Tiga minggu berlalu dengan cepat. Musim salju masih menutupi bumi Jerman. Jalanan, atap rumah, halaman, pohon-pohon. Semuanya, menumpuk dengan tebal.
Sudah beberapa hari ini aktivitas terganggu karena dua kali terjadi badai salju dalam waktu berdekatan. Semua orang enggan keluar karena takut, hanya mobil militer yang patroli sesekali terlihat melintas dengan hati-hati sebab jalanan licin.
Febri menghela napas, minggu lalu ia mendapat kabar jika sang ayah harus di larikan ke rumah sakit. Asmanya sudah tidak tertolong lagi karena cuaca yang dingin.
Ayah tidak bisa menahannya, mungkin ayah sudah berdamai dengan penyakit itu sehingga sudah merelakan jika dalam waktu dekat, nyawanya diambil Tuhan.
Febri mengalihkan tatapannya keluar jendela. Didepan rumahnya salju sudah tebal dan menghalangi pemandangan. Disini tidak seperti rumah Mayjen, jadi Febri harus menggunakan pakaian tebal berlapis karena penghangat ruangan tidak bisa menghalau dingin.
Sudah satu minggu juga ia izin. Masih enggan untuk kembali menjadi pekerja di rumah mewah itu. Hatinya masih terasa sakit jika ingat sang ayah.
Seharusnya Febri lebih perhatian dan sering menjenguk sang ayah, bukan hanya mengirimkan uangnya saja. Dengan begitu mungkin ayah tidak akan menyerah semudah itu.
Satu cairan bening lolos dari matanya, mengalir melewati pipi hingga lolos ke bawah dan hilang di kain jaketnya. Mulutnya sedikit terisak pelan, menatap jalanan lengang dengan hampa.
Rasanya seperti tidak ada rumah lagi bagi dirinya. Tidak akan ada lagi yang menunggunya pulang dan menghidangkan sup rumput laut kesukannya. Tidak akan ada yang bertanya bagaimana harinya, kerjanya, dan juga tentang perasaannya.
Febri menunduk, isakkan kembali lolos. Lirih dan terasa sakit. Satu-satunya yang tak pernah ia bayangkan adalah kehilangan sosok sang ayah. Ia pikir mempunyai uang akan membuat keadaannya lebih baik, namun ternyata Tuhan lebih menyayanginya.
Suara ketukan dari depan mengalihkan perhatiannya. Febri mengusap kasar air matanya dan berdehem pelan. Berjalan ke depan hingga membuka pintu.
Alis Febri berkerut heran, sosok Mayjen ada di depannya. Tanpa senyuman maupun sapaan. Ekspresinya masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Namun kali ini lebih dingin dan tajam lagi.
"Tuan?" Tanyanya pelan, nadanya serak sebab Febri menangis terus menerus dari hari-hari kemarin. Mungkin sekarang wajahnya pucat dengan mata yang memerah.
"Ya." Jayendra menjawabnya dengan nada berat. Matanya menatap penampilan perempuan mungil di depannya.
"Untuk apa Tuan kemari?"
Febri hanya berpikir untuk apa sang tuan jauh-jauh datang kesini? Apalagi sudah satu minggu berlalu dari pemakaman ayahnya. Jika ingin berduka mungkin sudah terlewat, tapi jika ingin menjemputnya Febri tentu menolak. Dia sudah bilang jika akan kembali ketika hatinya sudah siap.
"Jadi aku harus pulang lagi dengan tangan kosong?" Jayendra balik bertanya. Nadanya tidak ada keramahan sama sekali.
Febri berdehem lagi, dia menyingkir dari pintu dan mempersilahkan sang tamu untuk ke dalam.
Rumahnya sangat sederhana. Dari pintu sudah terlihat ruang tamu dan dapur tanpa penyekat, lalu ada dua kamar yang bersisian serta satu kamar mandi dekat dapur. Sudah.
Mayjen duduk di kursi tamu. Matanya melirik sekitar ruangan yang bercat putih dan cokelat kayu. Lalu beralih pada Febri yang sedang membelakanginya. Perempuan itu sedang membuatkan secangkir teh panas.
"Silahkan Tuan." Ucap Febri, dia duduk di depan sang Mayjen dengan hidangan teh yang mengepul.
"Apa kau masih lama berada disini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Oneshoot
Short Storykumpulan cerita oneshoot, atau bisa saja berchapter pendek. Dari cast Pemuas Mereka dengan berbeda karakter, tempat cerita, jalan cerita, maupun setting waktu. rate 17+, 18, 21+. ⚠⚠🔞🔞