasih sayang yang tidak ia dapatkan sejak kecil sebab itu, dia mencintai orang-orang yang ia sayangi dengan cara berbeda. Aku pun akan seperti itu jika aku tidak bertemu dengan, Adira."

"Dua belas tahun lalu?" tanya Rival. Dengan cepat, ia menggelengkan kepala sembari mengulum senyum. "Itu rahasia, mari aku bantu membawa Rafa ke rumah sakit."

Rival yang masih dilanda kebingungan hanya menurut saja mengikutinya sambil membawa Rafa ke rumah sakit untuk memberikannya perawatan.

RAVEN(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang