Malam ini terasa lengang. Jalanan begitu sepi sedang jam masih sekitar pukul 09.45 malam.
Seharusnya Febri sudah menutup kliniknya dari jam 8 tadi, namun entah kenapa dia masih bertahan sampai dia mendapatkan pasien seorang anak kecil yang tiba-tiba demam tinggi. Orang tuanya begitu panik sampai menangis.
Beruntungnya Febri belum tutup, jadi anak itu di rawat sampai 5 menit yang lalu baru pulang karena panasnya sudah lumayan turun.
Kembali Febri melirik jam, karena sudah terlalu malam akhirnya dia memutuskan untuk tutup.
Kakinya melangkah untuk menutup rolling door, namun sebuah mobil zeep hitam berhenti di depan klinik. Febri mengerjap, 4 orang laki-laki keluar dari mobil dengan pakaian serba hitam dan memakai masker.
"Apa klinik ini masih bisa menerima pasien?" Tanya salah satunya, bertubuh jangkung dan bersuara berat.
Febri mengangguk ragu, roling door yang akan menutup setengah ia kembalikan lagi ke atas.
"Iya, silahkan masuk."
Mereka mengangguk, Febri mundur dua langkah saat mereka melewatinya namun satu orang diam menatap dia.
"Masuk lah, dok. Biar aku yang menutupnya."
Febri diam sebentar sebelum mengangguk, agak heran sebenarnya. Ketika didalam Febri berbalik dan melihat roling door kliniknya di tutup sempurna.
"Jangan banyak bertanya, dok. Lebih baik kau obati kami." Si lelaki yang menutup tadi menyela saat Febri akan bertanya.
Mau tak mau Febri mengangguk, dia berjalan melewati resepsionis dan ruang tunggu lalu masuk kedalam ruang prakteknya.
Yang Febri merasa gugup dan tidak enak adalah aura mereka terlalu menyeramkan.
Berpakaian hitam, memakai masker, dan menatapnya tajam.
"Mm, s-siapa yang sakit?" Tanya Febri, dia duduk di kursinya dan menatap mereka satu persatu yang berdiri.
"Kami."
"Ah, mm. Sakit apa tuan?"
Yang berambut hijau mint berdiri, dia berjalan ke arah ranjang pasien dan duduk disana. Membuka kaos hitamnya dan memperlihatkan sebuah luka disebelah kiri perutnya.
Febri melotot panik, dengan segera ia menghampiri. Mengambil alat-alat untuk mengobati perut lelaki itu.
Ini sebuah luka sayatan. Namun untungnya tidak terlalu dalam. Febri sedikit meringis kala ia membersihkan luka dengan kapas yang sudah dibaluri alkohol.
"Sakit tuan?"
Lelaki itu menggeleng, menunduk memperhatikan wajah Febri dengan seksama.
"Untungnya tidak perlu di jahit. Ini tidak dalam sama sekali, saya hanya akan membalutkan perban saja." Ucap Febri, lelaki itu mengangguk paham.
Membiarkan Febri membalut perutnya dengan perban yang melingkar.
"Sudah, saya akan meresepkan obat agar pendarahannya berhenti dan bisa mengurangi rasa sakit."
Lelaki itu mengangguk, turun dari ranjang dan berdiri kembali di tempatnya tadi.
Saat Febri membereskan sisa kapas yang ada darahnya, seorang lelaki yang paling tinggi diantara mereka duduk di ranjang pasien.
Febri mengangguk, kode etik dokter ia gunakan. Bertanya apa keluhannya dan tersenyum ramah.
Ternyata sama, namun sayatan di perut lelaki ini nampaknya lebih dalam.
Febri dengan ribut mengeluarkan anastesi untuk menjahit lukanya.
"Tahan ya tuan, ini akan terasa sedikit sakit."
![](https://img.wattpad.com/cover/353293437-288-k966200.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Oneshoot
Contokumpulan cerita oneshoot, atau bisa saja berchapter pendek. Dari cast Pemuas Mereka dengan berbeda karakter, tempat cerita, jalan cerita, maupun setting waktu. rate 17+, 18, 21+. ⚠⚠🔞🔞