Sebelum ke rumah sakit, Venna singgah ke toko roti dan supermarket untuk membeli roti maupun buah untuk Sonya dan Erwin. Dia pun menyempatkan membeli mie kesukaan Sonya untuk makan siang. Enaknya Edbert dibelikan juga ga ya batin Venna.
Akhirnya Venna pun memutuskan membeli tiga bungkus mie di tempat favoritnya. Sesampainya di rumah sakit, dia pun naik ke lantai tiga tempat di mana Erwin diopname.
"Nya, gimana keadaan Erwin?" sahut Venna sambil menaruh makanan di atas meja.
"Katanya dokter mungkin agak sore udah mulai siuman. Ini dia masih ada obat biusnya soalnya." sahut Sonya.
"Oh gitu. Oh ya ini makan dulu, udah siang. Kamu udah jaga terus pasti belum sempat makan." sahut Venna sambil mulai mengeluarkan makanan satu persatu.
"Banyak banget Ven. Ga usah repot-repot kali." sahut Sonya.
"Ga ngerepotin sama sekali. Ini yuk makan dulu." sahut Venna sambil menyodorkan makanan ke Sonya.
"Kok ada lebihan Ven? Itu buat siapa?" tanya Sonya.
"Tadi Edbert ngajakin makan siang bareng."
"Oh.. Coba kamu telpon Edbert deh, biar bisa makan bareng di sini juga." sahut Sonya.
Venna pun mengambil handphone dan menghubungi Edbert.
"Halo.." sahut seorang wanita.
"Ini nomornya Edbert kan?" tanya Venna sambil memastikan nomor yang dihubunginya.
"Iya."
"Edbertnya di mana ya?" tanya Venna.
"Lagi dipanggil sama profesor Agung. Ah ini bu Venna ya, ada pesan mungkin?"
"Ini dengan siapa?"
"Seraphine."
"Oh. Ga ada pesan, nanti saya hubungi lagi aja. Terima kasih." sahut Venna sambil mengakhiri pembicaraan.
"Kenapa Ven? Edbert di mana?" tanya Sonya.
"Lagi sibuk. Tadi bukan Edbert yang ngangkat teleponnya."
"Lah terus siapa?"
"Dokter Seraphine."
"Oh dokter yang tadi itu. Aku pikir tadi dia model lho, bukan dokter. Cantik banget soalnya." sahut Sonya.
"Iya. Ya udah yuk kita makan aja." sahut Venna sambil berusaha menyembunyikan raut kekecewaannya.
"Ven.. Maaf, tadi maksudnya aku bukan memuji Seraphine. Lagian mereka ada hubungan apa sih, kok bisa-bisanya Seraphine yang lancang ngangkat teleponnya." sahut Sonya sambil memperhatikan raut wajah Venna.
"Ngapain minta maaf Nya. Santai aja kali. Emang Seraphine cantik kok dan ga salah memuji dia. Lagian kalau mereka ada hubungan apapun, juga ga ada hubungannya sama aku." sahut Venna sambil melanjutkan makan.
"Beneran tapi kamu ga kenapa-napa? Kamu ga bisa bohong lo Ven." sahut Sonya.
"Iya beneran. Oh ya habis ini aku balik ya, nanti kabari kalau Erwin udah siuman. Mungkin besok aku ke sini lagi." sahut Venna.
***
Edbert pun bergegas berlari menuju ke ruang dokter sambil terengah-engah.
"Kamu kelihatan handphone aku ga?" tanya Edbert ke Seraphine.
"Ini. Makanya jangan ditinggalin sembarangan." sahut Seraphine.
"Habisnya kan tadi juga buru-buru." sahut Edbert sambil melihat ke layar handphone.
"Shit! Eh kamar pak Erwin nomer berapa?" tanya Edbert.
"Di lantai 3, coba tanya suster Anna aja." sahut Seraphine.
Edbert pun bergegas bertanya nomor kamar ke suster Anna dan naik ke lantai tiga menggunakan tangga. Dia baru sadar kalau dia sudah mengingkari janjinya sendiri. Dia menyesal lupa memberitahu Venna waktu dipanggil masuk profesor Agung. Dia juga tidak menyangka bahwa konsultasi dengan profesor Agung akan memakan waktu lama.
"Hai Sonya." sahut Edbert memasuki kamar Erwin dengan nafas tidak beraturan.
"Habis marathon banget nih Ed?" tanya Sonya.
"Ya.. Gitu. Eh gimana keadaan Erwin?"
"Ya katanya sore ini mungkin udah sadar. Kenapa celingukan Ed? Nyari siapa?" tanya Sonya sambil memperhatikan gelagat Edbert yang aneh.
"Tadi Venna ke sini?"
"Iya, barusan balik 10 menit yang lalu. Oh ini makananmu nih." sahut Sonya sambil menyerahkan makanan Edbert.
"Makasih Nya."
"Ed.." sahut Sonya.
"Kalau kamu ga serius sama Venna, mendingan ga usah deh. Aku ga mau lihat sahabatku sakit hati dan jatuh di lubang yang sama lagi." sahut Sonya.
"Maksudnya?"
"Ya kalau kamu ternyata udah ada pacar, ya ga usah deketin Venna lagi Ed."
"Pacar?"
"Dokter Seraphine. Bukannya dia cewek kamu?"
"Hah? Ngga kok. Dia cuma teman."
"Oh kalau teman bisa ya angkat telepon temannya sendiri. Aku yakin dokter Seraphine ga cerita kan kalau dia yang angkat telponnya Venna."
"Jadi Venna tadi telpon?" sahut Edbert sambil mengeluarkan handphonenya dan mengecek daftar telponnya.
"Ed, aku cuma ga mau Venna sakit hati lagi setelah sekian lama. Aku ga tahu apa yang terjadi dengan kalian selama ini, cuma please jangan mainin hati Venna."
"Ngga Nya, aku ga ada maksud sama sekali." sahut Edbert berusaha menjelaskan.
"Lebih baik kamu jelaskan ke Venna, bukan ke aku." sahut Sonya.
***
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Edbert sekarang. Udah ga sempat makan siang bareng, lupa kasih kabar, eh sekarang pake acara cewek lain yang angkat telepon.
"Aku butuh ngomong sama kamu." sahut Edbert memasuki ruangan jaga dan menatap Seraphine.
"Kenapa Ed?"
"Kenapa kamu ga bilang kalau tadi Venna telpon?"
"Ya kan kamu udah keburu lari naik. Mana sempat aku bilang." sahut Seraphine.
"Aku ga suka ya kalau kamu lancang ngangkat telepon dan ga pake acara ngomong ke aku." sahut Edbert dengan tegas.
"Kenapa kamu jadi sewot gini sih Ed? Biasanya juga kalau aku bantu angkat telpon, kamu juga ga pernah masalah. Kenapa? Apa karena ini Venna?" tantang Seraphine.
"Iya karena ini Venna!" sahut Edbert sambil menutup pintu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
One Moment in Time
ChickLitVenna Damara adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manager keuangan di sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Di umurnya yang sudah di ambang 20-an, seharusnya dia sudah membangun keluarga seperti masyarakat pada umumnya. Ternyata, karir yang...