" Lepas!"
Sedjati melepaskan tangan Zara saat sudah sampai di kamar Zara sendiri.
Zara mengusap pergelangan tangan nya yang terasa perih karena cengkraman Sedjati yang terlalu kuat.
" Apa begitu cara kamu berbicara kepada orang tua kamu sendiri?" Sedjati memulai percakapan dan menatap wajah Zara.
Zara yang semula fokus ke tangan nya mendongak perlahan.
Zara menantang mata Sedjati dengan sudut bibir yang sedikit tersungging.
" Merasa keberatan?" tanya Zara balik.
Sedjati menelisik raut wajah Zara. Kenapa perempuan di hadapan nya ini tidak bisa di tebak.
" Tidak seharus nya kamu seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua mu. Saya diam karena saya sadar tidak bisa terlalu masuk ke dalam ranah keluarga kamu. Tapi saya juga tidak bisa membiarkan kamu bersikap seperti itu. Ingat kamu sekarang istri saya!"
" Lalu saya harus bersikap bagaimana? Bersikap baik dan bertutur lembut? Maaf saya tidak bisa memenuhi keinginan anda tersebut. Anda tidak tahu apa-apa tuan."
Sedjati menggertakkan gigi. " Saya suami kamu. Bisa kamu hargai?" Geram Sedjati.
" Baru semalam menjadi suami. Dan saya menjadi istri. Bahkan kita baru bertemu semalam juga. Sebenarnya saya masih tidak percaya akan status ini dan saya masih menganggap diri saya bebas." Ujar Zara tenang dan santai.
" Terserah kamu menganggap diri kamu masih bebas. Yang jelas saya suami kamu. Zidan menitipkan kamu kepada saya. Perlu kamu tanamkan dalam kepala cantik kamu itu ucapan saya ini."
Sedjati keluar dari kamar Zara. Ia tidak bisa berlama-lama berhadapan dengan Zara yang ternyata mempunyai mulut kasar. Ia tidak percaya ini karena dari cerita Zidan, Zara merupakan perempuan yang baik dan bertutur lembut. Namun kejadian barusan mematahkan semua cerita Zidan kepada nya.
Zara bergeming. Ia menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Zara menghirup nafas seraya mencengkram baju di bagian dada nya. Air mata nya menggenang. Namun berusaha untuk tidak tumpah. Zara mendongak berusaha menghalau air mata nya.
" Tenang Zara. Kamu harus tenang!" bisik Zara kepada dirinya sendiri.
*****
Zara mengikuti langkah Sedjati memasuki sebuah rumah mewah. Seperti nya ini rumah Sedjati dan ia akan tinggal di sini.
" Tuan!" Pembantu rumah datang menyapa.
" Kenalkan Bi. Ini istri saya. Zara. Mulai saat ini ia akan tinggal di sini!"
Si Bibi terkesiap dan nampak terkejut.
" Is---istri?" Bibi menatap Zara kaget.
" Saya tidak perlu menjelaskan detail nya. Yang jelas sekarang perempuan ini adalah istri saya. Mengerti, Bi?"
Bibi mengangguk. " Mengerti tuan!"
"Layani dan hormati dia sebagai nyonya di rumah ini!"
" Baik, Tuan!"
Zara melirik Sedjati. Ia belum bisa mengenali bagaimana sifat dan karakter Sedjati lebih dalam. Namun sejauh ini. Dari gaya nya bicara. Sedjati tampak seperti laki-laki baik dan berwibawa.
" Ikut saya!"
Zara mengikuti Sedjati menaiki tangga lantai dua. Sedjati membuka pintu yang ternyata kamar.
" Kita akan tidur di sini!" Beritahu Sedjati. Zara segera menoleh.
" Maksudnya?"
Sedjati menaikkan alis. " Kamar kita. Saya dan kamu. Apa kamu berharap kalau kita akan pisah kamar?"
" Memang sebaiknya begitu bukan? Akan aneh kalau kita sekamar."
" Tidak ada yang aneh sekamat bagi pasangan suami istri. Sebalik nya akan aneh jika kita pisah kamar."
" Tapi kita bukan suami istri yang normal seperti pasangan di luar sana. Saya tidak mengenal anda sedikit pun. Begitu pun sebalik nya. Bagaimana bisa kita sekamar. Semua nya butuh proses. Tidak bisa seperti ini!" Zara tidak suka dengan keputusan sepihak Sedjati.
" Benar. Semua nya butuh proses. Dan ini langkah awal yang baik menuju proses tersebut. Saya tidak meminta izin kamu. Tetapi kamu harus nurut. Di rumah ini saya yang pegang kendali. Bukan kamu!"
Zara mengepal kan tangan. " Saya tetap tidak mau. Saya akan di kamar lain."
" Tidak ada kamar lain untuk kamu tempati selain kamar ini."
Sedjati tersenyum miring. " Apa kamu takut?"
Zara mencoba berekspresi tenang. " Tidak ada yang kutakutkan di dunia ini. Termasuk kematian sekalipun."
Sedjati terdiam. Benar-benar wanita tidak bisa di tebak.
" Saya harap kamu menerima pernikahan ini. Walaupun kesan nya mendadak. Status itu sudah melekat pada kita. Saya juga berusaha menerima kehadiran kamu dalam hidup saya. Memang tidak mudah. Tapi saya akan berusaha. Saya harap kamu juga begitu."
Sedjati duduk di sofa dekat jendela yang tersedia dalam kamar.
Zara duduk di seberang Sedjati. " Apa alasan anda menerima permintaan Abang saya? Menikahi adik nya yang bahkan tidak anda kenal sedikit pun. Saya rasa anda tidak semudah itu menerima nya jika tidak ada alasan lain. Jadi, katakan apa alasan anda?"
Sedjati terdiam. Ia tatap Zara yang menyilangkan kaki dan tangan di dada. Sangat elegan sekali penilaian Sedjati terhadap Zara. Namun bukan itu poin penting nya sekarang. Ada hal lain yang harus mereka bahas saat ini.
Zara menelisik raut wajah Sedjati. Ia yakin ada hal lain yang membuat Sedjati dengan begitu mudah nya menerima permintaan Abang nya untuk menikah dengan nya.
" Terkait apapun alasan saya kamu tidak perlu tahu dan jangan mencari tahu!" Nada suara Sedjati terdengar ancaman.
" Di sini saya yang anda nikahi. Jadi, saya harus tahu apa alasan nya. Saya belum bisa menerimanya. Karena ini sangat mendadak sekali. Menikah itu bukan perkara main-main. Ikatan nikah itu suci. Saya tidak bisa mempermainkan ikatan ini. Cita-cita saya menikah hanya satu kali dengan orang yang mencintai saya dan saya cintai. Dan anda tidak termasuk di dalam nya."
" Kamu bisa berbicara seperti itu sekarang. Ke depan nya siapa yang tahu. Bisa jadi kamu mempunyai perasaan terhadap saya. Tidak usah berpikir kesana dulu. Sekarang kamu jalani saja apa yang telah di tetapkan kepada kamu. Tentu nya dalam hal ini pernikahan yang sedang kita jalani. Pernikahan kita sah karena saya menjabat tangan Papa kamu. Dan kamu saksikan sendiri. Saya tidak mau bicara panjang lebar lagi. Yang jelas jalani saja bagaimana ke depan nya."
Zara menghela nafas. Ini sungguh rumit.
" Saya harus ke padang!"
" Rumah kamu di sini bukan lagi di padang kalau kamu lupa,"
" Kalau anda lupa saya ke sini hanya membawa tas ini. Pakaian saya semuanya ada di padang,"
Sedjati menatap tas di samping tubuh Zara.
" Saya akan berangkat siang ini."
" Saya tidak bisa menemani,"
" Saya juga tidak meminta untuk di temani,"
Benar-benar wanita yang pantang kalah.
" Ah ya. Tolong panggilan kamu di ubah. Saya tidak suka dengan panggilan kamu barusan."
" Mau saya panggil apa?"
" Terserah kamu. Saya lebih tua lima tahun,"
Zara mengernyit.
" Umur kamu sekarang dua puluh tujuh." Bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang di lontarkan Sedjati.
" Akan saya pikirkan panggilan yang terbaik untuk seorang Sedjati Nusantara."
Tbc!
22/10/23
Uhhh bagusnya di panggil apaa ya???
Yukk komen dong!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan luka
RomanceAda seperti tak ada Tampak seperti tak nampak Nyata seperti tak nyata. Hidup namun seperti bayangan. Entah memang pernah diharapkan atau tidak. Hadirnya terasa hampa. Tak di pedulikan, tak di perhatikan. Lalu apa gunanya dirinya di lahirkan. Ia t...