Dua Puluh Tujuh

121 12 0
                                    

Venna dan Edbert menikmati makan malamnya layaknya pasangan kasmaran yang tidak mau berpisah. Mereka membahas kehidupan masing-masing termasuk rencana masa depan mereka.

"Ven, mungkin setelah ini mau ujian ambil dokter spesialis." sahut Edbert.

"Oh ya? Mau ambil spesialis apa?"

"Rencana mau ambil spesialis kandungan."

"Bukannya dulu kamu mau jadi spesialis anak ya? Kok tiba-tiba sekarang berubah haluan."

"Iya, aku merasa kalau wanita itu luar biasa sih Ven, apalagi pada proses melahirkan. Entah kenapa, aku merasa ingin jadi penolong buat para calon ibu." sahut Edbert.

"Eh tapi jangan mikir aneh dulu ya. Dulu mamaku itu susah mendapatkan aku, memang sudah berencana ingin anak kedua tapi takut kalau dapat cewek lagi. Singkat cerita, mamaku sempat berupaya cari dokter kandungan sana sini, program dll, supaya bisa dapat anak kedua."

"Untungnya sih dapetnya anak cowok ya." ujar Venna.

"Nampaknya Tuhan sayang sama mamaku, makanya dikasih aku." sahut Edbert tersenyum.

"Aku tahu banyak pasangan di luar sana yang membutuhkan dukungan dari para dokter kandungan. Terutama pasangan yang ingin punya anak, tapi karena satu dan lain hal membuat mereka belum mendapatkannya. Aku ingin jadi penolong buat mereka Ven." sahut Edbert.

"Tapi kamu tahu kan kalau resiko dokter kandungan selingkuh itu tinggi?" sahut Venna.

"Tapi aku kan ga mungkin selingkuh Ven."

"Kita ga ada yang tahu Ed. Lagian jadi dokter kandungan juga harus standby 24 jam kapanpun. Kamu juga bakal susah dapat hari libur, apa kamu sudah siap?"

"Ketika aku memutuskan jadi dokter, aku sudah siap dengan segala konsekuensinya Ven."

"Tapi keputusan waktu itu kan belum ada aku di dalamnya? Kalau ke depan kamu jadi dokter kandungan, bagaimana dengan aku?" sahut Venna.

"Aku harus berbagi pasanganku dengan pasien di luar sana. Kapanpun kamu dibutuhkan, kamu harus pergi. Aku takut Ed kalau aku ga sanggup."

"Ven, kita jalani satu-satu ya. Aku bahkan belum ujian masuk lho, kan belum tentu aku keterima." sahut Edbert.

"Tapi kan lebih baik kalau kita berpikir dulu di depan Ed."

"Iya, tapi aku mau kamu mendukung aku Ven. Aku akan semakin overthinking dan meragukan keputusanku kalau kamu ga setuju." sahut Edbert sambil menggenggam tangan Venna.

"Spesialis kandungan berapa lama kuliahnya?"

"Minimal 4 tahun. Tapi kadang bisa juga 5-7 tahun."

"Wow. Selama ini aku kira cuma 2 tahun."

"Tergantung jenis spesialisnya Ven. Memang untuk kandungan, pendidikannya lama."

"Kapan kamu rencana ambil ujian masuknya?"

"Bulan depan."

"Di Surabaya atau?"

"Aku rencana ambil di Surabaya, Bali atau Jakarta. Tergantung mana yang dapat Ven, soalnya kapasitas untuk spesialis ga banyak."

Venna hanya bisa terdiam dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun, karena di satu sisi dia ingin mendukung pasangannya. Namun di sisi lain, dia juga takut dengan segala kemungkinan di depan dengan Edbert.

"Kamu sakit kah Ven? Makanannya ga cocok?" tanya Edbert dengan nada khawatir.

"Oh nggak. Aku cuma lagi mikir Ed soal kita. Jujur aku butuh waktu mencerna semua ini. Kamu boleh kasih aku waktu?" tanya Venna.

"Aku tahu kamu akan merasa overwhelmed dengan semua ini, tapi percaya sama aku Ven. Apapun yang kamu rasakan, khawatirkan, tolong beritahu aku ya."

"Iya Ed."

***
Sesampainya di rumah setelah membersihkan diri, merapikan tas kerja, Venna pun berbaring di atas tempat tidur memikirkan segala sesuatu di masa depan. Venna sadar kalau dia tidak mungkin menjadi orang egois yang menghalangi impian Edbert. Tapi Venna juga sadar bahwa dia masih cukup insecure atas semua kemungkinan di masa depan.

Apalagi kalau Edbert harus kuliah bukan di Surabaya, itu berarti hubungan mereka harus LDR. Venna takut dengan kesibukan Edbert maupun kesibukannya, mereka akan sering bertengkar.

Venna pun mengambil handphone di sampingnya dan menelpon Edbert.

"Halo ed."

"Ya ven? Kenapa? Kangen?" ledek Edbert.

"Aku beneran takut Ed.."

"Takut kenapa? Sini cerita dulu."

"Takut kalau hubungan kita ga akan berhasil seperti pasangan lainnya."

"Ven, hubungan ini kan yang menjalani adalah kita berdua. Butuh usaha dua orang supaya hubungan ini bisa berhasil. Aku yakin kok kita bisa, kamu jangan takut dulu ya."

"Aku tahu ini berlebihan sih Ed, aku tahu mungkin kamu ngerasa aku orangnya lebai karena hal ini aja aku pikirin terus."

"Ngga kok. Justru aku makasih kamu sudah mau cerita. Aku ga akan daftar ujian spesialis sampai kamu siap Ven."

"Loh jangan gitu. Aku ga mau jadi penghambat impianmu Ed."

"Impianku ga akan berarti apa-apa kalau impianku justru mendukakan hati kamu. Aku ga pengen kamu sedih Ven. Kalau malah hal ini buat kamu sedih, ya aku ga akan coba."

"Ed.. Duh jadi pengen nangis loh!"

"Sayang jangan nangis, apa aku ke rumahmu aja sekarang?" sahut Edbert dengan nada panik.

"Ga usah, nanti tambah nangis lagi. Aku cuma baru menyadari betapa beruntungnya Tuhan mempertemukan kita lagi Ed." sahut Venna sambil terisak.

"God is good. Kamu kalau masih nangis, aku datengin beneran lo ini."

"Jangan!! Aku ga mau kamu lihat mukaku yang sembab. Ya udah aku tutup dulu ya."

"Good night sayang." sahut Edbert sambil menutup telepon.

***

One Moment in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang