Pasien 2

3.2K 217 26
                                    

Bahasa baku...

********

3 hari berlalu setelah kejadian dimana dirinya dan Gio melakukan itu. Hal yang dilarang antara seorang perawat dan juga pasien. Jika ketahuan bisa-bisa ia kena sanksi pekerjaan. Yang lebih parah ia sama sekali tidak marah.

Selama 3 hari juga Febri enggan dan bahkan menolak kala perawat yang lain memintanya untuk kembali merawat Gio. Dihari pertama Febri tiba-tiba menolak pasien 64 itu mengamuk hebat bahkan sampai hari ini. Berarti sudah hari keempat.

Para perawat tidak memaksanya lagi, karena mereka mengerti kalau Febri ketakutan, senior Bagas saja pernah mendapat luka jahitan di sikut karena di serang Gio, begitu juga dengan dokter Ardi. Beliau bahkan tidak menanyakan kenapa dan ada apa.

Namun bukan ketakutan seperti itu yang Febri rasakan, dia hanya terlalu malu kalau terus-terusan bertemu dengan Gio. Entah kenapa perbuatan Gio hari itu sangat membekas di ingatannya. Febri menolak mengakui kalau dia suka, makanya dia ketakutan sendiri, apalagi kenyataannya tubuhnya merindukan hal itu lagi.

Febri menggeleng pelan, dia berusaha menyingkirkan hal-hal tentang Gio, karena selagi ia bisa menjauh dia akan melakukan itu. Walau ia tahu kalau sikapnya ini malah membuat orang lain kesusahan.

Helaan napas keluar dari mulutnya, Febri sedang bersembunyi dibalik dinding belokan koridor saat semua perawat berlari panik menghampiri kamar 64. Lagi-lagi Gio mengamuk hebat hari ini bahkan sudah 6 kali lelaki penderita skizofrenia itu meluluh lantakkan kamarnya dan melukai diri sendiri serta perawat yang mencoba menenangkan.

Geraman dan teriakan berat dari Gio terdengar sampai di tempatnya berdiri. Semua perawat laki-laki turun tangan mencoba menahan Gio, walau lelaki itu diborgol dan kakinya dirantai tetapi tenaganya melebihi lelaki dewasa berjumlah 5 orang.

"Mana perawat itu? MANA PERAWAT ITU?"

Febri memejam takut mendengar teriakan Gio. Dia menggigit bibir bawahnya merasa dilema. Ingin ikut menenangkan tapi itu berarti dia harus terlibat lagi dengan Gio, kalau tidak membantu para perawat dan juga dokter akan sangat kesusahan. Apalagi ada 3 perawat yang sampai berdarah karena Gio mengacungkan pecahan kaca.

"FEBRI HANGGINI!"

Kembali Febri memejam, teriakan Gio seperti sebuah jumpscare pada adegan film horor. Membuat merinding dan ketakutan secara bersamaan.

"Aku harus apa ini?" katanya pelan, Febri melirik sekitar. Semua perawat memang menutup gerbang dan mengunci pasien yang lain agar mereka tidak ketakutan dan juga ribut ingin melihat.

"Arrgghh."

"Ya ampun, Dokter Indah!"

"Cepat bantu Dokter Indah."

Febri menganga kaget, Dokter Indah sedang di papah keluar dari kamar dan kepalanya berdarah, bahkan lebih parah dari Dokter Ardi waktu itu. Febri langsung berlari menghampiri. Khawatir juga ketakutan disaat bersamaan.

"Dokter, ya ampun, Dok."

Mereka yang ada di luar langsung menoleh pada Febri, Kania yang memapah Dokter Indah melotot.

"Yakk, apa yang kamu lakuin disini? Cepat sembunyi lagi!"

"Tidak, Kai. Pasien 64 sudah sangat keterlaluan. Aku juga tidak bisa bersembunyi terus, kasihan yang lain kewalahan. Aku harus bertanggung jawab karena ini juga salahku."

"Suster Febri, justru kamu tidak harus melakukan ini. Pasien 64 harus segera di pindahkan untuk ditangani oleh perawat yang lebih ahli juga dokter yang mumpuni. Rumah sakit jiwa ini memang tidak seharusnya menampung pasien pengidap gangguan berbahaya seperti itu." Ucap Dokter Indah.

Kumpulan OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang