𝟐𝟎. 𝐁𝐚𝐝𝐦𝐨𝐮𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠

1.2K 59 21
                                    

_

■■■

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

■■■

"Selamat pagi, Ma." Anne menghampiri sang ibu yang sedang sibuk menyajikan makanan di atas meja. "Butuh bantuan?" tanyanya dengan semangat di pagi hari yang menggebu-gebu.

Selly mendongak, lalu tersenyum ketus, dari sorot matanya terpancar rasa tidak senang dengan kehadiran Anne. "Tidak perlu."

Anne perlahan menganggukkan kepalanya, ia mendadak murung atas perlakuan ibunya, lalu melangkah ke arah kulkas, di mana ia hanya ingin melihat isi dari lemari pendingin itu, dan utamanya karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Meskipun kini Anne berada di tempat tinggal kedua orang tuanya, ia merasa tempat yang dipijaknya saat ini terasa sangat asing baginya.

"Minggir."

Tubuh Anne terhuyung saat seseorang seusianya yang tak lain adalah Cindy, mendorongnya ketika ia baru saja berdiri di depan lemari pendingin itu.

Anne yang tidak ingin terjadi keributan, ia memilih diam, sedangkan setelah Cindy mengambil sesuatu dari dalam lemari pendingin itu, dia duduk di kursi dengan pandangan yang lekat menatap sinis padanya.

Kemudian ibu dan anak itu berbincang, dari percakapan ibunya itu memberi banyak nasehat kepada anak kandungnya, dan dengan hanya melihat itu saja Anne merasa ikut senang, disertai hatinya yang menghangat.

Tanpa sadar Anne pun berlarut dalam imajinasinya, kalau ia yang ada di posisi Cindy yang diberi perhatian sebaik itu oleh sang ibu, meskipun nyatanya mereka mengabaikannya, seakan dirinya tidak terlihat.

Anne menghembuskan napasnya secara perlahan, ia benar-benar tak habis pikir dengan ibu dan anak itu yang membencinya tanpa alasan, padahal sejak dari kecil pun ia tidak pernah berulah, tetapi mereka membencinya sampai sekarang.

"Ah ya, benar."

"Baik, nanti kita bertemu, sampai jumpa."

Anne mendapati sang ayah sedang berjalan ke arah mereka sambil menelepon, lalu mematikan ponselnya dan menghampirinya lebih dulu. "Tidur kamu nyenyak?"

Wajah Anne yang sebelumnya murung, detik itu juga berubah menjadi cerah, dan ia mengangguk sebagai jawaban.

"Ayo makan." Daniel mengajak putri yang dirawatnya sejak bayi itu untuk duduk di kursi karena anaknya itu malah diam berdiri di depan lemari pendingin.

Anne tak banyak berbicara, ia hanya mengangguk dan tersenyum, tetapi hatinya dongkol saat melihat wajah Cindy dan sang ibu yang menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, yang membuatnya ingin segera beranjak pergi, tetapi di sisi lain, ia pun ingin lebih lama berkumpul bersama keluarganya seperti ini.

Selama sarapan pagi, keluarga yang sudah lama tidak berkumpul itu berbincang mengenai banyak hal dengan riang, dan di antara mereka Cindy lah yang paling banyak berbicara.

Namun, suasana mendadak hening saat Cindy bertanya suatu hal di luar pembicaraan secara tiba-tiba.

"Anne, bagaimana kuliahmu? Kampusmu kan biasa saja, kau juga tidak pintar, kalau waktunya mencari pekerjaan nanti, aku yakin kau pasti kesulitan, dan akan menjadi pengangguran abadi." Cindy berucap dengan nada bicara mengejek, disusul gelak tawa yang keras.

"Cindy." Sang ayah menegur. "Ayah tidak mendidik kamu seperti itu. Jangan memancing pertengkaran, jangan lupa dia saudaramu, bukan temanmu, apalagi orang asing." ucapnya tegas.

"Daniel... Cindy 'kan hanya bertanya. Lagi pula, dia tidak ada salahnya bertanya itu." Sang ibu membela anaknya, berucap dengan nada bicara rendah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dalam segala hal kampusku semakin membaik seiring berjalannya waktu, akhir-akhir ini aku juga banyak mengikuti kegiatan positif di kampus ataupun di luar kampus. Oh ya, aku juga lolos tes di tempat kerja paruh waktu yang bersaing dengan banyak orang." Anne menjelaskan dengan tenang.

"Ppfft." Cindy tampak menahan tawanya, makanan yang masih di dalam mulutnya pun hampir meledak keluar. "Wow, selamat ya, tetapi pencapaianmu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pencapaianku—"

"Cindy!" Sang ayah kembali menegur dengan lebih tegas, dan ia heran dengan kedua anaknya ini yang selalu saja bertengkar jika bertemu.

"Aku hanya bercanda, ayah." Cindy mendengus, lalu bangkit dari duduknya.

"Kamu akan kemana? Habiskan dulu makanannya." Sang ibu bertanya.

"Ke kamar." Cindy menjawab dengan ketus lalu melangkah pergi.

"Daniel, Cindy 'kan jadi pergi, dia belum menghabiskan makanannya."  Selly menatap marah pada suaminya.

"Dia bukan anak kecil lagi, biarkan dia berpikir kesalahannya."

Selly bangkit dari duduknya dengan menatap kecewa pada sang suami, dan menatap marah pada anak tirinya, lalu melangkah pergi.

Anne yang merasa pertengkaran terjadi karena kehadirannya, matanya mulai berkaca-kaca, pikirannya berkecamuk, kedua telinganya pun terasa tidak nyaman, seakan ada orang yang berbisik di sana, menyudutkannya atas pertengkaran yang terjadi.

Anne bangkit dari duduknya, dan mendekat pada sang ayah. "Ayah... aku izin pamit, hari ini aku tidak bisa ikut pergi liburan karena mendadak ada tugas kelompok yang harus diselesaikan hari ini juga."

Daniel yang baru saja membuka kacamatanya dan memijit pelipisnya, ia menghela napas berat, lalu bangkit dari duduknya. "Hati-hati di jalan, jangan dimasukan ke hati ucapan Cindy tadi, maaf ayah masih gagal membentuk keluarga yang damai, maaf lagi-lagi kamu juga yang harus mengalah pergi."

Anne tak dapat menahan air matanya lagi, ia menangis bersamaan dengan muncul sesak di dadanya karena walaupun telah berderai air mata, ia masih berusaha menahan tangisannya dengan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Sang ayah lantas memeluk putrinya dan terus berkata maaf.

"Aku baik-baik saja, ayah." Anne melepas pelukan sang ayah dan menyeka air matanya, perlahan kedua sudut bibirnya pun sedikit tertarik, membentuk sebuah senyuman tipis.

"Aku yakin mereka pasti akan berubah, mereka pasti nanti menerimaku sebagai keluarga juga." Anne berucap dengan penuh harap.

Daniel mengangguk dengan mata berkaca-kaca, lalu segera merogoh saku celananya saat mendengar panggilan masuk pada ponselnya. "Anne, ada klien yang telepon, ayah akan mengangkat teleponnya dulu."

"Iya, aku juga mau bersiap-siap pulang." Kemudian Anne pergi ke kamarnya setelah sang ayah berkata agar ia tidak pulang sendiri, tetapi akan diantarkan.

Sementara itu, Daniel pergi ke arah lain sambil memulai pembicaraan di telepon. "Halo, Mr. Matteo."

Anne hanya dapat mendengar jelas sapaan yang dimulai Ayahnya di telepon, dan selagi melangkah menuju kamar yang ditempatinya tadi malam, ia pun menatap sekelilingnya dengan tatapan nanar dan langkahnya yang rapuh.

Kini ada satu hal yang dapat Anne tangkap, tempat tinggal ini memang tidak sesepi di apartemennya, tetapi untuk ketenangan, apartemennya masih menjadi tempat singgah yang terbaik untuknya.

TBC

Peluk Anne dari jauhhhh 😭

Jangan lupa follow akun aku
🦋qinazxaa🦋, makasih!



(²) 𝐙𝐈𝐎𝐍𝐍𝐄 || 𝐓𝐨 𝐁𝐞 𝐅𝐨𝐫𝐞𝐯𝐞𝐫 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang