Minggu demi minggu berlalu, Venna sudah memutuskan untuk mendukung keinginan Edbert melanjutkan sekolahnya. Ini bukan pilihan yang mudah, tapi dia juga tidak ingin menjadi penghambat bagi kekasihnya. Edbert pun senang akhirnya Venna bisa mendukung dia untuk melanjutkan sekolahnya.
Sampai tibalah waktu di mana hasil ujian spesialis tersebut diumumkan. Edbert yang sudah deg-deg an sedari pagi tidak kuasa untuk membuka hasil ujian itu seorang diri. Alhasil dia menghubungi Venna supaya bisa memeriksa hasilnya bersama-sama.
"Sayang, kamu ada waktu kah siang ini? Kita makan siang bareng yuk." sahut Edbert menghubungi Venna.
"Boleh. Kebetulan aku ada meeting di dekat rumah sakitmu. Kita ketemuan di dekat sana aja apa?"
"Oke. Nanti aku kabarin ya tempatnya."
"Kamu pasti lagi deg-deg an ya ini?" ledek Venna.
"Banget. Aku takut ga lolos Ven, katanya kuotanya sedikit banget yang untuk Surabaya."
"Tapi hasil Bali dan Jakarta belum keluar kan?"
"Minggu depan sih. Tapi jujur aku pesimis, aku cuma menunggu hasil yang di Surabaya ini."
"Everything will be alright Ed. Kamu pasti lolos, lagian dokter Edbert favorit pasien pasti lah lolos."
"Bercanda kamu. Favorit darimana?" sahut Edbert sambil tertawa.
"Ya paling ngga favoritku. Ciee." ledek Venna.
"Sa ae! Apapun hasilnya, kamu bangga ga sama aku Ven?"
"Of course! Aku tetap bangga dengan apapun pencapaianmu Ed. I'm a proud girlfriend." sahut Venna.
***
"Kamu aja deh Ven yang klik. Aku takut." sahut Edbert sambil kembali menyeruput ice cafe latte di depannya.
"Yakin? Aku klik tapi barengan ya lihatnya. It's okay." ujar Venna sambil memegang tangan Edbert.
"Oke." sahut Edbert menghela nafas panjang sebelum mengarahkan mata ke arah laptop.
Memang benar kata Edbert, kuota dokter spesialis memang sangat sedikit. Misalkan dia gagal kali ini, dia bisa mencoba lagi tahun depan. Tapi tentu saja ini tidak diinginkannya, mengingat Edbert akan memasuki umur 30 tahun depan.
"Not this time." sahut Edbert tertunduk lesu.
"It's okay sayang. Hasil yang di Jakarta dan Bali kan belum keluar? Masih ada harapan." sahut Venna sambil menyenderkan kepalanya di bahu Edbert.
"Tapi kalau aku diterima di Bali atau Jakarta, itu tandanya aku harus LDR sama kamu dan aku ga siap." sahut Edbert.
"Ed, we will working on it. Ga usah khawatir dulu ya. It is not the end." sahut Venna sambil memeluk Edbert dan menepuk pelan bahunya.
"Makasih sayang." sahut Edbert mencoba tersenyum.
Tidak perlu dipungkiri sebenarnya Edbert kecewa akan hasilnya dan harus berharap pada hasil minggu depan. Tapi Edbert tidak mau menunjukkan ekspresi sebenarnya ke Venna karena takut dia kepikiran.
Tidak lama setelah berjumpa dengan Venna, Edbert kembali ke Rumah Sakit dengan langkah gontai.
"Woi! Jangan lupa gantian jaga shift malem hari ini Ed!" sahut Septian dari arah belakang yang tiba-tiba menepuk pundak Edbert.
"Iya inget."
"Udah keluar ya hasilnya." tanya Septian yang mengingat hari ini tanggal pengumuman.
"Yoi. Ga lolos."
"Gapapa Ed, tahun depan coba lagi. Kuota tahun ini lo cuma 7 orang. Kan masih ada yang di Jakarta sama Bali, bukan sih?"
"Iya tapi aku lebih ga yakin kalau yang itu sep. Gimana ya kalau sampe tahun ini pun aku ga bisa ambil spesialis?"
"Jangan mikir aneh-aneh dulu, lagian belum tentu lah kejadian."
"Kamu gimana?" tanya Edbert yang sudah memasuki ruangan jaga.
"Aku memang belum ada rencana ambil spesialis sih. Mungkin tahun depan Ed, lihat-lihat lah kira-kira kapan waktu yang pas."
"Nambah lagi dong saingan kalau kamu ikutan tahun depan."
"Yee situ kan lebih pinter, kenapa jadi insecure? Sungguh bukan seorang Edbert." sahut Septian menggelengkan kepala.
***
"Weits dari mana aja lo hari ini?" sahut Kenzo menghampiri meja Venna."Habis ketemu Edbert."
"Oh. Gimana kabar Ed?"
"Lah kamu bukannya serumah sama dia?"
"Oh udah ngga, gue udah pindah ke apartemen. Lagian ga mungkin lah gue tinggal di sana terus kan ga enak."
***
Minggu depan yang ditunggu akhirnya pun tiba. Kali ini Edbert mengumpulkan keberanian untuk mengecek hasilnya sendiri tanpa Venna. Sambil menyiapkan barang bawaan ke Rumah Sakit, ada pesan dari Venna.
This is it!! Let's go Ed!
Edbert pun mulai membuka website universitas yang ada di Bali dan tidak muncul nama dia yang terpampang di sana. Dia pun merasa sedikit kecewa namun ini sudah diduga sebelumnya, mengingat kuota di Bali ini juga sangat sedikit.
My last hope. Edbert pun mulai beralih ke universitas yang di Jakarta. Tidak ada namanya dia yang terpampang di sana. Yang ada malah nama Seraphine dan Septian masuk di jejeran nama calon dokter spesialis anak maupun spesialis kulit.
"Halo" sahut Edbert dengan lunglai.
"Gimana hasilnya sayang?" sahut Venna dengan bersemangat.
"Not this time." sahut Edbert.
"Kamu di Rumah Sakit? Aku ke sana ya sekarang."
"Jangan. Aku lagi pengen sendiri. Gapapa kan?"
"Let me know kalau kamu sudah lebih tenang ya. Aku selalu mendukung kamu Ed." sahut Venna mencoba menenangkan.
"I know. Aku ga pengen kamu lihat sisi gagalku Ven."
"Heiii kegagalan itu hanya keberhasilan yang tertunda sayang. Aku tahu seberapa keras kamu berjuang untuk ambil spesialis, tapi aku yakin kok pasti ada kesempatan berikutnya." sahut Venna - "Ed, kamu gagal atau berhasil, aku tetap bangga sama kamu dan itu ga akan pernah berubah."
"Makasih ya Ven." sahut Edbert sambil mengakhiri panggilan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
One Moment in Time
ChickLitVenna Damara adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manager keuangan di sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Di umurnya yang sudah di ambang 20-an, seharusnya dia sudah membangun keluarga seperti masyarakat pada umumnya. Ternyata, karir yang...