Bagian 16

359 30 0
                                    

Sesuai dengan permintaanku sebelumnya, kini aku sedang berada di sebuah ruangan besar dan megah yang merupakan ruang tidur milik Ayah dan Ibu. Ruangan yang seharusnya luas ini terasa sempit dan sesak dikarenakan banyak orang yang berlalu lalang dengan raut wajah gelisah mereka.

Aku yang berada di gendongan Ayah hanya bisa menatap Ibu yang masih tertidur di atas kasur dengan damai. Matanya tertutup sempurna, kulitnya yang seputih salju kini seperti mayat hidup. Pucat sekali. Seolah tidak ada darah yang mengalir.

"Ayah, turunkan aku," pintaku agar Ayah segera menurunkanku dari gendongannya. Aku ingin melihat Ibu lebih dekat.

Ayah segera menuruti permintaanku. Walau rasanya aku belum bisa berdiri dengan tegak. Sepasang kaki yang terasa lemas ini kupaksa agar dapat berjalan perlahan demi perlahan ke arah Ibu. Semakin dekat sebelum akhirnya aku terjatuh yang dimana membuat Ayah langsung kembali mengangkatku ke dalam gendongannya dengan perasaan cemas yang begitu kentara.

"Harusnya Ayah tetap menggendongmu saja. Lihat. Kakimu jadi terluka."

Ayah langsung memanggil pelayan untuk mengobati luka kecil yang timbul di kedua lututku. Aku heran. Luka sekecil itu saja Ayah begitu heboh dan cemas luar biasa. Terbayang bagaimana perasaan Ayah saat aku terluka pada insiden lalu.

Aku hanya diam tidak bersuara saat seorang pelayan wanita mengobati lututku. Tatapanku hanya berfokus pada satu titik, yaitu Ibu. Di dekat kasur Ibu terdapat seorang pria tua berjanggut panjang yang terlihat seperti sedang merapalkan mantra, tangan yang ia arahkan ke Ibu bercahaya terang.

Ayah yang seolah tahu aku sedang kebingungan, membuka suaranya. "Ibumu sedang diobati oleh ahli sihir. Jadi Putri Ayah tidak perlu khawatir."

Aku yang seharusnya mengatakan hal itu. Ayah yang terlihat begitu khawatir walau beliau memaksa untuk tetap tegar dan tersenyum agar aku yang statusnya anak kecil tidak sedih dan berpikiran aneh-aneh.

"Aku ingin lebih dekat dengan Ibu," ucapku setelah pelayan menyelesaikan tugasnya mengobati lukaku.

Ayah menuruti permintaanku sekali lagi. Dengan penuh kehati-hatian ia menurunkan dan meletakkanku di atas kasur tepat di sebelah Ibu yang belum juga bangun.

Aku menggenggam tangan kurus Ibu yang pucat dan mengelusnya beberapa kali. Padahal tangan Ibu sudah kurus, kini terasa seperti tulang yang diliputi kulit saja.

"Maafkan aku, Ibu. Andai aku tidak terluka. Ibu tidak akan seperti ini," ucapku penuh penyesalan.

Air mataku mulai jatuh satu-persatu. Aku terisak pelan. Rasanya sakit melihat orang yang begitu kusayangi hanya bisa terbaring lemah.

Aku mengambil telapak tangan Ibu dan mengelusnya ke pipiku dengan lembut. "Xing'er berjanji. Xing'er tidak akan membiarkan Ibu harus menanggung penderitaan ini hanya karena Xing'er."

Aku yang masih sibuk menggumamkan kata maaf langsung berhenti dengan perasaan terkejut saat tiba-tiba seseorang menarikku ke dalam pelukannya. Ternyata Ayah. Aku dapat merasakan beliau ikut terisak. Telapak tangan yang sebelumnya kugenggam erat kini berada dalam genggaman Ayah. Ayah menggenggam telapak tangan Ibu dengan erat.

"Istriku. Putri kita sudah besar. Bangunlah dan peluk dia. Aku tau kau pasti sangat senang sekali jika mendengarnya," ucap Ayah yang entah mengapa membuatku semakin sedih.

Orang-orang yang berada di sekelilingku turut merasakan sedih yang mendalam. Dapat kudengar isak tangis dari mereka.

Bahkan, Kaisar yang terkenal kejam saja sudah meneteskan air matanya jika menyangkut keluarga kecilnya.

"Maaf menganggu, Yang Mulia. Hamba ingin melaporkan kondisi Permaisuri."

Perkataan dari seorang pria tua berjanggut putih mengalihkan perhatian kami. Ayah meliriknya dengan tatapan tajam namun tersimpan rasa penasaran yang begitu mendalam.

Rebirth as a VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang