Dua Puluh Empat

97 7 1
                                    

Halo! Please jangan timpuk gue wkwk. Berasa bangkit dari kubur setelah 2 tahun ga update. Anw I miss you guys! Jujur lanjutin cerita ini penuh perjuangan karena ini inspired from true story, jadi tidak mudah. Hopefully di sini masih ada teman-teman yang setia menunggu updateku ya :)

***

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, baik Venna dan Edbert larut dalam kesibukan masing-masing. Meskipun semua orang di sekitarnya pun sadar kalau mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Dek, kamu udah berusaha kontak Venna lagi?" tanya Evelin sambil membawa masuk secangkir kopi.

"Ngga kak. Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi kalau Venna masih ga percaya, toh aku bisa apa."

"Ed, kamu percaya kesempatan kedua kan?"

"Iya kenapa kak?"

"Tuhan lagi kasih kesempatan kedua lo ini buat kamu, untuk memperbaiki segalanya. Masa kamu mau menyerah gini aja?"

"Kalau memang jodoh ga lari kemana kak. Ini udah dua kali dan kalau endingnya memang ga sama Venna ya udah. Siapa tahu masih ada kesempatan lainnya."

"Bisa jadi ada kesempatan, tapi itu ga datengnya buat kamu. Saran kakak sih, you gotta fight for her."

"Wah ada apa nih kayaknya kok pada serius amat?" tanya Ino yang mengintip dari bilik pintu.

"Ga ada apa-apa no."

"Eh ed, temenin dong ke mall. Lagi mau beli baju nih." sahut Ino

"Katanya kamu mau pergi sama temenmu?"

"Iya, sepertinya sih dia nyusul. Makanya temenin dulu yuk." sahut Ino sambil merengkuh lengan Edbert.

"Ya udah bentar ganti baju dulu."

"Oke! Eh btw nanti kalau di depan temanku, plis jangan buka aib ya."

"Temenmu cewek?"

"Yoi."

"Yang biasa kamu telpon itu?"

"Yap. Cuma temen kantor kok. At least for now." sahut Ino sambil tersenyum.

***

Edbert pun menemani Ino belanja dari toko ke toko, emang dasar si gemini, bisa-bisanya impulsif belanja kayaknya hampir semua toko sudah diborong isinya sama Ino.

"No, kamu ga capek apa udah muterin segini banyaknya toko?" tanya Edbert sambil kewalahan memegang kantong belanja Ino.

"Terakhir deh Ed toko ini terakhir yahhhh.." ucap Ino dengan muka memelas.

"Teman kamu ga jadi datang?"

"Eh itu dia!" sahut Ino sambil melambaikan tangan ke arah seorang wanita.

VENNA????

EDBERT??

***

"Ya ampun!! Dunia sempit banget sih! Ga nyangka kalau kalian dulu temenan waktu sekolah." sahut Kenzo atau yang biasa dipanggil Ino sambil menyeruput minuman teh kesukaannya.

Edbert dan Venna hanya bisa berpandang-pandangan tanpa mengucap satu kata apapun.

"Jadi gimana kabarmu Ed?" sahut Venna berusaha memecah keheningan.

"Baik.. Kamu gimana?"

"Baik juga.."

Bisa ga sih aku pulang aja mendingan kalau seperti ini daripada harus pandang-pandangan dengan Edbert.

"Eh bentar guys, aku pergi ke toilet sebentar ya." sahut Ino.

Ketika Ino pergi, suasana Edbert dan Venna semakin hening dan mereka hanya fokus menatap ke arah bawah.

"Aku ga tahu kalau Ino itu kolegamu." sahut Edbert.

"Aku juga kaget kalau dia sepupumu."

"Dunia ini sempit ya." sahut Edbert.

"Ed, hubungan kita apa sih sebenarnya?" tanya Venna sambil menengadahkan kepala dan menatap Edbert.

"Sebenarnya banyak hal yang mengganjal, tapi aku menunggu kamu buat memulai pembicaraan Ed, tapi nampaknya semua itu sia-sia."

"Ven.. Kamu sadar ga kalau asumsi pikiranmu sendiri yang sebenarnya membuat kita menjauh."

"Maksudnya?"

"Kamu berasumsi aku dekat dengan Seraphine karena aky menyukai dia. Kamu berasumsi sendiri dan kemudian kamu marah sendiri." ujar Edbert.

"Aku bingung Ven. Aku sudah berusaha menjelaskan ke kamu, tapi kamu malah menyimpulkan pikiranmu sendiri. Terus aku harus bagaimana?"

"Aku ga mungkin ada pikiran jelek kalau kamu ga mulai duluan Ed."

"Sekarang kamu maunya gimana? Kamu ingin aku menjauh sama Seraphine?"

"Terserah." jawab Venna.

"Kan. Ini masalahnya. Kamu ga pernah coba untuk mengkomunikasikannya Ven dan langsung menyimpulkan sesuai pikiranmu sendiri." sahut Edbert.

"Jadi ini semua salahku Ed? Salahku kalau kamu selama ini jadi pengecut yang tidak mau mengakui perasaanmu?"

Edbert pun terdiam mendengar perkataan Venna yang secara tidak langsung menusuk hatinya.

"Sorry I should not have said that." sahut Venna sambil berusaha pergi dari hadapan Edbert.

"Ven, kita belum selesai." sahut Edbert sambil memegang tangan Venna.

Edbert pun meraih telepon mencoba menghubungi Ino mengatakan bahwa dia ada urusan dan juga mengatakan bahwa Venna ada urusan sehingga dia pulang duluan. Edbert menggandeng tangan Venna dan menuju ke arah parkiran mobil.

***

One Moment in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang