Musim dingin tiba, salju pertama turun mengenai kaca jendela kamar. Tumpuk menumpuk satu persatu menjadi serangan memenuhi udara.Febri hanya memandanginya tanpa ingin berdoa seperti tahun-tahun sebelumnya atau dia menginginkan sesuatu semenjak usianya menginjak 26 tahun ini. Tidak ada, hanya kosong.
Cetakan pertama salju itu meleleh, menjadi air yang mengalir hingga ujung jendela.
Helaan napas terdengar dari sela mulutnya.
Hawa dingin tidak terasa, rumah ini memberikan hangat yang mampu menghalau dinginnya musim salju. Febri tidak akan menebak berapa derajat dinginnya diluar namun ketika hawa sudah mulai membeku tuan rumah menyuruh untuk segera meningkatkan penghangat ruangan hingga ke seluruh penjuru rumah.
Ah, tuan rumah.
Febri memejam namun sedetik kemudian matanya terbuka lebar, helaan napas kembali keluar dari sela mulutnya. Mengepul membentuk udara hangat. Sudah seminggu kalau ia hitung, semenjak kejadian di ruang kerja itu dirinya menghindar penuh dari sang tuan rumah.
Memasak lebih cepat, membersihkan halaman lebih pagi dibanding sebelumnya, mengantarkan kopi dan membuat cemilan hanya akan ia antarkan didepan ruang kerja.
Tidak sopan, mungkin itu yang ia lakukan sekarang tapi Febri benar-benar ketakutan.
Ketika tidur kejadian waktu itu selalu hadir dalam mimpinya, ketika ia memejam bayangan itu akan memutari pikirannya. Dia sudah kena tegur berkali-kali. Tapi sebisa mungkin tidak ada percakapan apapun diantara mereka.
Ruangan sang tuan selalu ia bersihkan kala tuan rumah sedang sibuk di dalam ruang kerja. Tanpa mau berlama-lama berkeliaran di dalam rumah, semuanya ia kerjakan dengan terburu-buru. Semuanya ia lakukan agar masih bisa menjaga akal sehatnya. Febri tidak ingin terhanyut dan malah melupakan jati dirinya sendiri.
Apa yang Mayjen lakukan seminggu yang lalu membuat sesuatu di dalam hatinya berdebar. Membuat sesuatu dalam dirinya yang entah apa itu Febri juga tidak terlalu paham. Tapi pelecehan yang Mayjen lakukan berbeda dari yang dulu-dulu ia alami.
Tidak ada yang menciumnya selembut itu, tidak ada yang pernah menatapnya seintens itu. Tidak ada cemoohan atau hinaan. Dan Febri sadar, kalau ia takut, ia ketakutan terpikat dengan si tuan rumah.
Febri melirik jam dinding, jam 1 dini hari. Belum mengantuk sama sekali, angin ribut dari luar membuatnya tidak tenang.
Apa dia mengundurkan diri saja, ya?
Pikiran itu selalu terlintas kala dia melamun seperti ini. Efek ketakutan itu terlalu nyata. Febri tidak bisa menahan dirinya jika dia mendapatkan hal seperti itu terus menerus.
Tapi sang ayah, ayahnya mengirimkan surat ketika ia tidak bisa pulang. Jarak rumah memang jauh dari sini, jika pulang harus memakan waktu satu jam berjalan kaki.
Ayahnya bilang jika akhir-akhir ini selalu makan dengan baik. Kesehatannya meningkat, dan dia senang jika Tuhan menjemput sekalipun.
Febri tidak mungkin mematahkan itu, dia masih membutuhkan uang. Untuk kehidupan pribadinya maupun sang ayah. Setidaknya ia ingin sang ayah lebih lama hidup bersama dengannya. Agar ia bisa pulang, agar ia merindukan rumah dan merasa ditunggu.
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, Febri menoleh cepat lalu berkerut heran.
"Buatkan aku kopi."
Tubuhnya menegak dengan segera, rasa was-was itu datang lagi. Suara berat yang terhalang pintu milik sang Mayjen.
Kenapa tuannya meminta di malam hari begini? Tidak biasanya. Sangat jarang dan memang tidak pernah sekalipun ia disuruh ketika malam datang.
Dengan deheman kecil Febri berusaha untuk tidak berdebar sama sekali, dia menguatkan hati terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi dan membuka pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Oneshoot
Short Storykumpulan cerita oneshoot, atau bisa saja berchapter pendek. Dari cast Pemuas Mereka dengan berbeda karakter, tempat cerita, jalan cerita, maupun setting waktu. rate 17+, 18, 21+. ⚠⚠🔞🔞