02.30 malam.
Agnes, masih saja mondar mandir bak setrikaan karena merawat Morgan, gadis itu dengan cekatan dan hati-hati, mengobati luka tusuk yang berada di pinggang Morgan.
Dengan susah paya Agnes, membawa Morgan, naik ke kamarnya, bisa saja di obati di sofa, namun takut ayah dan ibunya bertanya nantinya Agnes, bingung menjawab.
Jadinya dengan kekuatan yang dia punya, dan sekuat tenaga yang dia bisa, Agnes memapah tubuh Morgan, naik ke kamarnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Lukanya benar-benar serius, apa harus aku memanggil dokter?" bingung Agnes, karena dia tidak mahir merawat luka, atau mengobati luka serius seperti yang di alami Morgan, saat ini.
Tidak ada pilihan lain Agnes, merogok hpnya, berniat ingin menelpon dokter andalannya, namun tangan Morgan, menahan lengan Agnes.
"Jangan panggil siapapun, kamu bisa merawat lukaku." ucap Morgan, suaranya sedikit serak.
"Tapi, aku tidak semahir itu." jawab Agnes, khawatir.
"Kamu bisa, aku yakin." kekeh Morgan, percaya pada Agnes, jika gadis itu mampu merawatnya.
Agnes, menghembuskan nafasnya, entah alasan apa yang membuat Morgan, tidak boleh memanggil siapapun? Sungguh pikiran Agnes, begitu banyak Pertayaan untuk Morgan.
"Baiklah." pasrah Agnes, mendapatkan senyuman dari Morgan, walaupun bibirnya pucat pasi.
*****
Pagi telah datang kembali Morgan, terbangun dengan kepala pusing, dan bagian pinggang yang sakit, lelaki itu melirik ke samping melihat Agnes, yang tertidur di bibir kasur dengan kepala ke kasur setengah badan di lantai.
Morgan, mengelus lembut kepala Agnes, kemudian matanya melihat pinggang yang sudah rapih di bungkus perban, katanya tidak mahir, lantas ini apa? Agnes, memang seorang gadis yang kurang percaya diri.
"Emhhh." leguh Agnes, terbangun dari tidurnya.
"Kenapa tidak tidur di ranjang bersamaku?" tanya Morgan.
"Aku, tidak selancang itu." jawab Agnes, masih mengucek mata.
Mata Agnes, langsung netral dengan mata Morgan, keduanya saling memandang dengan pikiran masing-masing di pagi hari.
"Sudah bangun?" tanya Agnes, mengalihkan matanya dari mata Morgan.
"Heum." jawab Morgan, tangannya memegangi perutnya yang masih terasa sakit.
"Sakit ya?" tanya Agnes, panik langsung berdiri membantu Morgan, agar menyender di kepala ranjang.
"Kamu mahir merawat orang sakit, kenapa semalam tidak pede?" tanya balik Morgan.
"Tidak rapih, tapi tidak buruk juga, salah siapa tidak ingin memanggil dokter." ucap Agnes, dengan wajah masih mengantuk dan lelah.
"Terimakasih." pungkas Morgan, tersenyum tulus mengelus lembut kepala Agnes.
"Ya sudah aku, mau mandi dan bersiap pergi kesekolah." pimit Agnes, berdiri merentangkan kedua tangannya, rasa ngantuk sangat kuat karena dia baru tidur tadi pagi.
"Jangan pergi kemana-mana, apa lagi ke sekolah." pinta Morgan, dengan tegas.
"Kenapa? Hari ini ada praktek biologi, aku tidak mau absen." tanya Agnes, matanya memicing memperlihatkan kekesalan di sana.
"Aku bilang tidak boleh kemana-mana, aku tidak ingin kau kenapa-napa. Dan satu lagi jauhi orang yang bernama Zarel, dia bukan orang baik." tukas Morgan, dengan nada seriusnya dan tatapan mata elangnya mampu membuat Agnes, ketakutan.
"Tapi kenapa? Zarel, dia baik. Jika mana aku kenapa-napa bila di lingkungan sekolah aku, akan terlindungi." ucap Agnes, panjang lebar memberanikan diri debat dengan Morgan.
"Sekolah tidak menjamin 100 persen kamu aman, intinya kamu sedang dalam bahannya, dan tidak siapapun mampuh menolongmu, kecuali aku." tegas Morgan.
"Aku, tidak suka di atur seperti ini, aku muak dengan perlakuanmu, aku bukan budak yang harus selalu tunduk padamu." pekik Agnes, kesal bahkan ucapannya tidak lagi memakai embel-embel abang.
Morgan, menatap serius kedua mata Agnes, dengan tegas wajahnya menjadi menyeramkan, tatapannya semakin dalam, dadanya bergemuruh sangat kencang, mendengar bantahan dari mulut Agnes.
"Jangan membantah Agnes, aku bilang tidak ya tidak." tutur Morgan.
"Aku tidak mau. Intinya aku, akan tetap pergi kesekolah." sangkal Agnes, kakinya berjalan keluar dari kamar meninggalkan Morgan, dengan emosi yang bergemuruh hebat.
*****
Di sekolah gadis itu termenung diam di dalam kls, memikirkan perkataan Morgan, dan memikirkan luka Morgan, tadi pagi dia belum sempat menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, karena adanya perdebatan jadinya Agnes, pergi begitu saja.
"Hey Nes, kok ngelamun?" sapa Zarel, yang baru masuk kls kembali.
"Gak papa, lagi banyak pikiran aja." jawab Agnes, dengan senyum fake.
"Yakin gak papa?" tanya Zarel, menatap Agnes, menyakinkan gadis itu tidak apa-apa.
"Iya, aku baik-baik aja." jawab Agnes.
"Oh ya, nanti pulang bareng aku lagi ya." tawar Zarel, tersenyum manis.
"Boleh." jawab Agnes, senang.
*****
Sesuai apa yang di janjikan Agnes, dan Zarel, mereka pulang sekolah berdua, dengan santai Zarel, mengendarai motornya dan Agnes, menikmati angin siang di belakang sana.
Di bagian jalan sepi yang tidak terlalu ramai kendaraan, motor Zarel, di hadang oleh 2mobil membuat dia berhenti mendadak, sampai Agnes, tersentak kedepan.
"Ada apa nih?" bingung Agnes, di sertai dengan panik.
Orang dari dalam mobil itu turun seseorang yang berjumlah 5orang, menggunakan pakaiannya serba hitam, wajahnya menyeramkan bagi Agnes, tegak tinggi badannya sungguh kekar, siapa saja akan takut melihat mereka.
"Mereka mau ngapain?" tanya Agnes, yang turun dari motor Zarel.
"Tenang ya, ada aku." ucap Zarel.
"Serahkan gadis itu." pinta peria dengan tubuh tinggi.
"Apan urusan dengan gadis ini?" tanya Zarel.
"Bukan urusan Lo." jawab peria itu malah menyerang Zarel.
Agnes, mundur kebelakang menyaksikan perkelahian antara Zarel, dan orang-orang tidak di kenal itu. Dari sini Agnes, tau jika Zarel, akan kalah pasalnya 5lawan 1 tidak sebanding.
"Zarel, hati- eumhh." teriakan Agnes, terhenti karena seseorang membekamnya dari belakang sampai gadis itu pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUBUHMU MILIKKU!
Novela Juvenilmengandung cerita dewasa 18 sampai 21++ mau lanjut baca ya udah tanggung sendiri. jangan lupa setelah membaca tinggalkan ⭐, follow, dan komen ya guys. ****** punya abang lelaki itu emang menyebalkan apa lagi jika abang tiri seperti Morgan, selalu m...