Jerman 4

2.2K 178 5
                                    

Makan malam kali ini dipenuhi dengan sup yang hangat. Sekalian saja Febri akan buatkan untuk para penjaga. Terlalu lama kalau mereka menunggu sang tuan makan terlebih dahulu. Kasihan juga kalau habis dari swalayan dan pasar tapi belum makan apapun.

Febri juga menghabiskan tepung yang terakhir untuk membuat roti panggang. Dia pikir ini akan enak jika dengan kopi atau teman teh.

Meja sudah penuh dengan makanan, hanya tinggal membuatkan teh dan kopi. Febri membuka bilik-bilik pantry sambil berjinjit. Keningnya berkerut dalam melihat bahan makanan yang benar-benar habis. Dia gudang bawah juga hanya tinggal kentang dan lobak.

"Kenapa wajahmu begitu?"

Febri terkejut setengah mati. Perutnya di lilit oleh tangan besar yang tiba-tiba datang tanpa suara apapun. Nada berat yang bertanya sedikit mengendus sisi telinga sebelah kiri.

"T-Tuan. Jangan memeluk saya dari belakang tanpa suara seperti itu!" Serunya sedikit kesal.

Namun Jayendra dibelakangnya malah tertawa ringan, "kenapa kau marah? Niatnya aku akan mengangkat tubuh kapas mu ini."

Febri tidak menjawab, dia kembali mendongak mencari gula dan teh. Tapi pelukan dari belakang membatasi geraknya, apalagi lehernya di endus seakan mencari bau yang keluar dari sana.

"Tuan tolong, anda tidak akan tahu siapa saja yang melihat dari balik kaca-kaca rumah anda." Katanya, seraya menyingkirkan lengan besar itu.

"Aku tidak peduli."

Febri menghela napas sedikit kesal, "setidaknya lakukan di tempat yang tidak akan orang lain lihat."

Jayendra menjauhkan kepalanya lalu melepaskan pelukan itu, bibirnya tersenyum miring.

"Aku tidak tahu kau punya pemikiran yang bagus. Kau mengajakku secara terang-terangan?"

"Hanya agar anda berhenti. Dan anda tentu ingat kalau saya bukan remaja 16 tahun."

Jayendra terkekeh pelan, kepalanya mengangguk lalu menempelkan kumis palsu diantara hidung dan bibir Febri setelah itu berjalan menjauh seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Kalau begitu aku ingin makan di lantai atas."

Febri segera menoleh lalu menghela napas lelah.

"Tidak seperti itu juga Tuan.."

"Aku tidak paham, kau yang mengajakku tapi sekarang kau yang enggan."

Febri menggeleng, "anda yang terlalu terang-terangan."

"Aku sudah dewasa dan kau termasuk dalam semua tipeku."

Febri tidak menjawab hanya menatap sang tuan yang berdiri santai seolah pembicaraannya barusan sedang membahas makanan.

Lalu suara langkah kaki terdengar dari depan, mereka berdua menoleh, tak berapa lama wajah salah satu penjaga yang tadi pergi berbelanja muncul. Topi dan bahu tegapnya dipenuhi salju.

"Mayjen, maaf mengganggu. Saya mengantarkan belanjaan yang dipesan."

Jayendra hanya mengangguk, dia masih diam berdiri didekat tangga. Si penjaga beralih pada Febri lalu tersenyum sembari mendekat, menaruh kantung belanjaan di atas pantry.

"Ellard, aku tidak tahu apakah mereka sesuai pesanan atau tidak. Kau boleh komplain padaku."

Febri tertawa kecil, tangannya membuka kantung belanjaan lalu mengangguk. Berdehem satu kali untuk membuat suaranya lebih berat.

"Ini sudah cukup, terima kasih Tuan Ed."

"Tidak masalah, asal secangkir kopi bisa kau hidangkan."

Febri tersenyum lalu mengangguk. Kopi yang tadi belum ia seduh, Febri mengeluarkan belanjaanya terlebih dahulu untuk mengambil gula. Menambahkannya pada kopi satu setengah sendok lalu menyimpannya diatas nampan.

Kumpulan OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang