"Namaku Andrew Rizston."
Adira membelalakkan mata dengan mulut menganga lebar sembari mengebrak meja yang membuat Andrew, Bella, dan Bilal terkejut. "Kau serius?" Adira bertanya sambil mengangkat satu alisnya.
"Maksudnya?" Andrew mengernyitkan dahi menatap Adira. Wanita itu menghela napas panjang lalu menatap Andrew begitu dalam. Andrew menelan salivannya tatkala netra biru langitnya bertemu netra coklat milik Adira.
"Gila, cantik banget."
"Waduh, kenapa, sih matanya secantik itu? Pantesan warna mata Bilal dan Bella berbeda dengan punyaku ternyata ngikut dia."
Bilal dan Bella saling menatap satu sama lain lalu beralih menatap kedua orangtuanya.
Bella dengan polosnya mencolek Andrew yang membuat pria tersebut menoleh ke arah Bella. "Kenapa Bella?" tanyanya dengan lembut.
Sedangkan, Adira memasang raut wajah tidak bersahabat tatkala ia beberapa kali mengembuskan napas secara kasar.
"Rizston ... jangan-jangan dia masih punya hubungan dengan Fedrick, si anak nakal itu," pikir Adira dengan tangan satunya menopang dagunya. Tatapan matanya tidak lepas dari Andrew. Bilal yang melihat Adira, ibunya langsung berceloteh dengab nada menggoda ibunya yang membuat Adira tersentak dari lamunannya.
"Apa?" Wajah Adira merona seperti kepiting rebus di masak. Tentu saja, hal itu, membuat semua mata tertuju kepadanya, tidak terkceuali Andrew dan Bella. Sedangkan, Bilal terkikik geli melihat reaki Adira sembari menyembunyikan wajahnya.
Adira yang sadar akan hal itu langsung mencondongkan tubuhnya lebih mendekati Bilal dengan senyuman khasnya ia berbisik dengan nada bicara yang menyeramkan. Namun, Bilal, anak itu dengan cepat menyembunyikan wajahnya di dalam jaket tebalnya.
"Sudahlah, biarkan saja. Kita di sini karena aku ingin menjelaskan kesalahpahaman," ucap Andrew lalu Adira melirik Andrew sekilas sembari ia menghela napas ia pun kembali ke posisi semula.
"Cepat katakan dan kalian berdua jangan pesan yang banyak-banyak Ibu tidak memiliki cukup uang membayarnya," ujar Adira sambil mengusap wajahnya dengan gusar. Bilal dan Bella seketika membuat mereka berdua tampak murung.
Andrew yang melihatnya pun tidak tinggal diam, ia mengusap kepala mereka berdua sembari mengulum senyum. "Pesan saja biar Ayah yang membayarnya," ucap Andrew yang membuat mereka berdua mendongakkan kepala dengan wajah berseri-seri.
"Iyakah, Ayah?" tanya mereka berdua penuh antusias dan Andrew menganggukkan kepalanya. Tampak mereka berdua dengan riang dan penuh semangat memesan makanan dan minuman kesukaan mereka.
"Kamu kenapa bersikap seperti itu? Mereka nanti menjadi manja," omel Adira sambil melipat kedua tangannya di depan dada menatap Andrew dengan tatapan tajamnya.
Andrew menanggapi Adira dengan santai, tetapi ada sedikit berbeda dari pria tersebut. Adira sangat kenal sosok dan aura ini sangat mirip dengan Fedrick. Akan tetapi, perbedaan di antara mereka cuma satu dan itu sangat jelas. Adira meyakini Andrew lebih berbahaya dan manipulatif dari Fedrick.
Adira merasa napasnya tercekat, ia juga menelan salivannya dengan susah payah, dan dengan cepat ia memalingkan wajahnya dari Andrew.
"Mereka pasti bersaudara, aku yakin sekali. Dari awal aku bertemu dengan Fedrick sudah sangat aneh karena anak itu memperlakukanku sangat baik dan hati-hati padahal aku tidak kenal dekat dengannya," pikir Adira dengan tubuhnya bergemetaran.
Andrew menghela napas lalu menatap Adira dengan malas sembari berdecak kesal. "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Jadi, berhenti memikirkannya karena Fedrick mendekatimu bukan karena aku melainkan karena kau merupakan salah satu bidaknya di dalam rencananya."
Adira mengangkat kepalanya menatap Andrew berusaha mencari kebohongan dari pria itu, tetapi tatapan Andrew yang dingin itu menjelaskan jika ia tidak berbohong.
"Kenapa kau seyakin itu adikmu merencanakan sesuatu?" Adira bertanya dengan nada suara bergetar.
Andrew menyeringai sembari tangannya menopang dagunya. "Dia dari dulu begitu apalagi setelah aku menolak menjadi penerus lalu melarikan diri yang menyisakan dirinya di rumah itu tentunya banyak hal yang mengerikan yang sudah ia lewati, tapi itu berhasil membentuk kepribadiannya menjadi seperti saat ini," jelas Andrew.
Adira merasa ada yang janggal dari cerita Andrew. "Lantas kenapa kau meninggalkan Fedrick? Bukannya membantunya kau malah meninggalkannya di tempat seperti itu."
"Kau harus tahu kalau kami bukan saudara yang lahir dari rahim yang sama lalu alasan aku pergi aku muak dengan ayahku yang mendesakku menjadi seperti apa yang ia inginkan bahkan ia membuat ibuku menjadi gila. Lalu, ibu Fedrick ternyata meninggal karena Argam Ransyah serta disiksa oleh ayah membuat Fedrick sekarang bukan saja merencanakan ingin membunuh Argam, tapi juga ingin membalaskan dendamnya kepada ayah," jelas Andrew panjang lebar yang membuat Adira hanya menutup mulutnya tidak percaya.
"Kau tidak ikut dalam rencana ini, kan?" tanya Adira terbata-bata. Sungguh ia ingin mendengar kata tidak di mulut pria itu. Ia sudah kelelahan menghadapi Fedrick jangan tambah dengan pria yang tengah duduk di hadapannya saat ini.
"Sejujurnya, tidak. Akan tetapi, karena dua orang itu dengan berani menganggu ketenanganku maka aku akan membantu adik kecilku," jawab Andrew yang membuat Adira terdiam seribu bahasa.
Ia tidak tahu harus berkata apalagi, harapannya pupus begitu saja, dan ia kesulitan mencerna dengan fakta yang sebenarnya terjadi.
"Ketahuilah aku tidak akan melibatkanmu di pertikaian di keluarga Rizston dan yang pasti Fedrick pun begitu. Anak itu tidak semenakutkan apa yang kau pikirkan asalkan kau tidak berbalik mengkhianati kami maka kamu aman beserta keluargamu," ungkap Andrew yang membuat Adira tersentak dan berusaha mencerna kata-kata Andrew.
"Asal aku tidak mengkhianati kalian? Kalian? Bukan Fedrick seorang? Bahkan aku akan aman beserta keluargaku? Pria ini sangat berbahaya," pikir Adira menatap Andrew dengan tatapan penuh ketakutan.
"Lupakan, aku tidak ingin membahas ini sebenarnya, tapi kau yang memulai padahal sebenarnya aku ingin menjelaskan kejadian dua belas tahun lalu," ucap Andrew sembari menghela napas dengan lelahnya.
"Ayah, kami sudah menuliskan pesanannya," ucap Bella sembari menyodorkan sebuah catatan kepada Andrew dan ia menerima sembari mengulum senyum ia membelai kepala Bella dengan lembut.
"Untung saja, Bella paham arti tatatapanku sepertinya dia berpikiran sama sepertiku sebab itu, dia duluan mendekati ayah supaya ayah dan ibu berhenti mengobrol. Omong-omong, jika apa yang dikatakan ayah ada benarnya maka ini masalah yang serius dan yang pasti ayah tidak akan membiarkanku ikut campur," pikir Bilal.
Andrew menatap Bilal dengan datar, tetapi tampaknya Bilal tidak menyadari dirinya tengah diperhatikan. "Bilal sungguh mirip denganku bahkan di umurnya ke dua belas tahun pun dia memiliki sifat dewasa, penuh hati-hati, dan teliti mengenal lawannya."
Setelah itu, mereka menghabiskan waktu bersama dengan hidangan makanan yang dipesan oleh kedua anak mereka walau memesan makanan saja butuh sejam karena Bella dan Bilal saling berebutan saat memilih.
"Kita lanjutkan sebentar obrolan kita, tapi di saat anak-anak tidak bersama kita," lirih Andrew yang membuat Adira menghela napas panjang.
***
Di lain sisi, tampak Yuli tengah memberikan para burung makan di taman. Gadis itu menyunggikan senyuman manis yang membuat sosok cowok yang tengah berjalan ke arahnya menyeringai.
"Senyum manis itu harus menjadi milik gue, jika gue tidak bisa mendapatkan senyumannya maka melihat air matanya saja pun itu sudah lebih dari cukup karena gue hanya ingin melihat tangisannya saat ayahnya mati di tanganku dan dia tidak berdaya serta hanya menangis memohon kepadaku, Yuli, cintaku, boneka kesayanganku kau akan menari bersamaku dan jatuh bersamaku ke dalam neraka."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN(TERBIT)
Teen FictionCerita diikutkan pensi volume 3 di teorikatapublishing selama 25 hari!! . . . RAVEN kisah romansa kampus cinta segitiga. Venala, cewek maba yang jatuh cinta pada seorang kating bernama Rafa, tetapi ternyata teman satu angkatan Venala bernama Taufik...