SAAT KAMU TAK ADA (9)

103 16 0
                                    

Sunyi, itulah yang pertama kali di rasakan ketika memasuki ruangan yang sudah dipenuhi dengan banyak tumpukan kertas-kertas di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sunyi, itulah yang pertama kali di rasakan ketika memasuki ruangan yang sudah dipenuhi dengan banyak tumpukan kertas-kertas di atas meja.

Rania Pratama, si Pemilik rumah sakit bukannya menyelesaikan seluruh dokumen yang harus diperiksa dan di tanda tangani, dia justru termangu dalam lamunannya. Matanya menerawang jauh entah ke mana, dagunya dia sanggahkan pada tangan sebagai penopang. Rania benar-benar mengabaikan sekelilingnya. Bahkan kini seorang wanita yang tengah duduk di depannya sejak 10 menit yang lalu pun, dia abaikan.

Fokus mata Rania hanya menjurus ke depan walaupun pikirannya tidak berada di sana. Elia, yang sudah sejak tadi menunggu Rania hanya bisa terus menerus menarik dan membuang nafasnya, bosan. Entah sampai kapan dia harus menunggu Rania tersadar dari lamunannya yang sedang dalam keadaan menggalaukan kekasihnya, Alvino.

Pada akhirnya, kapasitas kesabaran Elia semakin berkurang dan menipis. Dokumen yang tadi dia bawa harus segera mendapatkan tanda tangan Rania. Namun, perempuan bermata kucing itu justru bersikap seperti manusia yang bosan hidup, lagi. Elia bangun dari duduknya dan kedua tangannya sudah dia angkat ke udara untuk di entakkan ke atas meja, kemudian dengan satu kali gerakan, suara kencang dan keras sudah terdengar nyaring menggema di seluruh penjuru ruangan.

Berhasil, gebrakan kuat yang Elia lancarkan pada meja Rania akhirnya sukses membuat Rania terperanjat dari lamunannya. Tubuh Rania bahkan sampai terjengkat karena kerasnya efek suara meja yang Elia timbulkan.

"Astaga, Elia. Kamu kenapa pakai gebrak meja gitu sih?" pekik Rania sembari memegang dada yang jantungnya berdetak cepat.

"Menurut Anda, Elia dari 10 menit yang lalu di sini itu mau ngapain?" sindir Elia merasa kesal.

Rania mendengus sebal. Dia membanting pulpen yang ada di dekatnya ke hadapan Elia.

"Kamu bisa tiru tanda tangan aku, kan? Kenapa ngga kamu aja yang tanda tangan," gerutu Rania langsung mendorong kuat kursi yang dia duduki dan beranjak dari kursi tersebut.

Mata Elia membola lebar. Kepalanya dia arahkan terus mengikuti pergerakan langkah Rania yang memilih duduk di atas sofa dan menselonjorkan kedua kakinya ke atas meja.

"Kamu gila! Ini proyek besar. Kalau cuma menggantikan kamu untuk tanda tangan pembelian alat kesehatan doang, aku masih bisa. Tapi ini beda, ini proyek besar, Rania!" cecar Elia lantang. Tidak peduli saat ini status Rania adalah bos-nya.

"El, aku lagi ga mood," desis Rania menutup kedua matanya.

Elia membuang nafas kasar. Dia berdiri dari duduknya menghampiri Rania yang sudah hampir satu setengah bulan ini selalu uring-uringan karena tidak adanya kabar sama sekali dari Alvino yang sudah pergi sejak dua bulan lalu.

"Ibu Rania, di sini yang punya pacar sedang tidak ada kabar bukan hanya Anda saja. Saya juga sama, Bu. Saya juga sudah satu setengah bulan tidak ada komunikasi dengan pacar saya, tapi saya tidak seperti Ibu yang mencampur adukan perasaan pribadi dengan urusan kantor." Elia menatap nyalang pada diri Rania. Elia sudah merasa kesal dengan sikap Rania yang seperti kurang profesional saat ini.

PURPLE ROSE (Sequel Of Black Rose) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang