bab 21

26 6 6
                                    

Kemarin flashback, ya. Hari ini kita kembali ke timeline seharusnya.

Selamat membaca...

Taufik sudah lama mondar-mandir di depan kelas Rival. Tentunya hal itu, membuat para senior menatapnya aneh dengan segala bisikan-bisikan tentangnya.

"Dia ngapain mondar-mandir di sana?"

"Gak ada kerjaan banget."

"Kayaknya dia punya keperluan dengan anak kelas itu, tapi enggak berani masuk."

Begitulah kira-kira bisikan-bisikan mereka. Sedangkan, Rival yang berada di dalam kelas merasa risih langsung berjalan keluar kelas melabrak mereka.

"Heh! Mulutnya gak ada sopan santunnya!" hardik Rival menatap garang mereka. Sontak para mahasiswi dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat tersebut.

"Makasih, Kak," ucap Taufik sambil membungkukkan badannya. Rival menghadap Taufik sembari menggaruk bagian belakang lehernya yang tidak gatal.

"Jadi, apa yang membawa lo datang langsung pada gue?" tanya Rival yang membuat Taufik mendongakkan kepalanya menatap lurus Rival.

"Gue ingin menjawab pernyataan Kakak tiga hari lalu," jawab Taufik penuh keyakinan.

"Lu udah yakin dengan jawaban lo? Takutnya lo malah menyesal apalagi ini baru lewat tiga hari setelah gue mengajak lo." Rival menjeda kalimatnya sembari menghela napas dengan gusar lalu sesaat melirik Taufik sekilas. Ia melihat Taufik mengangguk pasti yang membuatnya menggelengkan kepala. "Lo seyakin itu. Gue tanya sekali lagi, lu gak bakalan nyesal? Ini bukan permainan anak-anak," lanjut Rival penuh penekanan setiap kalimatnya.

Taufik lagi-lagi mengangguk dengan penuh keyakinan, sorot matanya tidak berbohong, dia benar-benar serius untuk hal ini.

"Lu masih punya tersisa empat hari untuk memikirkannya," ujar Rival yang membuat Taufik tersenyum sinis.

"Kakak ingin menguji gue, kan? Makanya Kak Rival bertanya-tanya seperti itu untuk membuat gue gagal fokus dan menjadi bimbang, kan?" terka Taufik.

Rival membulatkan matanya sambil menyunggikan senyuman tatkala ia tertawa cukup keras yang membuat semua mata tertuju kepada mereka berdua.

"Ternyata lo sadar, ya? Gue enggak nyangka lu menyadarinya. Jika itu orang lain mereka akan terjebak dengan dilema yang akan membuat mereka akhirnya depresi," ungkap Rival dengan senyum terukir di wajahnya. Ia masih saja tertawa sambil memengang perutnya, saking kerasnya ia tertawa air mata pun menetes membuat matanya perih.

"Kak, bagaimana kalau kita pindah tempat saja? Gue mulai gak merasa nyaman di sini," usul Taufik sambil memalingkan wajahnya dengan rona merah di pipinya. Sadar akan hal itu, Rival menghentikan tawanya lalu menarik tangan Taufik pergi ke suatu tempat meninggalkan area kelas.

"Kita mau ke mana, Kak?" tanya Taufik berusaha untuk tidak jatuh karena tarikan Rival cukup kuat bahkan ia sedari tadi terus-menerus kepalanya kepentok tiang di sepanjang koridor. Walaupun begitu, Rival mengacuhkannya dan terus membawa Taufik yang entah ke mana tujuannya.

"Apa gue sudah mengambil keputusan dengan benar kali ini."

***

Venala sudah kembali masuk ke kampus setelah absen selama satu minggu. Tentu saja, ketidakhadirannya membuat dia saat ini harus mengerjakan tugas-tugas dan materi-materi yang sudah ia lewatkan selama seminggu.

"Aku menyesal telah menggalau selama seminggu sampai aku harus mengerjakan ini semua. Dasar pak botak, dia yang lebih banyak memberikan aku tugas ketimbang dosen lain," gerutu Venala sambil menghela napas dengan lelahnya ia menjadikan lengannya sebagai bantal  untuk tidur.

RAVEN(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang