bab 23

34 12 41
                                    

Di sekolah, Bilal kerap kali melihat mobil van berwarna hitam selalu mengikuti mereka.

"Ini bukan pertama kali mobil itu di sini, sebenarnya siapa yang sedang mengawasi?" pikir Bilal sembari menyedokkan nasi gorengnya ke dalam mulutnya.

Bella yang melihat kakaknya, Bilal akhir-akhir ini tampak seperti mewaspadai sesuatu menerka-nerka apa yang kembarannya ini pikirkan.

"Kamu terpikirkan oleh mobil van yang akhir-akhir ini mengikuti kita?" tebak Bella yang membuat Bilal menatapnya sembari mengangkat satu alisnya.

"Aku selalu memikirkannya tentang ayah walau ibu tidak pernah membahasnya, tapi aku yakin dengan pasti bahwa ibu korban apalagi umur ibu terlalu muda untuk memiliki anak," jelas Bella sambil menyeruput es limunnya.

"Lebih baik kau tidak membahas hal ini lagi tentang keberadaan ayah itu bukan urusan kita karena bagi orang dewasa kita hanyalah anak-anak berumur dua belas tahun," ucap Bilal sambil menghela napas dengan lelah.

"Tapi, sepertinya Kakak mirip ayah deh soalnya orang-orang banyak yang mengatakan aku mirip ibu," kata Bella merasa puas. Bilal menatapnya malas sambil memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Mirip dari mananya kau malah lebih mirip mbak kunti karena rambut panjangmu itu," ledek Bilal yang membuat Bella menatapnya tajam sambil mengebrak meja.

"Kau-" rahang Bella mengeras dengan sorot matanya yang menatap Bilal seolah tatapan predator saat berburu mangsa. Sedangkan, Bilal tampak santai tengah menikmati nasi gorengnya dengan penuh nikmat.

Seorang anak seumuran merek datang menghampirinya, anak itu tampak ketakutan. Bella yang melihatnya pun merasa prihatin lalu bertanya dengan pelan apa yang ia inginkan.

"Anu, kalian berdua di panggil ke ruang guru katanya ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian," ucap anak itu dengan gagap.

"Baiklah, kami akan ke sana setelah menghabiskan makanan kami," ujar Bella lalu anak itu mengangguk dan pamit untuk pergi.

"Kita harus cepat menghabiskan makanan ini karena firasatku orang yang datang ingin menemui kita bukan orang biasa," ujar Bilal dan Bella menyetujui hal tersebut.

***

Di ruang guru tampak seorang pria yang memakai pakaian formal tengah duduk di sofa sembari memainkan ponselnya bersamaan dengan itu, pintu terbuka menampakkan seorang wanita muda tengah menatap kesal pria itu.

"Adira," panggil pria itu sembari mengulum senyum pada wanita itu.

Pria tersebut hendak menggengam tangan Adira, tetapi wanita itu langsung menepisnya dengan kasar. Sorot matanya penuh kebencian terhadap pria tersebut.

"Gara-gara kamu aku kehilangan masa depanku! Iya, aku memang salah karena mendatangi tempat haram itu! Tapi, kamu dengan teganya meninggalkan aku sendirian di sana! Bahkan aku harus membesarkan anakku sendirian! Dan sekarang kau dengan tidak tahu malunya datang ingin mengambil mereka!" teriak Adira yang membuat ruangan tersebut menggema.

Para guru yang berada di sana tidak berani melerai mereka. Pria itu merasa adanya kejanggalan.

"Bukankah aku yang ditinggalkan olehnya." Ini sangat membingungkannya, ia tidak mengerti dengan situasi yang sebenarnya dan yang mana benar dan yang mana salah.

"Kamu salah paham, bukankah kau yang pergi meninggalkanku ketika aku pergi ke kamar mandi." Pria itu berusaha menjelaskannya kepada Adira. Namun, Adira yang sudah tersulut emosi pun melayangkan tangannya yang menghasilkan suara yang nyaring dan membuat wajah pria itu berpaling dengan pipi yang memerah bersaman dengan pintu terbuka lebar menampakkan kedua anak kembar dengan wajah polos terlonjak kaget.

"Ibu," panggil Bella dengan nada suara yang bergetar, ia melangkah mendekati mereka berdua.

Adira tersentak begitu Bella memegang ujung bajunya dengan tangannya bergetar.

"Kenapa, Nak?" Adira berjongkok sambil memegang kedua pundak putrinya seraya menatapnya dengan tatapan sendu.

"Kenapa Ibu menamparnya? Apa dia melakukan kesalahan? Bukankah Ibu selalu mengajarkan kepada kami untuk mendengarkan alasan seseorang jika ia melakukan kesalahan?" tanya Bella dengan bulir-bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya.

Adira menundukkan kepala merutuki dirinya karena telah mengecewakan anak-anaknya. Kata maaf terlontar dari mulutnya sembari mendekap tubuh Bella dengan erat Adira berucap kata maaf berulang kali dengan nada suara yang rendah dan ketir.

Bilal menatap pria itu penuh selidik. Bohong jika dia tidak terkejut melihat perawakan pria tersebut yang persis dirinya. Sekali melihatnya Bilal sudah bisa menebak alasan kenapa ibunya bertengkar dengannya.

Ia melangkahkan kakinya mendekati pria tersebut. Sorot matanya yang dalam itu menatap pria tersebut seraya ia mengangkat satu jarinya lalu menunjuk pria itu.

"Kau Ayahku, kan?"

Semua orang di ruangan itu, tidak terkecuali pria tersebut juga tersentak. Ia mengulum senyum sembari bertekuk lutut di depan Bilal. Tangan pria itu membelai dengan lembut kepala Bilal sambil mengutarakan isi hatinya.

"Benar, aku adalah Ayahmu." Pria itu menundukkan kepala sembari menggengam erat ujung bajunya. Kesal? Iya, dia merasa kesal karena sudah dua belas tahun berlalu baru kali ini ia bisa melihat anaknya tanpa melihat pertumbuhannya.

"Ibu, mari kita dengarkan ceritanya baru kita putuskan akan memaafkannya atau tidak," usul Bilal yang membuat Adira menghela napas dengan lelahnya. Ia pun mengangguk setuju. Mereka pamit undur diri serta meminta maaf karena sudah membuat keributan.

"Tidak apa-apa, Bu," ucap salah satu guru yang tampaknya tidak mempermasalahkannya. Adira sekali lagi meminta maaf lalu mereka pergi meninggalkan sekolah setelah mendapat izin untuk pulang lebih awal.

***

Saat ini, mereka duduk di salah satu kafe dekat sekolah Bilal dan Bella. Tampak mereka sangat canggung, kecuali kedua bocah kembar itu tampak bersemangat saat mencari menu makanan.

"Aku mau ini," ucap Bella sambil menunjuk gambar di menu. Bilal yang tidak ingin kalah pun memesan menu makanan secara brutal lalu Bella tidak tinggal diam malah semakin menjadi-jadi. Mereka berdua tiba-tiba ricuh perkara memesan makanan.

Adira tersentak lalu memarahi mereka berdua karena keributan mereka mengundang pusat perhatian orang-orang kepada mereka. Pria itu terkekeh pelan sambil mengelus kepala Bella dengan lembut.

"Kamu jangan manjakan mereka nanti kebiasaan," larang Adira menatap pria itu dengan tatapan tajam. Sontak pria itu hanya tertawa sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Adira menghela napas sembari memijit kepalanya yang pusing menghadapi tiga bocah.

"Ayah, nama Ayah siapa?" tanya Bella penuh antusias. Adira tersentak saat mendengar penuturan Bella, ia sama sekali belum mengetahui namanya hanya mengingat wajahnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan yang sama dengan Bella, sedangkan Bilal memasang wajah datar, tetapi di dalam hatinya ia sama saja dengan kedua insan tersebut.

"Jika itu anak-anak wajar mereka tidak tahu, tapi kamu, Adira bisa-bisanya tidak tahu," ujar pria itu sembari menghela napas dengan gusar.

Adira dengan cepat menggelengkan kepalan dengan polosnya. Pria itu menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal dan berulang kali menghela napas untuk menghilangkan perasaan gugupnya.

"Namaku adalah Andrew Rizston."

RAVEN(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang