48

678 44 0
                                    

Rei kini berada di ruang kerja Yogi. Semua berjalan dengan lancar, keduanya sama sama senang. Sepertinya yang tak terlalu suka dengan kelancaran pemotretan ini hanya Deff saja. tadi wajahnya terlihat masam saat berjalan keluar dari dalam ruangan.

Rei duduk bersama Yogi di sofa, ada beberapa makanan yang berada di atas meja. Keduanya menikmati makan siang berdua. Yogi tentu saja sangat senang karena ia bisa menghabiskan waktu bersama dengan Rei.

"Aku makasih banget Mas, kalau bukan karena kamu-- aku enggak yakin bisa ngelakuin pemotretan dengan baik tadi," kata Rei.

Yogi tersenyum, dalam hati merasa tersanjung dengan apa yang dikatakan oleh Rei. "Sama- sama sayang. Aku juga seneng karena kamu semua juga lancar. Kamu sakit gini harus tetap ikut pemotretan, supaya launching aku engak mundur."

rei anggukan kepala. Hari ini ia bisa merasakan kalau begitu nyaman bersama Yogi. Orang yang bisa memahami dan mengerti tentang dirinya. Yogi juga perhatian bukan hanya memberikan perhatian untuknya, tapi juga untuk Bebe. Hal itu yang membuat hati semakin terbuka untuk Yogi.

"Sama- sama Mas."

"Aku seneng banget lihat Deff kesel tadi. Kamu liat kan? dia keluar ruangan manyun. Jujur aku marah banget waktu dia bentak- bentak kamu. Aku berusaha tahan rasa kesel aku, karena aku mikir dia yang lebih tau masalah pemotretan. Aku berusaha menghargai dia sebagai leader di sana. tapi liha--" Yogi menghentikan ucapannya saat Rei menyentuh bibir pria itu dengan jari telunjuknya.

"Aku enggak mau bahas dia Mas," kata rei yang sejujurnya juga merasa muak dengan apa yang dilakukan oleh sang mantan suami tadi.

Yogi merasa lega saat mendengar itu, ia berasumsi kalau Rei tak lagi memiliki perasaan apapun paa Deff. Karena ia juga mengerti kalau perempuan biasanya akan sulit melupakan pria yang ia sayangi.

"Kalau bahas kita?"

Rei menatap sejenak, kemudian bertanya. "Mas mau bahas apa?"

"Apa kamu udah bisa menerima aku? Aku penasaran gimana perasaan kamu ke aku?" Bagaimanapun Yogi juga menginginkan kepastian dari Rei tentang hubungan mereka.

Wanita itu terdiam tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Yogi. "Mas jujur, aku sudah nyaman sama kamu. Kamu percaya?"

"Aku percaya sama kamu." Yogi percaya karena ia juga tak ingin terlalu memaksa rei. Ia hanya ingin mengetahui perasaan Rei saat ini. Yogi sadar tak semua orang memiliki waktu yang berbeda dalam menyaynagi seseorang.

Keduanya kemudia saling tatap, suasana di dalam ruangan mendadak canggung dan hening. Deru napas mereka beradu dengan detik pada jam dinding. Sesekali Rei tahan napas, ia takut Yogi bisa merasa debaran jantungnya.

Wajah Yogi perlahan mendekat, Rei seolah mengijinkan dan memejamkan matanya. Perlahan hingga kedua bibir mereka saling bertemu. Yogi membiarkan kecupan itu berlangsung, sebelum akhirnya ia coba gigiti bibir bawah Rei tanpa perlawanan.

Keduanya larut daam kecupan, dan lumatan yang perlahan menghangat. Jantung keduanya berdebar dalam rasa yang bersahutan. Kecupan mereka sesekali menjadi lenguhan, saat pria itu sengaja meraba, menyentuh dan mengusap sebisanya.

"Oh."

Bibir pria itu berpindah memberi jejak jejak kepemilikan. Gila katakan saja demikian, tapi Yogi menikmati ini. Menikmati saat ia bisa menjalari, menyantap wanita itu menjadi hidangan penutup. Apalagi saat ia hirup aroma tubuh yang memikat seolah buat ia gila sendiri.

Yogi tak tahan ia ingat sesuatu, perlahan ia semakin turun, ia ingin menikmati sesuatu yang kala itu menghapus dahaganya. Turun dan turun lagi, Rei juga tak melarang karena hasratnya juga sudah tak bisa di redam.

"Oh Mas," lenguhan Rei ketika ia merasakan Yogi yang tengah kehausan di tubuhnya.

Yogi kegirangan, ia suka sekali merasakan manis yang menghapus dahaganya. Keinginan kedua, bukan lagi mimpi yang lebih gila, Yogi melakukan dengan sadar. Hal itu yang membuat ia semakin senang. Kesenangan yang belum berakhir sampai ....

Tok tok tok!

Yogi dan rei gelagapan, Yogi tau tak akan mudak untuk Rei mengancingkan kembali pakaiannya. Ia kemudian bangkit, melompati meja sofa, sayangnya kakinya sedikit tersangkut, beruntung ia masih bisa berdiri. Meski rasanya sakit sekali saat kayu jati itu terhantam tulang keringnya. Yogi kini berada di balik pintu dan menguncinya.

"Siapa?"

"Pak Yogi, ini saya Jimmy." Suara Jimmy yang menyahut dengan sopan dari depan pintu.

Yogi masih berdiri di balik pintu sambil memerhatikan Rei yang masih sibuk merapikan pakaian dan rambutnya. Yogi dalam hati kesal setengah mati, padahal ia seharusnya bisa melakukan hal yang lebih dari tadi. Kini bukan hanya kegiatan mengasyikkan yang berakhir, tapi kakinya juga merasakan sakit yang luar biasa.

"Tunggu," sahut Yogi dari dalam.

Rei anggukan kepala saat ia telah selesai, Yogi membukakan kunci, kemudian kembali berjalan ke sofa diikuti tatapan bingung dari Rei.

"Kamu enggak bukain pintunya Mas?" tanya Rei.

Yogi dengan malas anggukan kepala sebagai bentuk kekesalan yang ia rasakan. "Masuk!" Seru Yogi.

Pintu terbuka menunjukkan sosok Jimmy yang berjalan dengan cuek membawa sebuah map. Kemudian duduk di sofa. Ia lalu menatap pada Yogi dan Rei yang masih berusaha merapikan diri. Ia tahu ada yang terjadi sebelum ia datang.

"Ganggu aja ya Bapak Jimmy ini." Yogi kesal, dan Rei menepuk paha Yogi ia takut Jimmy mengetahui apa yang terjadi diantara mereka.

Kedua alis Jimmy tertaut ada yang terjadi diantara kedua orang di hadapannya dan ia tak mengetahui apa itu. Jimmy mencoba membaca situasi. Ia melihat. Lipstik di bibir Rei yang sedikit berantakan, ada noda lipstik di bibir Yogi. Sedikit sekali, tapi Jimmy bisa melihat itu.

Jimmy berdeham. "Ekhm! Sepertinya, bapak Yogi ini harus membuat formulasi lipstik yang tahan gesek, meski hujan dan badai," kata Jimmy sambil memberikan map pada Yogi untuk ditandatangani.

Yogi menerima, ia masih belum mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Jimmy. Jimmy menunjuk bibirnya sendiri, berusaha memberitahu Yogi. Yogi tak mengerti, Rei menatap pada Yogi dan ia bisa melihat sisa lipstik yang ia gunakan. Refleks, Rei menghapus jejak bibirnya pada bibir Yogi.

Yogi telan Saliva, "Ya kapan-kapan saya buat lipstik tahan hujan dan badai. Ekhm." Yogi katakan itu dengan rasa malu setengah mati. Membuat wajahnya memerah, ia bahkan tak menatap Jimmy saat mengatakan itu.

Jimmy tertawa terbahak. Jujur ini pertama kalinya menangkap basah Yogi yang sedang berpacaran. Apalagi keduanya terlihat jelas tengah melakukan sesuatu saat ia datang tadi.

"Harus ketawa gitu ya?" tanya Yogi sambil melempar pena ke arah Jimmy.

"Maaf, maaf, besok kalau lagi berdua jangan lupa kabarin dulu. Jadi gue enggak ke sini." Jimmy merapikan dokumen yang sudah ditandatangani. Ia kemudian berdiri, berniat meninggalkan ruangan. "Silahkan dilanjutkan."

"Sialan!"

"Hahahaha!" Jimmy berjalan keluar ruangan.

***

Sudah tamat di karyakarsa ya Kaka. Yang mau baca lebih cepat..

one night stand with janda Gendut Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang